Sumber inspirasi: Yoh. 21: 15-19
Membaca teks Injil Yohanes hari ini sepertinya membaca sebuah warisan
berharga dari motto imamat almahrum Pater Yakobus Bura Luli, SVD. Tanggal 12 Mei yang lalu, ia menghembuskan
nafas terakhir di Kupang, kota karang. Motto imamatnya dihidupi dalam hari-hari
hidup sebagai seorang imam dalam Serikat Sabda Allah. Memilih motto, tidak
sekedar memilih tetapi melalui sebuah refleksi panjang dan dalam rentang
keheningan itu, ia memilih motto imamat itu sebagai dasar pijak untuk menjawabi
panggilan “ya” dari Tuhan sendiri. Ia
yakin bahwa rangkaian sabda yang kemudian menjadi mottonya itu melekat dengan
sosok seorang Petrus yang dipilih oleh Yesus untuk menjadi kepala atas para
rasul dan pada akhirnya di atas wadas itu Yesus mendirikan Gereja. "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau
tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya:
"Gembalakanlah domba-domba-Ku. (Yohanes 21:17).
Yesus memilih Petrus sebagai kepala atas para murid, tidak berarti bahwa Petrus itu seorang yang sempurna tetapi dalam kelemahan itu, Tuhan memberikan tanggung jawab untuk mengembalakan domba-domba-Nya. Kelemahan diri yang dialami oleh Petrus tidak menjadi halangan untuk menolak panggilan untuk menjadi murid-Nya. Petrus memang lemah dan tidak konsisten, hal ini terbukti ketika ia menyangkal Yesus untuk ketiga kalinya. Tetapi dalam kelemahan itu, ia membuka diri bagi tawaran Sang Guru. Menjadi seorang pemimpin ataupun sebagai gembala, bukan datang dari kesempurnaan tetapi justeru karena kelemahan maka Tuhan akan melengkapinya dengan dan memberikannya kekuatan dalam menopang jalan panggilannya.
“Mari, ikutilah Aku.” Inilah sepotong sabda yang memiliki kekuatan dan hal ini terbukti ketika Yesus memanggil murid-murid-Nya. Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya adalah murid pertama yang dipanggil Tuhan. Dalam proses pemanggilan para murid, terlihat jelas kuasa dan otoritas Yesus yang memilih orang-orang dari kalangan sederhana, para nelayan. Tak ada reaksi penolakan atas panggilan itu dan bahkan murid-murid yang dipanggil itu meninggalkan perahu dan jala yang menjadi pusat kegiatan ekonomi. Mereka juga meninggalkan orang tua mereka untuk pergi bersama dengan Yesus.
St.Petrus disalibkan dengan kepala ke bawah
Menjadi murid berarti bersedia membuka
diri di hadapan-Nya. Menjadi murid berarti siap untuk melepaskan kekayaan
duniawi agar bisa mengurus kekayaan rohani. Murid yang setia adalah murid yang
bertahan pada titik kulminasi penyaliban, seperti Petrus yang berani mewartakan
Kristus dan karena pewartaan-Nya
itu, ia dihukum mati dan disalibkan dengan kepala ke bawah, sebuah cara penyaliban
yang berbeda dengan Sang Guru. Menjadi murid harus siap menanggung resiko.
Yesus telah berpasrah untuk disalibkan sebuah cara tragis mengakhiri karya
keselamatan. Petrus juga telah mengikuti jejak Sang Guru dan karena keberanian
mewartakan sabda-Nya, ia rela disalibkan. Apa yang kita lakukan sebagai
pengikut-Nya untuk menunjukkan kesetiaan di jalan kemuridan ini? *** (Valery Kopong)
0 Komentar