MASYARAKAT Kecamatan Ile Boleng tahun 1970 an mengenal, sosok pemain bola kaki sebagai penjaga gawang asal Desa Riangduli, Kec. Witihama, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Nama lengkapnya Gabriel Gawe Lela, (67 tahun). Ia biasanya disapa Pak Gaba. Ketika bermain bola kaki membela keseblasan sangat popular sebagai penjaga gawang. Di balik kegiatan olahraga paling digemarinya itu sesungguhnya ia berprofesi sebagai seorang guru sekolah dasar (SD).
Banyak
orang mengenalnya sebagai pemain bola kaki. Di sejumlah sekolah, masyarakat
umum mengenal Pak Gaba. Bahkan ketika ia
dimutasikan ke tempat lain mereka mengaku tidak lagi menggeluti olahraga bola
kaki.
Tahun
2018 setelah ia purnatugas menjadi guru, Gaba berjalan-jalan ke Tarakan,
Kalimantan. Suatu daerah yang bernama Juata Laut, seorang koster pelayan pembantu
pelayan pastor menjelang dilakukan Ekaristi Kudus (misa) ia bertemu dengan
orang Adonara yang melayani pastor datang mempersembahkan misa kudus. Saat itu
tiba-tiba datang seorang pastor berasal dari
Adonara. Awalnya ia tidak mengenal pastor itu tapi kemudian ia melihat wajahnya
seperti ia pernah mengenal. Setelah menanyakan pastor dan menyebut nama
orangtua itu ternyata benar? Ternyata yang ditebak ternyata benar, bahwa pastor
itu adalah anak dari bapak yang disebutkan Pak Gaba.
Menurut
cerita pastor itu, ayahnya pernah bercerita seorang pemain bola, penjaga gawang
yang cukup terkenal saat membela desa Lambolan versus Lamawolo dan waktu itu
Lambolan meraih kemenangan. Penjaga gawang waktu itu adalah Gaba Gawe Lela. Inilah
kisah yang diceritakan ulang pastor itu selesai memimpin Misa di Tarakan,
Kalimantan.
Meskipun
Gaba dikenal masyarakat luas ia tidak pernah meninggalkan tugas pokoknya
sebagai guru sekolah dasar (SD). Ia menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Pendidikan Guru (SPG) Kemasyarakatan Lewoleba tahun 1974. Oleh karena kebutuhan
guru di kampung ia mengajar selama dua bulan di Riangduli (masih bergabung desa
Honihama).
Atas
informasi Zakharias Suban Koli (alm), guru asal Watoone menginformasikan SDK
Puka One (Ile Boleng) membutuhkan guru selanjutnya ia mengajar di SD tersebut.
Di Puka One Gaba mengajar mulai tahun 1972- 1977. “Di Puka One tahun 1975 saya diangkat menjadipegawai
negeri sipil atau ASN. Sebelumnya saya mengabdi di sekolah itu dengan honor
5000 per bulan yang merupakan honor
tertinggi di sekitar sekolah itu, karena
ada yang dihonor Rp2000 dan 1000 per bulan,’’ kisah Gaba.
Sebagai
abdi negara, Gaba menerima tugas yang
diberikan kepadanya. Tahun 1977-1982 ia mendapat tugas mengajar di SDK
Harubala. Selanjutnya tahun 1982- 1986 di SD Inpres Riangduli. Lagi-lagi ia
mendapat tugas baru dimutasikan ke SD Bilal, Kec. Adonara Timur.
Pantang terlambat
Gaba
menceritakan 16 tahun di SD itu 11 tahun bekerja menjadi guru
bantu selama lima tahun menjadi kepala
sekolah di SD Bilal. Ada satu hal yang menjadi ciri khas Gaba adalah ketika
mengabdi ia tidak suka datang terlambat ke
sekolah. Praktik hidup pelayanan sebagai guru boleh ia mengatakan pantang saya datang
terlambat karena sebagai pemimpin tidak mungkin menunjukan teladan terlambat
hadir di sekolah.
