Hidup manusia tidak terlepas dari
simbol-simbol kehidupan yang digunakan sebagai cara sederhana untuk membangun
sebuah ‘elan vita,’ daya hidup dan sekaligus memaknai setiap jejak langkah
perjalanan hidup ini. Simbol-simbol yang bisa dipilih, bisa diambil dari nama
tumbuhan, hewan atau pun juga bunga-bunga menarik yang bisa membawa sebuah
harapan di balik simbol yang dipilih dan dimaknai itu. Pemilihan simbol
tentunya melalui sebuah proses panjang dan melalui perenungan yang matang,
seseorang bisa memilih simbol. Tentang simbol itu, ingatanku tertuju pada “bunga
teratai” yang dipilih untuk nama sebuah sekolah. Sekolah Insan Teratai, sebuah
sekolah yang terletak di Kota Bumi – Pasar Kemis, mendidik anak-anak yang
secara ekonomis jauh dari kemapanan. Mengapa sekolah itu dinamai Insan Teratai?
Mengapa pula anak-anak yang mengenyam pendidikan di bawah naungan sekolah itu,
hampir semuanya berkemampuan pas-pasan?
Inilah deretan
pertanyaan yang menjadi penopang dalam membangun filosofi kehidupan teratai. Pernah
dalam suatu kesempatan, ketika ditanya, mengapa sekolah ini dinamai Insan
Teratai? Dengan nada santai, Ibu Siang Riani, selaku pendiri dan ketua Yayasan
Insan Teratai Sejati menceritakan bahwa teratai adalah bunga yang tumbuh di air
dan bahkan bisa bertahan hidup di air yang penuh dengan lumpur. Walaupun bunga
teratai itu tergenang di atas air yang keruh, tetapi tetap menebarkan bunganya
yang indah mempesona kepada semua mata yang memandangnya.
Teratai yang tumbuh
menjalar itu bisa mewakili masyarakat dari golongan kelas bawah, karena itu
filosofi teratai terus dihidupi dalam proses mendidik anak-anak yang bernaung
di bawah sekolah Insan Teratai. Memilih Insan Teratai sebagai bagian penting
dalam membangun pembelajaran demi masa depan, adalah “pilihan keberpihakkan” sekaligus
pertarungan demi menggapai cita-cita pada mereka yang kurang mampu secara
ekonomi. Teratai harus berpihak dan teratai yang sama sepertinya memberikan
spirit pada mereka yang tersisi agar “tak perlu layu” ketika diterjang “sinar
keganasan” dunia dan tidak terlena oleh gemerlapnya lampu-lampu ibu kota yang
garang.
Siapa yang peduli
dengan mereka yang terhempas karena “kemiskinan?” Dari jutaan manusia, penghuni
kota-kota metropolitan, barangkali bisa dihitung dengan jari, siapa yang punya
rasa peduli dan empati pada mereka yang kurang mampu itu. Memang, orang-orang
yang dulunya hidup di desa dan menghidupi
nilai-nilai kepedulian dan gotong royong, perlahan sirna ketika mengais hidup
di jantung kota. Kehidupan kota mengajarkan tentang egoisme dan memang itu
perlu dipahami karena bagaimana mungkin memikirkan orang lain, sementara
hidupnya sendiri belum mapan.
Teratai mengingatkan pada kita tentang orang-orang jelata. Tetapi orang-orang kecil yang dididik pada sekolah Insan Teratai itu, kini perlahan “memekarkan” bunga teratai harapan. Ketika mengikuti perpisahan kelas IX SMP Insan Teratai, satu pesan penting dari Ibu Siang Riani untuk siswa-siswi kelas IX agar menjadi teratai yang terus m
emekarkan bungannya yang harum mempesona pada semua mata yang memandang. Teratai, dalam kondisi air penuh lumpur pun, tetap bertahan hidup. Karena itu para Insan Teratai yang pernah mengenyam pendidikan itu, belajarlah untuk bertahan seperti teratai agar kelak Anda bisa menggenggam masa depanmu.***(Valery Kopong)
0 Komentar