TAHUN 1990 an profesi guru di Flores Timur menjadi incaran banyak orang, apalagi menjadi guru yang menyandang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Setiap kali ada tes penerimaan guru menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), pesertanya selalu banyak tapi dari sekian peserta misalnya yang lulus tes itu belasan orang saja.
Wilhelmus Bahy, pria kelahiran Honihama ini menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Katolik (SPGK) Podor Larantuka (1990/1991). Setelah tamat di lembaga pendidikan itu, Wilem hanya mengikuti sekali tes sebagai pegawai negeri langsung menjadi ASN hingga kini. Ia sangat bersyukur karena apa yang dicapai kala itu adalah ‘buah-buah’ kesetiaan dan kesabaran dalam menjalankan profesinya sebagai guru honor di SD Inpres Lewobele, Helanlangowuyo, Kec. Ile Boleng, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bukan guru
Tahun 1990 setelah tamat di SMPN Witihama, Wilem bersama dua orang teman seangkatan mendaftar di kota Larantuka. Di ibukota kabupaten Flotim itulah ia mendaftar di STM Larantuka. Sementara itu dua orang temannya ( Lambert B. Aman (alm) dan Polikarpus Oron) mendaftar di SPGK Podor Larantuka. Pilihan kedua temannya ikut mempengaruhi pilihannya. Awalnya mendaftar di STM setelah melihat temannya di SPG milik biara Bunda Hati Kudus (BHK) itu mengubah pilihannya. Walaupun sudah mendaftar ia mendaftar lagi di SPG. Jadilah ia menjadi calon murid SPG setelah mengikuti serangkaian tes tertulis dan tes psikologi.
Jenjang pendidikan yang bukan menjadi pilihannya, akhirnya dilewati dengan sempurna. Setelah tamat kembali ke kampung ia diminta untuk mengajar Marcel Maing (seorang gurunya waktu SMP). Wilem diminta mengajar di SMP tersebut karena di SPG dulu ia mendapatkan sertifikat Kateketik.
Namun sayang niat itu tidak direalisasikan.Alasannya, Benediktus Boro Tura, memintanya mengajar di SD Helanlangowuyo. Ben Boro adalah, seorang guru pertama dari desa Honihama yang telah mengajar di berbagai tempat seperti di Regong, Lewopulo dan Honihama. Tanpa berpikir berapa jumlah honor diterima sebagai guru, Wilem mengikuti permintaan Ben Boro Tura.
Ikut tes
Wilem mengikuti ajakan Ben Boro Tura dan ketika bekerja itu ia belajar banyak hal tentang kehidupan menjalani profesi sebagai guru. Di mata Wilem, Ben Boro adalah sosok yang selalu memberikan motivasi, semangat ketika melaksanakan tugas sebagai guru.
Wilem Bahy mengikutinya. Sebagai guru muda ia menerima honor seadanya. Walaupun di saat yang lain ia mengakui bahwa honornya terlalu kecil sehingga nyaris ia membuat keputusan lain dan memilih hampir mau meninggalkan tempat mengajarnya.
‘’Saya sempat lari dari tempat tugas mengajar di SD Inpres Lewobele karena merasa terlalu capai. Saya merasa putus asa dan kembali ke Honihama lalu saat itu berkeputusan untuk berhenti,’’ kisah Wilem Bahy.
Ben Boro mengetahui hal itu kemudian menyusulnya ke Honihama, kampung guru Wilem untuk menjemput, memintanya kembali mengajar di SD tersebut. Sebagai rasa hormatnya kepada sosok guru pertama Honihama ini, Wilem kembali ke Helan Langowuyo. Apalagi melihat Ben Boro adalah sosok yang selalu disegani, dihargai dan sangat berpengaruh baik khusus lewotana Helanlangowuyo.
Tidak lama sesudah itu ada pengumuman dari pemerintah daerah Flores Timur Dinas P dan K waktu itu membuka test PNS. Ben Boro meminta Wilem kembali ke Honihama untuk berdoa sambil membakar lilin, meminta restu leluhur, agar diberikan jalan kesuksesan test PNS, ia pun melakukannya.
