Ketika membaca teks Injil terutama Matius 5:13-16 dan merenungkannya dalam terang iman, dapat saya katakan bahwa hidup ini adalah sebuah perutusan. Sebagai murid Yesus, kita diutus untuk mewartakan kabar suka cita pada semua orang supaya cinta kasih bisa merajai dunia ini. Sambil membaca kitab suci dan membayangkan, betapa indahnya hidup ini jika cinta kasih itu bisa terwujud. Tetapi menjadi pertanyaan lanjut adalah apakah dengan terwujudnya cinta kasih dalam kepenuhannya di dunia ini, pewartaan dan perutusan tidak lagi diperlukan? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan penting karena mengingat bahwa membaca kitab suci pasti berakhir dengan munculnya pertanyaan baru.
Dalam teks Injil yang sempat saya
baca, walaupun tidak sesuai dengan kalender liturgi hari ini, sedikit memberikan gambaran tentang
bagaimana dua kiasan paralel yang dilontarkan oleh Yesus di atas bukit saat
mengajar para murid-Nya. Menjadi garam dan terang, dua kiasan yang sedikit
memaksa kita untuk keluar dari diri dan berjumpa dengan orang lain. Teks kitab
suci ini juga merupakan perutusan kristiani yang menuntut kita untuk hidup
membaur dengan orang lain tanpa mengedepankan sekat-sekat primordial. Keterlibatan
dan hidup membaur sambil berbuat baik merupakan ciri khas perutusan kristiani
seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri yang berani blusukan ke kota dan desa
untuk berbuat baik.
Tetapi dalam perutusan itu, ada konsekuensi yang harus diperhatikan, yakni ketika gagal untuk mewartakan kebaikan dan mempertahankannya di tanah perutusan maka resikonya disingkirkan, seperti “garam” yang kehilangan rasa asinnya maka tidak ada cara lain, selain dibuang. Selain kiasan garam, juga kiasan terang menjadi pemicu bagi kita untuk menebarkan warta tentang kebaikan yang bersumber pada cinta kasih. Titik tolak pemahaman tentang terang, dengan melihat rumah orang Palestina tempo dulu yang hanya memiliki satu ruang saja, karena itu dengan meletakan pelita yang bernyala di tempat yang tinggi, semua orang yang berada di dalam rumah itu bisa mendapat penerangan yang cukup.
Makna terdalam dari kiasan ini adalah
bahwa ketika kita menjadi orang-orang utusan karena baptisan, perlu membaur
dalam kehidupan normatif. Hidup kita menjadi bermakna ketika hidup itu terarah
untuk orang-orang lain. “Aku ada bukan untuk ada-ku, melainkan untuk “aku-ku”
yang lain.” Pandangan filosofis ini menggambarkan kebermaknaan hidup ketika
harus berbagi dengan orang lain. Jika kita hidup untuk diri sendiri maka hidup
itu sepertinya belum bermakna dan kebermaknaan hidup justru terletak pada
bagaimana hidup kita terarah pada orang-orang yang ada di sekitar kita. Ketika
kita sudah berbuat baik maka harus dipertahankan nilai-nilai kebaikan itu agar
pancaran cahaya pelita terus menerangi orang-orang yang berada dalam “kabut
kegelapan” dan juga memberi makna hidup baru pada mereka yang tengah mengalami “hambarnya”
hidup itu. Sebagai kelompok yang tergolong minoritas, kita tetap memancarkan
kebaikan pada orang lain, seperti garam yang sedikit saja menempatkan diri
dalam masakan itu, bisa memberikan rasa pada masakan. Jadilah garam dan terang
selagi masih hidup di dunia ini karena hidup sesunggunya adalah sebuah
perutusan.sumber foto: kompasiana.com
***(Valery Kopong)
0 Komentar