“Doa
itu sederhana tetapi memberikan penguatan iman.” Penggalan kalimat ini
sekaligus merupakan sebuah ajakan bagi anggota komunitas iman untuk mendekatkan
diri dengan Tuhan melalui doa-doa. Doa adalah senjata kita. Doa adalah benteng
kehidupan kita. “Ibarat air putih yang
terlihat biasa-biasa saja tetapi jika dikosumsi secara teratur maka akan menyehatkan.
Demikian juga doa yang didaraskan berulang kali untuk menyatakan ketakberdayaan
dan ketergantungan kita pada Sang Pemilik kehidupan itu maka kita terlindungi
dari marah bahaya.” Dalam situasi yang serba tidak menentu pada hari-hari
terakhir ini, sebagai seorang pengurus lingkungan, mengajak anggotanya untuk
berdiam diri dan berdoa secara daring sebagai suatu ungkapan permohonan kepada
Allah agar virus corona yang mematikan ini segera berakhir.
Dua hari terakhir ini, orang baik dan sangat dekat denganku, harus meregang nyawa di bawah gempuran virus ini. Mengapa wabah ini masih saja mengintai setiap gerak gerik manusia? Ketika manusia berdiam diri di rumah masing-masing maka corona juga sepertinya menghilang. Namun Ketika manusia mulai berkumpul dan saling bersentuhan satu sama lain maka corona pun cepat menjalar. Melihat kondisi yang serba memprihatikan ini maka pemerintah mengeluarkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat untuk wilayah Jawa dan Bali. Pemberlakuan PPKM ini menuai reaksi dari masyarakat sendiri. Reaksi paling keras datang dari masyarakat ketika rumah-rumah ibadat juga ditutup untuk sementara waktu. Di mana kami bisa berdoa kalau rumah-rumah ibadah ditutup? Demikian jeritan frontal dari orang-orang yang menamakan diri sebagai kaum agamawan.
Pertanyaan penting bagi kita, untuk apa pemerintah mengeluarkan kebijakan penting berkaitan dengan pemberlakuan PPKM? Jika kita merenungkan secara baik dan matang bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah terkait pemberlakuan PPKM adalah untuk kepentingan masyarakat umum agar terhindar dari ancaman virus corona yang kian mematikan ini. Kita mestinya membuka mata dan melihat peristiwa yang terjadi di India. Ketika dilakukan ritual keagamaan di sungai Gangga-India secara massal di tengah terpaan pandemi, virus bukannya lenyap tetapi justeru setelah ritual keagamaan itu berlangsung, virus pun menyerang manusia dan begitu banyak orang yang meninggal. Pemerintah kewalahan dengan begitu banyaknya jenazah yang berlimpangan itu.
Di
sini kita bisa belajar bahwa ritual keagamaan belum berdaya untuk menolak
penyebaran virus corona. Isu-isu religius dan dikaitkan dengan peristiwa corona
dan penutupan tempat-tempat ibadat, sedang dimainkan oleh para politisi yang
saat ini membungkus diri dengan “pakaian keagamaan.” Mereka berdalih bahwa
orang yang menutup rumah ibadah adalah mereka yang tak punya iman. Apakah beriman
berarti membiarkan rumah ibadah selalu terbuka setiap saat? Tuhan ada di
mana-mana, karena di mana pun kita berada, kita bisa melantunkan doa-doa kita
kepada-Nya. Dalam kamar rumah yang sunyi, kita bisa mendaraskan mazmur-mazmur
pujian pada Allah, sekaligus memohon agar virus corona ini cepat berlalu.
“Apabila kamu berdoa, masuklah ke dalam kamar dan tutup pintu.” Doa tidak perlu dipublikasikan dan dengan berdoa berarti kita membangun relasi dengan Tuhan dengan hening-meditatif. Dari kediaman-Nya, Tuhan pasti tahu apa yang kita paling inginkan saat ini, yakni boleh hidup sehat dan jauh dari ancaman virus corona ini. Dengan membatasi diri dan hanya berdiam di dalam rumah, berarti saya berkontribusi untuk menghidupkan orang lain. Keselamatan orang lain, untuk saat ini sangat ditentukan oleh kehadiran orang lain. Semakin kita menjaga jarak dan tidak berkerumun maka pelan tetapi pasti, kita mengurung ruang gerak virus ini. Berdoa tidak harus secara kolektif di rumah-rumah ibadat karena selain berdoa, juga memberikan sumbangan untuk menghidupkan virus itu untuk menyebar. Doa dari rumah pun tidak kalah jauh dengan kualitas doa di rumah-rumah ibadat. Hanya Tuhan yang tahu dan menentukan kualitas doa kita.***(Valery Kopong)
0 Komentar