Beberapa hari terakhir ini, di media sosial ramai diperbincangkan tentang
“meme” yang dibuat dan disebarkan oleh BEM UI. “Meme adalah ide, perilaku atau gaya yang menyebar dari satu orang ke
orang dalam sebuah budaya. Meme merupakan neologisme yang diciptakan oleh
Richard Dawkins.” Dalam masyarakat yang melek teknologi dan media sosial,
kehadiran “meme” menarik perhatian publik. Meme yang sederhana, mirip virus
yang bisa menyebar dalam masyarakat biasa maupun masyarakat akademik. Pada meme
itu, terpampang foto Presiden Republik Indonesia dan di atasnya tertulis “The
King of lip servis.” Kehadiran “meme” ini membuka ruang perdebatan di media sosial, Ada
sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan julukan presiden Indonesia dan ada
pula yang mendukung apa yang digagas oleh BEM UI.
Banyak perdebatan yang muncul, apakah julukan terhadap presiden yang
disematkan oleh BEM itu merupakan sebuah kritik atau hanya sekedar nyinyir? Jika
kritik yang baik ditujukan pada presiden, mestinya dilandasi pelbagai fakta pendukung
dan pada akhirnya memberikan tawaran sebagai jalan solutif terhadap sebuah
permasalahan yang sedang dihadapi. Bila merujuk pada “meme” yang beredar luas
itu, bagi penulis, itu hanya nyinyir dan kemunculan meme itu memiliki muatan politik
tertentu. Meme itu sekedar hadir pada ruang terbuka dan menyulut perhatian publik.
Namun publik yang cerdas tidak memandang meme itu sebagai sebuah kritik yang
membangun, melainkan sebagai “virus” yang muncul dan mencari media yang tepat
untuk bertahan hidup.
Tentang kritik, penulis teringat akan Widji Thukul, seorang sastrawan dan
aktivis hak asasi manusia. Widji Thukul yang bernama asli Widji Widodo, selalu
memberikan kritik pada pemerintahan Orde Baru dengan puisi-puisi bernapaskan
kritik sosial. Puisi itu memang lahir dari kesunyian namun rekaman pengamatan
atas ketimpangan sosial saat itu terjadi, mengasah nurani seorang Widji Thukul
untuk memberikan kritik pada pemerintahan Orde Baru yang dinilai sebagai
pemerintahan yang otoriter. Ia pada akhirnya diculik dan sampai saat ini belum
ditemukan keberadaannya. Widji Thukul adalah potret kepolosan seorang penyair
dan memberikan kritik-kritik sosial sebagai cara untuk membaharui situasi. Namun
di balik kritik yang pedas itu, ia harus menerima resiko, diculik dan entah di
mana keberadaannya.
Hidup di alam demokrasi, kritik menjadi penting karena dengan kritik yang
dilontarkan pada pemerintah, memberikan “warning” tentang kebijakan apa yang mungkin sudah dilakukan namun belum
mengena pada sasaran dan juga janji-janji politik yang belum dituntaskan.
Kritik yang terbuka dan positif, sepertinya memberikan energi baru pada para pemegang tampuk pemerintahan
agar lebih waspada dalam menjalani roda pemerintahan sesuai dengan “rel
kebijakan” yang sudah di atur dalam undang-undang.
Tukang-tukang kritik, tidak hanya hidup pada zaman ini tetapi dalam
pengalaman masa lampau, di masa hidupnya Yesus, tukang-tukang kritik juga sudah
muncul. Ketika Yesus mewartakan tentang Kerajaan Allah melalui kata dan
tindakan-Nya, kelompok-kelompok yang menjadi oposisi (penentang) selalu
memberikan kritik. Sebagai contoh, ketika Ia (Yesus) menolong orang pada hari
Sabat, juga ditentang oleh kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat yang berpegang
teguh pada hukum Taurat di mana tidak diperbolehkan untuk menolong orang pada
hari Sabat. Namun kritik yang dilontarkan itu tidak menyurutkan nyali-Nya untuk
tetap berbuat baik karena pada prinsipnya, Yesus mau mengangkat kemanusiaan
yang terkoyak di mata hukum yang kaku itu. Kritik yang lancarkan oleh
kelompok-kelompok oposisi, namun sang pengeritik disadarkan oleh tindakan Yesus
yang berpihak pada kebenaran Allah. Kritik itu penting karena hanya dengan kritikan itu, semua mata
kita tertuju pada sebuah persoalan yang dibidik dan pada akhirnya publik bisa
menilai, mana kritik yang konstruktif dan mana kritik yang destruktif. Namun
dalam memberikan kritik, resiko terhadap si tukang kritik menjadi taruhan.***(Valery Kopong)
0 Komentar