Lewoleba – gagssindonesia.com - Tiga puluh keramba jaring apung itu terus bergerak naik turun mengikuti irama alunan gelombang laut perairan Neren, Desa Dulitukan, Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata, NTT.
Di perairan dengan kedalaman kurang lebih 10 meter itu, kelompok Ta’an Tou yang beranggotakan 30 keluarga membudi daya rumput laut dengan menggunakan keramba jaring apung. Sebuah inovasi yang digagas dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Negeri Haluoleo, Ma’ruf Kasim, SPI, MSI, PhD.
Inovasi ini jugalah, sekan menjadi obat paten bagi kelompok Ta’an Tou yang selama ini terus mengalami gagal panen dalam usaha budidaya rumput laut. Hal ini terjadi karena cara budidaya tradisional yang simpel dengan mengikat bibit rumput laut pada tali yang direntangkan di permukaan laut, terus digerayang hama.
Pada hal, harga dan pasaran rumput laut sangat menjanjikan dan mampu menggairahkan ekonomi masyarakat Ileape pada sekitar tahun 2005. Setelah belasan tahun jeda, kini dilakukan uji coba budidaya rumput laut dengan keramba jaring apung yang dilakukan Kelompok Ta’an Tou dengan dukungan pendanaan dari Kedutaan New Zealand, bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS).
Pilot Project ini mulai dikerjakan pada Juli tahun 2020. Kelompok yang menjadi sasaran program ditraining terlebih dahulu bagaimana merakit keramba jaring apung. Ada berbagai model keramba namun yang dipilih adalah bentuk kotak persegi panjang. Setelah semua keramba di rakit, barulah dilepas di laut bersama bibit. Perakitan keramba memakan waktu sedikit lama karena membutuhkan keterampilan dan ketelitian selama proses berlangsung.
Sebulan dilepas, kelompok mulai melakukan panen perdana. Hasilnya diluar perkiraan. Sebanyak 2,70 ton basah dihasilkan dalam 30 kurungan. Dalam 1 kurungan kelompok mendapatkan 69 kg dari 15 kg yang dipelihara dalam satu kurungan.
“Hasil panen dengan menggunakan kerambah jaring apung memang luar biasa. Tidak disangka kami bisa mendapat hasil sebanyak ini dalam satu kali panen,” ujar Ketua Kelompok Ta’an Tou, Fitri Jamza.
Jamza juga membeberkan kalau pemeliharaan dengan teknologi keramba jaring apung menghasilkan rumput laut yang lebih bersih dengan bobot yang lebih besar. Selain itu, pemeliharan dengan kerambah membuat rumput laut lebih cepat berkembang bila dibandingkan dengan pemeliharaan manual yang rentan dengan serangan hama sehingga selalu terjadi gagal panen.
Sambil membersihkan rumput laut di Pantai Neren, Jamza dan sesama anggota kelompok bercerita bagaimana komoditi rumput laut mampu menopang perekonomian mereka saat pandemi COVID-19 terjadi. Walaupun harga jual anjlok, mereka masih bisa bernafas lega karena masih ada yang membeli rumput laut mereka.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak, mereka membutuhkan waktu panen antara 1,5 hingga 2 bulan sekali. Kalau dipanen sebelum itu kadang perkembangan bibit terlalu full dalam keramba.
Setahun sudah pilot Project yang didukung Kedutaan New Zealand ini dijalankan, meski demikian, hasil yang didapat sangat memuaskan. Dalam empat kali panen, kelompok berhasil mengumpulkan 3.970 kg basah. Dikurangi 1.800 kg untuk bibit pada setiap kali panen menjadi 2.170 kg basah atau 1.000 kg dalam keadan kering total omset senilai Rp 10 juta.
Potensi
Potensi budi daya rumput laut di wilayah Ileape memang sangat menjanjikan bila ini dilakukan secara masif sebagaimana halnya ketika masyarakat Ileape masih melakukan metode budidaya secara manual atau tradisional sekitar 10-15 tahun lalu.
Kala itu, sebelum hama menyerang, masyarakat dihampir seluruh Ileape melakukan budidaya dan sempat menggairahkan Ekonomi masyarakat. Bahkan banyak masyarakat tidak lagi bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran. Satu indikator yang jelas terlihat adalah, sepeda motor yang kala itu hanya mampu dimiliki orang tertentu mulai menjamur.
Masyarakat berani kredit sepeda motor karena memiliki kemampuan mengangsur dari usaha budidaya rumput laut yang mereka geluti saat itu. Apalagi pemasarannya pun langsung di lokasi budidaya.
Kini beberapa desa di wilayah Tanjung yang melihat langsung keberhasilan Pilot Project yang didukung Keduataan New Zaeland berencana mereplikasi sistem budi daya rumput laut dengan keramba jaring apung. Namun karena sebagian anggaran dialihkan untuk penanganan Covid-19, maka rencana itu masih tertunda. Bila situasi sudah normal maka sistem ini akan dikembangkan ke kelompok lain dengan menggunakan dana desa. (Mans Balwala)
0 Komentar