Dalam perspektif pendidikan yang membebaskan, kata “Keadilan dan kebebasan” menjadi topik menarik yang selalu didiskusikan, baik di pelbagai media cetak maupun elektronik. Perdebatan seru tentang keadilan ini terjadi karena biasanya hal ini ditempatkan dalam visi bagaimana Hak Asasi diperjuangkan dan ditegakkan sebagai konsekwensi dari adanya esensi dan eksistensi manusia.
Di Indonesia sendiri, kita cukup
sering membaca pelbagai informasi yang menyajikan data dan fakta akan hal ini.
Bahkan bukan tak mungkin, kita
sendirilah yang menjadi saksi akan timpangnya keadilan di masyarakat, di kantor
dan di lingkungan sekitar kita. Terjadinya demo-demo yang santun dan tertib sampai demo yang
anarkis akibat adanya masalah kompleks yang menajam ke hal kasus yang kasuistik
menjadi pemandangan yang lumrah di negeri ini. Demonstrasi yang diprakarsai forum, lembaga, bahkan
kelompok identitas atas nama masyarakat dan agama, selalu dapat ditebak tujuan
dan sasaranya: mencari dan menuntut adanya pemberlakuan keadilan.
Kata Keadilan sendiri beragam
definisinya. Menurut W.J.S. Poerwadarminto, pengertian keadilan adalah suatu
kondisi tidak berat sebelah atau pun seimbang, yang sepatutnya tidak diputuskan
dengan cara yang sewenang – wenang. Menurut Notonegoro, keadilan adalah suatu
kondisi atau pun keadaan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dari
dua definisi ini, keadilan dapat kita rumuskan sebagai usaha sadar dari seseorang
atau kelompok orang memperoleh jaminan dan kepastian hukum terkait esensi dan
eksistensi dirinya sebagai manusia untuk menghidupi dirinya sendiri.
Dalam konteks keadilan dan
kebebasan, pemikiran Paulo Freire adalah layak untuk dikaji. Paulo Freire sendiri
adalah seorang pemerhati dan pencetus teori praksis pendidikan yang membebaskan
di masa hidupnya. Dalam perpektif
Freire, pembebasan dapat kita maknai sebagai suatu bentuk transformasi pada
sebuah sistem realitas yang saling terkait dan kompleks, serta reformasi
beberapa individu untuk mereduksikan berbagai konsekuensi negatif dari sebuah
perilaku. Pengalaman pribadi Freire di Brasil yang menyaksikan adanya pelbagai
tirani kekuasaan dan penindasan telah menggugah kepekaan hati nuraninya untuk
memberontak atas nama keadilan dan kebebasan.
Freire menyerang habis-habisan kelompok penindas yang
disebutnya “oppress” yang dengan sengaja mendehumanisasikan esensi dan
eksistensi manusia layaknya robot dan mesin ( kaum tertindas = oppressed ). Dalam tirani kekuasaan dan
pereduksian manusia sebagai akibat dari adanya industri, maka keadilan dan
kebebasan menjadi hanya slogan belaka karena hasil akhir menjadi target utama .
Legalitas hukum atas nilai-nilai keadilan dan kebebasan seolah menjadi hiasan
dalam pemberdayaan manusia dan kemanusiaanya. Bahkan Tindakan dehumanisasi
seolah menjadi pilihan utama yang tak terelakan karena kepentingan menjadi
unsur sentral dalam menggapai hasil.
Buah dan gerak pikir serta
perilaku Freire telah mencatat, betapa keadilan dan kebebasan adalah dua aspek
penting yang patut selalu disikapi oleh setiap manusia karena esensi dan
eksistensinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Keadilan dan kebebasan yang
melekat erat dengan aspek pendidikan dan nilai-nilai yang terkandung dalam
pendidikan dan sistemnya pada manusia. Keadilan dan kebebasan hanya dapat
dicapai melalui upaya perjuangan terus menerus dalam suatu kebersamaan untuk
memaknai dimensi pemberdayaan sistem pendidikan yang sistematis. Pengetahuan
yang terkandung dalam pendidikan haruslah menjadi faktor penting dalam memahami
esensi dan eksistensi manusia. Pendidikan haruslah menjadi dasar bagi setiap
orang lintas profesi dan jabatan untuk memaknai dan mengimplementasikan program
dan kegiatan pemberdayaan manusia seutuhnya.
Dalam upaya memahami dan memaknai
pengetahuan akan nilai-nilai keadilan dan kebebasan, maka pergerakan
terselubung atas nama kepentingan ekonomis, politis, ideologi, kultural,
religious, dll haruslah diperangi. Pemahaman akan esensi dan eksistensi manusia
dalam konteks hak asasi manusia haruslah mendorong setiap insan menguji dan
memurnikan gerak pikirnya untuk terus berada dalam perjuangan menegakkan
nilai-nilai keadilan dan kebebasan untuk tidak sekedar bertahan hidup,
melainkan menghidupi dirinya atau bagaimana menghidupi orang lain atas nama
keadilan dan kebebasan.
Proses konsientisasi atau proses penyadaran melalui pendidikan
untuk menananmkan konsep pengetahuan yang mumpuni haruslah terus
diimplementasikan sehingga dapat dimiliki oleh setiap manusia lintas profesi
dan jabatan. Proses konsientisasi haruslah mengarahkan setiap perjuangan
manusia menepis segala kemungkinan sentiment personal atau atas nama
kepentingan SARA. Proses Konsientisasi haruslah menjadi paham perjuangan setiap
manusia lintas SARA dan mengarahkan mereka pada sinergisitas tujuan yang satu
dan sama sehingga penghargaan akan moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang
diperjuangkan itu mewujudkan keadilan dan kebebasan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Kebebasan dan keadilan bukanlah utopi tetapi sesuatu yang benar-benar dapat
direalisasikan apabila kita mau mengakuinya sebagai fakta sejarah dalam kehidupan manusia dengan penguatan moralitas
akan esensi dan eksistensi manusia.***(Beny
Fanumby)
0 Komentar