Sumber Inspirasi: Yoh. 17: 1-11
Beberapa tahun yang lalu, Paus Yohanes Paulus II ketika mengadakan
kunjungan, dia mengalami sebuah
peristiwa yang menimpah dirinya. Ia ditembak oleh seseorang yang bernama
Ali Aqca. Dalam peristiwa tragis itu, Paus Yohanes Paulus II segera
dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Peluru yang menembus tubuhnya pada akhirnya
bisa diambil dan ia diselamatkan. Dalam peristiwa itu banyak dugaan
muncul bahwa ia mestinya meninggal karena ditembak pada jarak yang tidak terlalu
jauh. Namun Tuhan berkehendak lain. Ia masih selamat dalam peristiwa maut itu.
Segera setelah peristiwa itu, Ali Aqca, si penembak jitu, pada akhirnya
ditangkap dan dipenjarakan. Tragedi yang memilukan ini mengundang reaksi dunia
dan bahkan dunia mengutuki pelaku yang menembak paus.
Setelah peluruh yang bersarang pada tubuhnya itu diambil, Paus
Yohanes Paulus II yang masih terluka itu berusaha mengunjungi si penembak di
dalam penjara. Sebuah kunjungan yang tidak umum dan bahkan tidak lazim. Bagaimana
mungkin seorang yang terluka karena ditembak, harus mengunjungi orang yang
menembakinya? Ia membawa luka kepada si penembak, walaupun momentumnya
pemberian pengampunan oleh Paus Yohanes Paulus II, tetapi secara tersirat
beliau mau mengatakan bahwa luka yang dialami karena tembakan itu merupakan
sebuah luka yang sangat sakit. Kunjungan orang terluka kepada si penembak ini
juga membahasakan bahwa melalui perjumpaan itu, si penembak mendapat
pengampunan dan merasa diri lebih layak di mata seorang pengampun. Jika
sebelumnya dunia mengecam dan bahkan mengutuk si penembak tetapi melalui
kunjungan itu, martabatnya sebagai manusia sedikit dipulihkan kembali.
Kunjungan Paus Yohanes Paulus II merupakan kunjungan pemulihan. Ia
tidak membenci si penembak bahkan berusaha melupakan peristiwa tragis itu dan
merangkulnya kembali sebagai seorang sahabat. Karena luka tembakan itu, menjadi
bukti otentik dalam membangun rasa dan memulihkan kembali pemahaman tentang
nilai kemanusiaan yang perlu dirawat. Kehadirannya di penjara sebagai bentuk
“kunjungan pastoral” sekaligus mengangkat dan menempatkan kembali derajat
kemanusiaannya yang koyak akibat ulah brutal sang penembak itu.
Dalam Injil hari ini, Penginjil Yohanes mengulas tentang bagaimana
Allah memuliakan Putera-Nya di dunia ini dengan cara paling tragis.
Kehadiran-Nya harus memikul salib derita sebagai ungkapan kasih kepada umat
manusia. Tak ada kasih yang lebih
sempurna, selain pengorbanan diri seorang Yesus pada manusia. Tetapi dengan
jalan ini, Allah yang mengutus-Nya seakan menguji kesetiaan-Nya terhadap tugas
berat yang harus dipikul-Nya. Melalui jalan sengsara ini, Allah sedang
mempermuliakan Dia. “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan
menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.”
(Yoh. 17: 4). Allah memuliakan Sang Putera di dunia ini ketika Sang Putera
menyelesaikan segala tugas di dunia ini secara paripurna. Misi perutusan Bapa
terhadap Yesus Putera-Nya, yakni menyelamatkan manusia dan cara yang ditempuh
Yesus untuk menyelamatkan manusia merupakan cara yang tidak lazim. Ia harus
menjalani jalan derita karena hanya dengan jalan itu, Ia dipermuliakan oleh
Allah. Yesus tahu bahwa apa yang dijalani itu bukan “jalan frustrasi” seorang
anak manusia tetapi jalan penuh makna yang membawa keselamatan bagi banyak
orang. Hanya melalui cara yang pilu itu, martabat keilahian-Nya dimuliakan oleh Allah yang mengutus-Nya. Di
balik luka dan sengsara, ada pengampunan yang tulus dari mereka yang memahami
esensi terdalam dari cinta. Cinta itu hadir untuk memberi pada yang lain dan
terkadang, atas nama cinta, semua yang terluka itu menjadi mulia.***(Valery
Kopong)
0 Komentar