Hampir setiap saat terdengar bunyi sirene dari ambulance yang membawa jenazah. Dalam hitungan jam, puluhan orang terkena Covid 19 itu harus meregang nyawa. Begitu kejamnya Covid 19, sampai manusia yang lemah tubuhnya tak berdaya di hadapannya. Sementara itu, banyak di antara teman-teman dan juga tetangga yang terkena Covid, sedang isolasi mandiri. Isolasi mandiri ini dilakukan karena di rumah sakit tidak ada lagi tempat untuk para pasien yang terkena pandemi itu. Dengan isolasi mandiri berarti para pihak, selain keluarga memberikan perhatian ekstra. Di tingkat RT dan RW ada perhatian dari warga untuk memberikan sembako selama mereka mengisolasi diri. Sebagai orang Katolik yang hidup dalam satu paguyuban iman (lingkungan), juga tidak tinggal diam. Bila umat terkena Covid maka pengurus lingkungan memberikan perhatian, terutama bagaimana memberikan bantuan sembako dan juga obat-obatan.
Memberikan perhatian terhadap sesama, memang secara tidak langsung,
sebagai pengikut Kristus, turut menerjemahkan cinta kasih itu secara nyata
terutama kepada orang-orang yang membutuhkan perhatian. Mereka yang
mengalienasi diri (mengisolasi diri) bukanlah keinginan mereka tetapi
mengisolasi diri merupakan cara
membentengi diri dan orang lain terhadap penyebaran virus yang mematikan itu. Dengan
mengisolasi diri berarti membuka mata sesamanya untuk berbela rasa dengan
mereka yang terkungkung hidupnya selama mengalami Covid 19. Ada gerakan
solidaritas dari teman-teman yang masih menyisihkan sebagian berkah secara
tulus untuk salah seorang saudara yang terkena musibah ini. Tindakan yang
dilakukan oleh teman-teman adalah tindakan baik yang perlu dihidupkan sebagai
bentuk kepekaan orang beriman.
Orang-orang sehat secara cepat memberikan respon untuk menanggapi situasi yang sedang dialami oleh teman-teman yang terkena virus itu. Menjadi pertanyaan penting, ke mana arah pemberian sembako yang sudah terkumpul itu? Bagi anggota komunitas iman (lingkungan) yang sehat dan mengumpulkan sembako itu, tujuan jelas, diberikan pada mereka yang terkena Covid dan sedang mengisolasi mandiri. Yang menjadi persoalan adalah apakah orang yang sakit itu menerima kebaikan sesama yang jelas terlihat pada donasi mereka dalam bentuk bahan makanan? Pada peristiwa penolakan ini, memunculkan sebuah pertanyaan penting untuk direnungkan. Apakah kebaikan disambut pula dengan kebaikan? Kebaikan yang kita sebarkan dengan tulus, belum tentu direspon juga dengan kebaikan, dan mungkin juga penolakan terhadap aksi kebaikan yang diperlihatkan oleh teman-teman itu.
Sebagai pengikut Kristus, peristiwa penolakan ini mengingatkan kita akan kehadiran Yesus di dunia ini. Bangsa Israel sendiri menolak kehadiran Mesias, padahal Mesias itu sudah dijanjikan oleh Allah melalui para nabi untuk bangsa pilihan Allah. Mereka menolak kehadiran Yesus dan bahkan Yesus sendiri mengatakan bahwa “seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di kampung halaman-Nya sendiri.” Yesus telah berbuat baik kepada semua orang. Ia mewartakan kabar suka cita kepada orang-orang yang tengah mengalami keterpurukan hidup. Ia menegakkan orang-orang yang lumpuh untuk kemudian berjalan kembali secara normal. Ia juga membangkitkan orang mati dari alam maut.
Semua kebaikan yang dilakukan oleh Yesus, di mata orang-orang yang tidak suka dengan-Nya terutama para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, merupakan hal yang tidak penting. Kehadiran-Nya menjadi ancaman bagi kelompok-kelompok yang menamakan diri sebagai ahli surga yang setiap hari selalu berpatok hidupnya pada hukum Taurat. Tindakan Yesus begitu banyak bertolak belakang dengan hukum Taurat yang diberlakukan secara kaku. Tindakan Yesus lebih mengedepankan aspek kemanusiaan karena terkadang, demi hukum Taurat, kemanusiaan itu terkoyak.
Tindakan para pengurus komunitas iman (lingkungan) untuk berpihak pada mereka yang sakit dan mengisolasi diri, merupakan cara sederhana untuk menghadirkan kembali cinta kasih yang menjadi landasan utama ajaran Yesus. Tetapi dalam melakukan kebaikan itu, kita juga perlu menyiapkan diri untuk ditolak. “Iri hatikah engkau karena aku murah hati?”*** (Valery Kopong)
0 Komentar