Beberapa waktu lalu, saya ditanya oleh seorang teman
berkaitan dengan tulisan-tulisanku yang beredar di media online yang hampir
menghiasi hari-hari hidupku. “Apakah punya waktu untuk menulis?” Tanya temanku
itu. Dengan nada santai saya menjawab bahwa saya selalu menyediakan waktu untuk
menulis, kapan dan di mana saja saya bisa menulis. Menulis bagiku adalah “ruang
pergulatan” untuk memadukan realita hidup dan olahan batin yang pada akhirnya
bermuara pada tulisan-tulisan itu. Ketika kedalaman refleksiku menukik dan
tajam untuk memburuh sebuah gagasan maka tulisan-tulisanku memiliki bobot penuh
reflektif. Menulis bagiku juga merupakan sebuah “ritual harian” untuk
menuangkan gagasan-gagasan itu dalam pelbagai bentuk karakter tulisan, entah
dalam bentuk opini, feature dan juga renungan yang berlandaskan pada teks kitab
suci.
Bagi mereka yang sering menulis, kesibukan bukan merupakan
sebuah alasan untuk tidak menulis. Saya sendiri berpegang pada prinsip yang
dianut oleh orang-orang Jerman bahwa semakin kita sibuk maka pada saat yang
sama kita semakin pandai mengatur waktu. Dalam kesempatan yang sempit pun, jika
ada ide atau gagasan yang terlintas dalam benak, tentu saya segera memburunya
sebagai dasar pijak saya dalam menulis. Memang menulis itu tidak sekedar
menulis tetapi perlu membekali diri dengan membaca sebagai referensi penting dalam
memperkuat konstruksi ide atau gagasan. Dengan membaca buku-buku referensi,
saya bisa membangun ruang imajinasi dan bisa melahirkan gagasan-gagasan baru.
Dengan banyak membaca maka perbendaharaan kosa kata kita semakin diperkaya dan
dipergunakan dalam merangkai kalimat yang utuh penuh makna.
Dengan banyak menulis, si penulis semakin dikenal oleh
banyak kalangan. Pramoediya Ananta Toer pernah mengatakan bahwa bila seseorang
tidak pernah menulis maka ia gampang dilupakan oleh sejarah dan arus pusaran
zaman. Kata-kata Pram ini memberikan sebuah peringatan penting bagi kita agar
bisa dikenang oleh masyarakat maka perlulah menulis. Kita bisa melihat hal
nyata bahwa para sastrawan yang melahirkan begitu banyak buku, kini mereka
sudah meninggal dunia tetapi para pembaca tetap mengenangnya tatkala membaca
buku-buku karya sastera yang dihasilkan. Pemikiran-pemikiran cerdas yang
dituangkan dalam bentuk tulisan tetap abadi dan penuh makna untuk dipelajari
dari generasi yang satu ke generasi yang lain.
Tentang bagaimana mendampingi para penulis pemula, saya
memiliki pengalaman tersendiri ketika diminta untuk menjadi pelatih jurnalistik
di salah satu sekolah SMP swasta Katolik. Ketika berhadapan dengan puluhan anak
yang ikut dalam ekskul jurnalistik, saya bisa menilai, bagaimana masing-masing
mereka bisa berusaha melatih diri dalam menulis berita, feature dan juga opini.
Di antara anak-anak SMP yang sedang berlatih diri menulis bersama saya, hampir
semua membawa laptopnya sebagai sarana untuk melatih menulis. Hanya ada satu
anak saat itu, tidak memiliki laptop dan ia hanya menulis pada sebuah buku yang
telah disediakannya.
Peserta ekskul jurnalistik yang tidak mempunyai laptop waktu
itu, bersama Rapco. Keseriusan Rapco untuk melatih diri dan bergulat dengan
dunia tulis-menulis sangat tinggi. Setiap hari ia selalu membuat tulisan, entah
berupa opini, berita ataupun catatan-catatan harian dengan berdasar pada
pengalaman hidup. Ketidakpunyaan laptop karena keterbatasan kemampuan ekonomi orang
tua, tidak menjadi halangan baginya untuk menulis. “Tak ada rotan,, akar pun
jadi.” Pepatah ini cocok disematkan pada diri Rapco yang selalu menulis di buku
hariannya.
Dengan ketekunan ini, mengantarkan seorang Rapco untuk bisa
bersaing di dunia pendidikan. Ia telah menyelesaikan pendidikan pada sekolah
teologi Kristen dan kini menjadi guru di sebuah sekolah internasionsumber foto: https://www.pexels.com/
al. Menulis sangat
membantu setiap orang untuk bisa menuangkan ide atau gagasan dan pada akhirnya
bisa membantu seseorang untuk bisa berbicara di depan umum dengan modal
gagasan-gagasan yang tertulis itu. Kegiatan menulis setiap hari merupakan cara
sederhana untuk melatih dalam menyusun kalimat sebagai secara menerjemahkan
sebuah ide. Menulis bagiku merupakan sebuah ziarah pembebasan batin dari ide
atau gagasan yang bersarang dalam benakku dan bergulat dalam batinku.*** (Valery Kopong)
0 Komentar