Setelah mengikuti tes di Larantuka Wilem kembali bertugas seperti biasa di SD Lewobele. Pengumuman hasil tes saat itu lama karena test dimulai tahun 1991, pengumuman baru bisa diumumkan tahun 1993. Informasi awal diketahui melalui salah seorang warga di Helanlangowuyo dari radiogram yang dibacakan dari RRI Regional Kupang.
Berita tentang hasil kelulusan itu disampaikan kepada Ben Boro Tura lalu sosok guru senior ini malahan mengatakan ia sudah tahu bahwa Wilem Bahy itu lulus dari penerimaan guru pegawai negeri. Pada saat mendengar itu Wilem merasa sangat senang karena dari seluruh peserta sebanyak 1.080 orang peserta di Flores Timur, hanya 13 orang dan ia termasuk di dalamnya.
Penempatan Balauring
Informasi awal Wilem mendapat tugas penempatan sebuah SD di Balauring, Lembata. Tapi entah kenapa tempat penugasan awal berubah menjadi SD Lewobele, tempat mengajar Wilem selama menjadi guru honor. Di tempat ini pula ia belajar banyak hal karena bimbingan dan arahan Ben Boro Tura. Sosok inilah yang mengantar Wilem dari guru honor dari gaji seadanya sampai ia menjadi guru honor hingga jabatan top kini, kepala sekolah. .
Satu hal yang menjadi keunggulan Wilem di sekolah ini, ia melakukan kegemaran membuat kursi/ meja dari belahan bambu. Kegemaran ini ternyata ikut menambah penghasilan. Dengan kemampuan ini ia mendapat order dari berbagai daerah bahkan pesanan konsumen dari Jakarta, dan Kupang. Inilah cara Wilem memanfaatkan kesempatan dengan menggunakan sumber daya alam sekitar.
Wilem dan keluarganya
‘’Sebagai ASN pemula saya menggunakan kemampuan untuk menjual kursi meja dari belahan bambu. Penghasilan yang diperoleh pun lumayan ia mendapatkan,’’ kisah Wilem, ayah dari lima orang anak ini.
Abdi negara atau ASN menyadari bahwa kemampuan menerima tugas bahwa kemanapun menerima tugas . Maka setelah tiga belas tahun di SD Inpres Lewobele, pada tahun 2005 itu kembali mendapat tugas sebagai pengajar di SD Inpres Riangbunga, sekitar ½ km arah kota kecamatan Adonara Timur. Di tempat kedua ini Wilem masih sebagai guru rekan di sekolah ini.
Tahun 2010 Wilem mendapat tugas baru sebagai kepala SD Inpres Libu. Selanjutnya 2020 Wilem mendapat tugas di tempat yang baru sebagai kepala sekolah di SD Inpres Ruang Rindu, Waiwerang, Adonara.
Guru di desa tidak membuat akalnya seputra desa. Naluri bisnis rupanya menggoda sang guru muda ini. Ia membeli alat-alat elektronik kemudian menjual di daerah ia melayani masyarakat sebagai guru. Ia memiliki banyak konsumen dan pelanggan, mulai dari pemasangan parabola milik warga sampai dengan penjualan kulkas atau barang -barang elektronik lainnya.
Untungnya? Ya, lumayan, kata ayah lima anak ini dengan bangga. Ia bisa menyekolahkan anaknya di Yogyakarta dan Denpasar. Di tengah keberhasilannya melayani warga di bidang pendidikan ia sukses membangun bisnis, bahkan kini ia membuka toko khusus untuk air minum di tanah kelahirannya Honihama, Witihama. Orang melihatnya sukses jadi guru juga menjadi pelaku bisnis.
Suatu ketika ada teman-teman guru melihatnya dan berseloroh mengatakan, tidak perlu lagi menjadi guru toh penghasilan Wilem sudah lebih dari cukup tapi Wilem menolak, “mengapa berhenti jadi guru, setelah menjalani selama bertahun-tahun kini menduduki posisi sebagai kepala sekolah justru ini Tuhan membimbing untuk tetap menyelesaikan perutusan ini hingga pensiun,’’ katanya. Sebab guru adalah pilihan panggilan awal yang mengantar saya untuk menjadi sosok yang kini enjoi melakukan tugas ini. Selamat bertugas, ade guru Wilem. *** Konrad R. Mangu
0 Komentar