Beberapa hari ini, saya diminta untuk
memberikan renungan pada saat mengenang 40 hari meninggalnya seorang anggota
lingkunganku. Di hari yang sama namun berbeda jam, saya juga harus memimpin
ibadat dan renungan tentang kematian. Saya sendiri merasa bahwa dengan
membawakan renungan pada saat yang hampir bersamaan dengan tema yang sama,
yakni “kematian,” sepertinya saya kesulitan untuk mencari inspirasi yang
menjadi titik dasar refleksiku. Persoalan utama yang dihadapi adalah memberikan
renungan pada waktu yang hampir bersamaan dalam satu lingkungan doa dan juga
berhadapan dengan pendengar yang sama. Kematian orang-orang yang dikasihi,
sepertinya juga membawa “kematian ide” atau gagasan dalam mencari inspirasi
baru dalam mempersiapkan renungan.
Cara yang paling mungkin dilakukan adalah membaca ataupun mendengar lagu-lagu dengan lirik yang menarik, ternyata bisa memberikan gagasan baru dalam memperkuat renungan saya. Ketika memimpin ibadat kematian dan penutupan peti, beberapa saat sebelumnya saya mendengar sebuah lagu daerah dalam bahasa “Lamaholot.” Lagu itu diciptakan oleh Martin Kurman, seorang penyanyi produktif, walaupun ia buta matanya. Mendalami lagu “Surga Mela Tua,” surga itu terlalu baik bahkan terlalu indah. Judul lagu ini mengisahkan tentang surga yang menyediakan keindahan dan kebahagiaan, menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap manusia untuk boleh menikmati surga itu.
Memang surga itu menarik dan bahkan menjanjikan kebahagiaan, tetapi manusia tidak bisa menggapai surga itu dalam keputusan pribadinya. Surga itu dijangkau atas keputusan Allah sendiri, karena hanya Allah yang bisa mengatur seluruh kehidupan dan juga kematian setiap orang. Menghadapi peristiwa kematian seperti yang dialami oleh orang-orang di lingkungan doa, mengingatkan kita juga tentang cara Allah memanggil setiap manusia pada keabadian dengan cara yang unik. Manusia dilahirkan dengan satu cara tetapi begitu banyak cara kematian yang dialami oleh setiap orang, tidaklah sama.
Kematian itu menyisahkan kepedihan bagi keluarga yang ditinggalkan. Kematian juga membawa dampak perubahan bagi keluarga dan bahkan meruntuhkan iman bagi keluarga yang ditinggalkan. Kegoncangan iman juga perlu dipahami sebagai hal yang manusiawi dan hal ini mengingatkan kita juga akan pengalaman iman para murid Yesus setelah Sang Guru menjalani sengsara dan kematian-Nya di kayu salib. Pengalaman dua murid dalam perjalanan ke Emaus, membuktikan sebuah perjalanan ke kampung halaman sambil memendam rasa kecewa dan sedih. Ketergantungan para murid-Nya sangat kuat namun pada akhirnya patah ketika Sang Guru meninggal secara tragis di atas kayu salib. Salib bukanlah akhir dari sejarah pewartaan dan perutusan Yesus di dunia ini. Namun melalui salib, Yesus mempertanggungjawabkan seluruh karya perutusan-Nya di dunia ini.
“Bapa, selesailah sudah.” Penggalan kata-kata Yesus ini menjadi pertanggung jawaban Yesus tetapi sekaligus sebagai bentuk penyerahan diri secara total pada Allah yang mengutus-Nya. Kematian Yesus merupakan kematian berharga karena melalui kematian dan kebangkitan-Nya dari alam maut, manusia ditebus dan diselamatkan oleh-Nya. Melalui salib dan kekosongan kubur batu, mengingatkan kita akan perjalanan iman yang tak pernah sepi dari tantangan dan dalam kepasrahan yang total, Allah membuka pintu kubur batu untuk mengalahkan maut. Ia bangkit dan menguatkan iman kita akan Yesus.*** (Valery Kopong)
0 Komentar