Unordered List

6/recent/ticker-posts

Paulo Freire: Pendidikan yang Membebaskan


Dalam perspektif pendidikan yang membebaskan,
  kata “Keadilan dan kebebasan” menjadi topik menarik yang  selalu didiskusikan, baik di pelbagai media cetak maupun elektronik. Perdebatan seru tentang keadilan ini terjadi karena biasanya hal ini ditempatkan dalam visi bagaimana Hak Asasi diperjuangkan dan ditegakkan sebagai konsekwensi dari adanya esensi dan eksistensi manusia.

Di Indonesia sendiri, kita cukup sering membaca pelbagai informasi yang menyajikan data dan fakta akan hal ini. Bahkan bukan tak mungkin,  kita sendirilah yang menjadi saksi akan timpangnya keadilan di masyarakat, di kantor dan di lingkungan sekitar kita. Terjadinya demo-demo  yang santun dan tertib sampai demo yang anarkis akibat adanya masalah kompleks yang menajam ke hal kasus yang kasuistik menjadi pemandangan yang lumrah di negeri ini. Demonstrasi  yang diprakarsai forum, lembaga, bahkan kelompok identitas atas nama masyarakat dan agama, selalu dapat ditebak tujuan dan sasaranya: mencari dan menuntut adanya pemberlakuan keadilan.

Kata Keadilan sendiri beragam definisinya. Menurut W.J.S. Poerwadarminto, pengertian keadilan adalah suatu kondisi tidak berat sebelah atau pun seimbang, yang sepatutnya tidak diputuskan dengan cara yang sewenang – wenang. Menurut Notonegoro, keadilan adalah suatu kondisi atau pun keadaan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dari dua definisi ini, keadilan dapat kita rumuskan sebagai usaha sadar dari seseorang atau kelompok orang memperoleh jaminan dan kepastian hukum terkait esensi dan eksistensi dirinya sebagai manusia untuk menghidupi dirinya sendiri.

Dalam konteks keadilan dan kebebasan, pemikiran Paulo Freire adalah layak untuk dikaji. Paulo Freire sendiri adalah seorang pemerhati dan pencetus teori praksis pendidikan yang membebaskan di masa hidupnya.  Dalam perpektif Freire, pembebasan dapat kita maknai sebagai suatu bentuk transformasi pada sebuah sistem realitas yang saling terkait dan kompleks, serta reformasi beberapa individu untuk mereduksikan berbagai konsekuensi negatif dari sebuah perilaku. Pengalaman pribadi Freire di Brasil yang menyaksikan adanya pelbagai tirani kekuasaan dan penindasan telah menggugah kepekaan hati nuraninya untuk memberontak atas nama keadilan dan kebebasan.

Freire menyerang habis-habisan kelompok penindas yang disebutnya “oppress” yang dengan sengaja mendehumanisasikan esensi dan eksistensi manusia layaknya robot dan mesin ( kaum tertindas = oppressed ). Dalam tirani kekuasaan dan pereduksian manusia sebagai akibat dari adanya industri, maka keadilan dan kebebasan menjadi hanya slogan belaka karena hasil akhir menjadi target utama . Legalitas hukum atas nilai-nilai keadilan dan kebebasan seolah menjadi hiasan dalam pemberdayaan manusia dan kemanusiaanya. Bahkan Tindakan dehumanisasi seolah menjadi pilihan utama yang tak terelakan karena kepentingan menjadi unsur sentral dalam menggapai hasil.

Buah dan gerak pikir serta perilaku Freire telah mencatat, betapa keadilan dan kebebasan adalah dua aspek penting yang patut selalu disikapi oleh setiap manusia karena esensi dan eksistensinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Keadilan dan kebebasan yang melekat erat dengan aspek pendidikan dan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan dan sistemnya pada manusia. Keadilan dan kebebasan hanya dapat dicapai melalui upaya perjuangan terus menerus dalam suatu kebersamaan untuk memaknai dimensi pemberdayaan sistem pendidikan yang sistematis. Pengetahuan yang terkandung dalam pendidikan haruslah menjadi faktor penting dalam memahami esensi dan eksistensi manusia. Pendidikan haruslah menjadi dasar bagi setiap orang lintas profesi dan jabatan untuk memaknai dan mengimplementasikan program dan kegiatan pemberdayaan manusia seutuhnya.

Dalam upaya memahami dan memaknai pengetahuan akan nilai-nilai keadilan dan kebebasan, maka pergerakan terselubung atas nama kepentingan ekonomis, politis, ideologi, kultural, religious, dll haruslah diperangi. Pemahaman akan esensi dan eksistensi manusia dalam konteks hak asasi manusia haruslah mendorong setiap insan menguji dan memurnikan gerak pikirnya untuk terus berada dalam perjuangan menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebebasan untuk tidak sekedar bertahan hidup, melainkan menghidupi dirinya atau bagaimana menghidupi orang lain atas nama keadilan dan kebebasan.

Proses konsientisasi atau proses penyadaran melalui pendidikan untuk menananmkan konsep pengetahuan yang mumpuni haruslah terus diimplementasikan sehingga dapat dimiliki oleh setiap manusia lintas profesi dan jabatan. Proses konsientisasi haruslah mengarahkan setiap perjuangan manusia menepis segala kemungkinan sentiment personal atau atas nama kepentingan SARA. Proses Konsientisasi haruslah menjadi paham perjuangan setiap manusia lintas SARA dan mengarahkan mereka pada sinergisitas tujuan yang satu dan sama sehingga penghargaan akan moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan itu mewujudkan keadilan dan kebebasan  di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Kebebasan dan keadilan bukanlah utopi tetapi sesuatu yang benar-benar dapat direalisasikan apabila kita mau mengakuinya sebagai  fakta  sejarah dalam  kehidupan manusia dengan penguatan moralitas akan esensi dan eksistensi manusia.***(Beny Fanumby)

Posting Komentar

0 Komentar