Witihama, Gagas Indonesia Satu.
HARI pengumuman kelulusan (graduation day) di Witihama tingkat satuan pendidikan SMA dan SMK telah dilakukan pada Senin (3 Mei 2021). Namun graduation day itu diwarnai dengan aksi coret baju, konvoi menggunakan kendaraan pick up melewati jalan-jalan utama di Witihama. Aksi tersebut menimbulkan keperihatinan semua pihak.
‘’Ada tiga satuan pendidikan tingkat atas di Witihama. Pengumuman kelulusan dilakukan guru mengantar surat kelulusan ke rumah peserta didik. Ini dengan tujuan menghindari kerumunan, mencegah aksi coret maupun konvoi menggunakan kendaraan. Namun waktu pembagian dilakukan sore itu tidak meredam keinginan melakukan aksi. Setelah mendapatkan surat kelulusan, mereka berkumpul, lalu menggunakan kendaraan seperti motor dan pick up berkeliling di jalan utama di Witihama,’’ cerita Michael Boro, kepala sekolah SDK WItihama ketika dihubungi dari Jakarta, belum lama ini.
Michael Boro menyatakan imbauan guru untuk tetap di rumah, tidak melakukan aksi coret dan konvoi di jalan tetap tidak diindahkan. Ada aparat polisi dan tentara bahkan ikut menegur langsung nyatanya tidak diikuti. “Kegiatan konvoi dan dan aksi coret bukan cuma satu hari tapi mereka puluhan siswa-siswi lakukan tanpa merasa bersalah,’’ kisah penulis buku tentang Etnis Lamaholot ini.
Keprihatinan datang dari Paulina Kiwangwungu, guru suatu lembaga pendidikan tingkat atas di Witihama. Pengajar mata pelajaran Agama Katolik ini bahkan menceritakan, bukan cuma siswa/i kelas XII tapi juga diikuti X dan XI. Mereka ikut bersama dengan kelas XII konvoi merayakan kelulusan dengan konvoi dan aksi coret baju.
Menurutnya, adanya aksi ini menunjukkan bahwa pendidikan yang berlangsung selama ini belum sepenuhnya mendapat dukungan para orangtua. Kalau semua orangtua merasa peduli, ikut memberikan dukungan tidak boleh ada aksi, bisa saja ini dihindari. “Ini membuktikan bahwa orangtua hanya memberikan tanggungjawab kepada guru di sekolah,’’ katanya.
Ia merasa miris terhadap aksi-aksi yang dilakukan. Orang lain yang menyelesaikan pendidikan sarjana, mendapat pekerjaan layak tidak ada ekspresi merayakan keberhasilan dengan aksi coret – coret, justru yang baru lulus SMA sudah ada aksi seperti ini.
Aksi pelajar di Witihama itu menimbulkan reaksi keprihatinan mendalam. Michael Boro bahkan melengkapi status facebooknya dengan mengatakan inilah kegagalan para pendidik atau guru yang dengan susah payah mendidik selama tiga tahun di SMA/SMK.
Lebih baik baju seragam itu disumbangkan kepada adik-adiknya yang masih duduk di kelas X dan XI dari pada dicoret-coret. Seharusnya sebagai peserta didik yang mau melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi berpikir ikut memberikan sumbangan seragam kepada adik-adiknya yang masih membutuhkan.
‘’Apa yang dibanggakan , seragam dibeli dari dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) lalu belajar dengan prestasi antara lulus atau diluluskan guru,’’ tulis facebook Zamrud P. Mangu, setelah kejadian aksi coret dan konvoi.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Flotim, Maksimus Masan Kian, ketika dihubungi dari Jakarta menjelaskan, aksi-aksi seperti itu karena mereka melihat contoh yang ditunjukkan siswa-siswi sebelumnya. Kemudian dikatakan, usia anak-anak SMA identik dan dilabel ‘anak gaul’.
Di masyarakat luas, kata guru kelahiran Honihama ini mengatakan anak usia SMA identik dengan sosok yang suka duduk atau nongkrong di jembatan, konsumsi minuman keras, isap rokok, rambut dicat. Dengan sikap demikian paling cocok disapa anak gaul, meskipun seharusnya tidak demikian.
Ia menyarankan lingkungan masyarakat, orangtua, pemerintah seharusnya ikut memberikan perhatian. Artinya ikut menciptakan lingkungan kondusif sehingga mereka belejar dengan baik, bukan hanya teori belaka tapi juga menyentuh hal-hal kepribadian mereka.
foto ilustrasi |
(Konradus Mangu)
0 Komentar