Beberapa waktu yang lalu, ketika berbincang-bincang dengan salah seorang anggota kelompok “Adoremus,” sebuah kelompok doa dari kaum awam, yang mencoba menghidupkan doa-doa litani para kudus dan completorium, menuturkan bahwa saat ini, ketika mendaraskan doa, memiliki makna yang sangat dalam. Ketika dunia dilanda oleh persoalan terutama hantaman virus yang mematikan ini, seakan dunia digempur dan diporakporandakan oleh pandemi ini. Tidak hanya ancaman nyawa yang menjadi taruhan utama tetapi lebih dari itu, ancaman tentang hidup karena hampir seluruh bangunan ekonomi runtuh. Memaknai doa dan mencoba untuk menyelaraskan doa dengan situasi yang rapuh ini, doa terasa kental penuh makna dan serasa bahwa ketika melantunkan doa-doa, Tuhan terasa dekat dengan setiap manusia yang memohon pertolongannya.
Doa adalah sendi kehidupan manusia. Seperti
tubuh manusia yang bisa tegak berdiri karena rangka tulang sebagai penopang, maka
dalam bangunan rohani, doa menjadi landasan utama, tempat manusia berpijak agar
tegak membangun relasi dengan Tuhan. Relasi intens dengan Tuhan yang dibangun
atas dasar “benang doa” menjadi penghubung antara manusia pada titik yang rapuh
dengan Allah sebagai sumber kehidupan. Manusia, yang sudah diberi keistimewaan
oleh Allah dengan akal dan budi, mencoba untuk mengusai dunia dengan
kecanggihan teknologi, yang tidak lain adalah bentuk ekplorasi diri manusia
yang mencoba menguasai semesta dengan kecerdasannya.
Pada titik ini, dunia pun mengakui bahwa sebagian kecil manusia memiliki kecerdasan lebih dan memungkinkan mereka untuk menguasai dunia dengan melahirkan peralatan teknologi yang canggih. Tetapi di balik kecerdasan itu, ada titik lemah manusia. Di hadapan virus yang tak kelihatan dan mematikan ini, manusia sepertinya tak berdaya di hadapannya dan seakan menyerah dengan situasi ini. Negara-negara maju dengan kecanggihan peralatan di dunia kedokteran, sepertinya tak mempan untuk melerai penyebaran virus ini. Amerika Serikat sebagai negara yang maju, terutama dalam dunia kedokteran, justeru terpuruk juga dengan gelimangnya jenazah manusia yang terkapar karena virus corona ini.
Banyak ilmuwan mencoba untuk mencari, di mana titik penyebaran virus ini serta bagaimana mengatasinya, semakin tenggelam dalam upaya pencarian, dari mana virus ini berasal, semakin ganas pula munculnya virus corona dengan varian baru yang jauh lebih berbahaya. Para agamawan melihat dengan kaca mata spiritual, bahwa kekuatan manusia dari sisi medis sudah tidak mempan lagi. Karena itu cara paling mungkin untuk mempertahankan diri dan melawan corona adalah dengan tetap berada di rumah dan juga membangun relasi dengan Tuhan melalui doa-doa. Doa menjadi benteng terakhir dan sumber kekuatan kita untuk membentengi diri dari amukan virus yang mematikan ini. “Di balik aktivitas berdoa, manusia menyadari bahwa kehidupan di dunia ini tidak sepenuhnya berada dalam kontrolnya. Manusia tergantung kepada YANG LAIN, yang oleh Rudolf Otto disebut mysterium tremendum et fascinosum (Misteri yang menggetarkan dan sekaligus menawan).” Allah, di dalam kesunyian-Nya sedang berpihak pada manusia dan bertanya, sampai kapan, manusia bertahan di balik serangan virus tak kelihatan ini.*** (Valery Kopong)
0 Komentar