Ketika
menjadi kepala SDK Honihama (2002-2008) walaupun ia memiliki rumah di Riangduli
tak jauh dari Honihama ia memilih tinggal bersama di rumah yang dibangun
swadaya masyarakat setempat. Ia menghargai jerih payah para orangtua yang telah
membangun rumah untuk guru sehingga walaupun rumah itu sangat sederhana ia
menempatinya. “Rumah sangat sederhana dan saya tempati sampai dengan empat
tahun,’’ kisah pria kelahiran Riangduli, 7 Maret 1954.
Guru terlibat
Di
wilayah manapun ketika Pak Gaba bertugas ia selalu membangun relasi yang baik
dengan masyarakat sekitar. Menurutnya seorang guru yang dikenal sangat hebat
mengajar peserta didk sampai mengerti tentang suatu displin ilmu tapi kalau ia
tidak membangun relasi baik dengan masyarakat maka itu merupakan suatu kegagalan.
Artinya kalau guru mengabdi di suatu lembaga pendidikan maka otomatis membangun
relasi yang baik dengan masyarakat sekitar karena guru sebagai pelayan
masyarakat.
‘’Guru
yang terlibat dalam lingkungan masyarakat itu sangat diperlukan. Misalnya
kegiatan olahraga, karang taruna (dulu dikenal Klompencapir), kegiatan
pelayanan social kemasyarakatan dan dengan demikian masyarakat melihat guru
memang terlibat dan menyatu bersama masyarakat,’’ katanya.
Guru
itu menurut Gaba adalah sosok yang digugu dan ditiru. Maka di tengah-tengah masyarakat
ia harus menunjukan pengabdian di bidang apa saja yang ia mampu sesuai dengan
kompetensinya. Pengabdian bukan hanya sebagai pemain bola, penjaga gawang namun
ia terlibat dalam doa lingkungan, latihan koor dan lain-lainnya.
Lulusan
SDK Honihama 1968 ini mengisahkan di daerahnya ia bersama Thomas Tuwa Rian
(guru purnatugas) dan mengabdi di berbagai tempat. Tahun 1969-1971 Gaba
melanjutkan ke SMP Palugodam, Lewokemie kemudian di SPG Kemasyarakatan Lewoleba
(1972-1975).
Dalam
tugas Gaba benar menghayati panggilan sebagai guru. Meskipun guru mendapat
julukan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa ia tak peduli dengan hal itu. Dalam
perjalanan kadang juga merasa bahwa pihak yang berwenang melakukan tindakan ‘sewenang-wenang”.
Tahun 2008 ia mendapat SK dimutasi ke
SDK Regong, ia tidak melaksnakan
tugas sesuai SK itu karena
menurutnya tidak sesuai dengan keinginan. Setahun kemudian mendapat tugas di SD
Inpres Watoone, Witihama sampai ia purna tugas.
Tahun 2014 ayah dari 4 orang anak, delapan (8)
cucu ini benar-benar purnatugas. Saban hari ia hidup sambil bekerja kebun,
mengisi masa-masa tuanya. Di tengah aktivitas itu ada warga yang mendorong maju
dalam bursa pemilihan kepala desa Riangduli, tempat kelahirannya. Tapi ia mengatakan
ia ingin hidup tanpa diperintah oleh pihak lain atau orang yang lebih tinggi
kedudukan. “Kalau diberi tanggungjawab dalam kurun waktu sebagai ketua panitia suatu perayaan, panitia
pemilu dan sebagainya bisa saya terima,’’ katanya. Ia ingin hidup yang ia
jalani hanya bercocok tanam tanpa ada yang harus memerintah , mengawasinya atau mengontrolnya.
Itulah sang pemain bola dan guru yang kini purna tugas. *** Konradus R, Mangu
0 Komentar