Beberapa hari ini, publik dikejutkan
dengan serangan militer Israel terhadap Palestina. Dalam serangan itu,
memporakporandakan gedung dan bahkan
salah satu gedung yang selama ini dijadikan sebagai kantor berita ternama harus
hancur seketika. Dengan peristiwa itu, menggiring mata publik untuk memberikan
perhatian dan simpati pada dua negara itu. Indonesia barangkali sebagai salah
satu negara yang cukup aktif memberikan pernyataan bahkan dukungan terhadap
Palestina. Dukungan-dukungan yang muncul saat ini, terlihat jelas arahnya
sesuai sentimen keagamaan. Orang yang merasa Kristiani tentu berpihak pada
Israel , sedangkan yang lain lebih berpihak pada Palestina.
Melihat peristiwa tragis ini, penulis tidak menempatkan diri untuk mendukung salah satu negara yang sedang bertikai itu tetapi lebih memfokuskan diri pada aspek kemanusiaan yang terkoyak akibat serangan brutal itu. Ketika beberapa waktu lalu berdiskusi santai dengan salah seorang teman, ia mengatakan bahwa mengapa dua negara, Israel dan Palestina yang tercatat dalam kitab suci mesti harus berada pada peristiwa peperangan? Apa yang dicari dari peristiwa peperangan itu? Mengapa mesti mengorbankan masyarakat sipil dari aksi brutal itu? Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi dasar untuk merefleksi kisah tragis yang sedang menghantui dua negeri itu.
Ketika membaca nama Israel atau dikenal Bani Israel, ingatan publik tertuju pada kisah Yakub, salah satu anak dari Isak. Dalam kitab Kejadian, kita bisa menemukan asa usul nama Israel itu. “Bertanyalah orang itu kepadanya: "Siapakah namamu?" Sahutnya: "Yakub. Lalu kata orang itu: "Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel , sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang. p " Bertanyalah Yakub: "Katakanlah juga namamu. q " Tetapi sahutnya: "Mengapa engkau menanyakan namaku? r " Lalu diberkatinyalah s Yakub di situ . Yakub menamai tempat itu Pniel, sebab katanya: "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, t tetapi nyawaku tertolong!" (Kejadian 32: 27-30). Kisah ini mau menunjukkan soal penamaan baru Yakub, yakni Israel yang berkembang menjadi sebuah bangsa yang besar. Dari dua belas anak Yakub itu pada akhirnya membentuk dua belas suku Israel. Dengan nama baru yang dikenakan ini juga sebagai peringatan bahwa Yakub tidak boleh lagi hidup dalam kekuatannya sendiri, tetapi harus bersandar sepenuhnya kepada Allah dan hidup dalam ketergantungan pada-Nya.
Hidup dengan mengandalkan kekuatan Allah sebagai sumber kasih, mestinya Bani Israel bertindak dengan mengedepankan keberpihakkan pada aspek kemanusiaan. Berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan berarti menghargai hidup orang lain yang sama-sama sebagai makhluk ciptaan Allah sendiri. Allah adalah sumber kasih, dari-Nya mengalir cinta yang berpihak pada kehidupan. Kehidupan seperti apa yang harus dijalani sebagai bangsa pilihan Allah? Hidup sebagai bangsa pilihan Allah berarti harus bertindak sesuai kehendak Allah yang berpihak pada keutuhan hidup manusia. Tetapi terkadang, sebagai bangsa pilihan Allah, seakan menjadi daya dorong untuk menyombongkan diri dan menghancurkan yang lain.
https://nasional.sindonews.com/berita/883478/18/gaza-perdamaian
“Saya
bertanya pada diri sendiri: ke mana arah kebencian dan balas dendam? Apakah
kita benar-benar berpikir kita akan membangun perdamaian dengan menghancurkan
yang lain?” Ini merupakan refleksi terdalam dari Paus Fransiskus setelah doa
Angelus pada Minggu, 16 Mei 2021. Perdamaian hanya bisa dibangun jika ada ruang
komunikasi antar negara yang sedang bertikai. “Si vis pacem parabellum,” jika ingin damai maka siapkan perang.
Adagium latin ini sepertinya tidak berlaku lagi dalam konteks hari ini bahwa
perdamaian tidak bisa dibangun di atas puing dan reruntuhan hidup. Damai itu
bisa dibangun jika ada titik temu dalam ruang persaudaraan. Mari kita sama-sama
mendukung dengan doa agar perdamaian bisa bersemi di tanah Israel dan
Palestina, tempat dulu Sang Mesias mewartakan kabar gembira, tempat Yesus
mewartakan tentang Kerajaan Allah yang berpihak pada mereka yang tertindas.
Memahami peristiwa perang dalam konteks hari ini, terkadang kita terbentur pada
pertanyaan, untuk apa dan mengapa? ***(Valery
Kopong)
0 Komentar