Unordered List

6/recent/ticker-posts

Filosofi Teratai


Hidup manusia tidak terlepas dari simbol-simbol kehidupan yang digunakan sebagai cara sederhana untuk membangun sebuah ‘elan vita,’ daya hidup dan sekaligus memaknai setiap jejak langkah perjalanan hidup ini. Simbol-simbol yang bisa dipilih, bisa diambil dari nama tumbuhan, hewan atau pun juga bunga-bunga menarik yang bisa membawa sebuah harapan di balik simbol yang dipilih dan dimaknai itu. Pemilihan simbol tentunya melalui sebuah proses panjang dan melalui perenungan yang matang, seseorang bisa memilih simbol. Tentang simbol itu, ingatanku tertuju pada “bunga teratai” yang dipilih untuk nama sebuah sekolah. Sekolah Insan Teratai, sebuah sekolah yang terletak di Kota Bumi – Pasar Kemis, mendidik anak-anak yang secara ekonomis jauh dari kemapanan. Mengapa sekolah itu dinamai Insan Teratai? Mengapa pula anak-anak yang mengenyam pendidikan di bawah naungan sekolah itu, hampir semuanya berkemampuan pas-pasan?

Inilah deretan pertanyaan yang menjadi penopang dalam membangun filosofi kehidupan teratai. Pernah dalam suatu kesempatan, ketika ditanya, mengapa sekolah ini dinamai Insan Teratai? Dengan nada santai, Ibu Siang Riani, selaku pendiri dan ketua Yayasan Insan Teratai Sejati menceritakan bahwa teratai adalah bunga yang tumbuh di air dan bahkan bisa bertahan hidup di air yang penuh dengan lumpur. Walaupun bunga teratai itu tergenang di atas air yang keruh, tetapi tetap menebarkan bunganya yang indah mempesona kepada semua mata yang memandangnya.

Teratai yang tumbuh menjalar itu bisa mewakili masyarakat dari golongan kelas bawah, karena itu filosofi teratai terus dihidupi dalam proses mendidik anak-anak yang bernaung di bawah sekolah Insan Teratai. Memilih Insan Teratai sebagai bagian penting dalam membangun pembelajaran demi masa depan, adalah “pilihan keberpihakkan” sekaligus pertarungan demi menggapai cita-cita pada mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Teratai harus berpihak dan teratai yang sama sepertinya memberikan spirit pada mereka yang tersisi agar “tak perlu layu” ketika diterjang “sinar keganasan” dunia dan tidak terlena oleh gemerlapnya lampu-lampu ibu kota yang garang.

Siapa yang peduli dengan mereka yang terhempas karena “kemiskinan?” Dari jutaan manusia, penghuni kota-kota metropolitan, barangkali bisa dihitung dengan jari, siapa yang punya rasa peduli dan empati pada mereka yang kurang mampu itu. Memang, orang-orang yang dulunya hidup di desa dan  menghidupi nilai-nilai kepedulian dan gotong royong, perlahan sirna ketika mengais hidup di jantung kota. Kehidupan kota mengajarkan tentang egoisme dan memang itu perlu dipahami karena bagaimana mungkin memikirkan orang lain, sementara hidupnya sendiri belum mapan.

Teratai mengingatkan pada kita tentang orang-orang jelata. Tetapi orang-orang kecil yang dididik pada sekolah Insan Teratai itu, kini perlahan “memekarkan” bunga teratai harapan. Ketika mengikuti perpisahan kelas IX SMP Insan Teratai, satu pesan penting dari Ibu Siang Riani untuk siswa-siswi kelas IX agar menjadi teratai yang terus m


emekarkan bungannya yang harum mempesona pada semua mata yang memandang. Teratai, dalam kondisi air penuh lumpur pun, tetap bertahan hidup. Karena itu para Insan Teratai yang pernah mengenyam pendidikan itu, belajarlah untuk bertahan seperti teratai agar kelak Anda bisa menggenggam masa depanmu.***(Valery Kopong)  

  

 

Posting Komentar

0 Komentar