Renungan kita pada hari ini bertema: Saling Menasihati dan Membina. Gempa bumi yang terjadi beberapa waktu lalu telah merusak sekitar 50 persen gedung gereja Paroki yang memiliki jumlah umat lima ribuan orang. Akibatnya, gereja itu terpaksa tidak digunakan untuk sementara. Untuk perbaikannya diputuskan bersama bahwa setiap keluarga di paroki sebagai penyumbang dana dan bahan bangunan.
Pembicaraan antara pastor paroki dan umatnya perihal
perbaikan itu pada akhirnya mengerucut pada dua tujuan yang akan dicapai
bersama. Pertama ialah perbaikan fisik gereja secepat dan sebaik mungkin supaya
umat tidak terlalu lama bertahan di tempat ibadat yang darurat. Tujuan kedua
yang sama pentingnya yaitu pembangunan jemaat, khususnya persaudaraan dan kerja
sama di antara mereka dirajut kembali setelah terjadi sejumlah friksi lantaran
perbedaan pandangan dan salah paham di antara mereka, terutama menyangkut
swadaya umat atau tidak untuk perbaikan Gereja.
Semakin perbaikan gereja itu menunjukkan kemajuan, semakin
pula disadari bahwa pembangunan jemaat itu harus diberi lebih banyak perhatiannya.
Kehidupan jemaat yang positif, sehat dan penuh persaudaraan tentu menjadi
kondisi dasar untuk suksesnya pembangunan fisik gereja. Tentang persoalan
friksi di antara umat, Pastor Paroki bersama umatnya mengusahakan adanya saling
menasihati dan membina di antara mereka. Hal ini merupakan kebaikan yang
dikembangkan juga oleh jemaat di Tesalonika seperti yang dikatakan dalam bacaan
pertama.
Gereja lokal seperti paroki berorientasi kepada
pemberdayaan jemaatnya dengan salah satu cirinya ialah kemandirian umat. Kebiasaan
pastor sentris atau imam sebagai pusat sudah berubah menjadi umat sentris. Umat
paroki yang mandiri dianggap mampu mengatasi persoalan-persoalan di antara
mereka, dan salah satu cara penting untuk melakukan ini ialah dengan saling
menasihati dan membina. Kata Santo Paulus, Allah menetapkan kita bukan untuk
mengalami kemurkaan, melainkan untuk memperoleh keselamatan oleh Tuhan kita,
Yesus Kristus.
Kemandirian sebagai satu jemaat, sangat perlu menghindari sifat menunggu untuk dilayani, atau mengharapkan datangnya bantuan. Mirip dengan mental pastor sentris ialah semangat “santa klaus”, di mana hadiah dan pemberian itu sangat dinantikan. Bisa jadi orang-orang berdoa dan berharap supaya mujisat-mujisat datang silih berganti. Jika hal ini yang dikejar dan didambakan, bisa jadi usaha untuk saling menasihati dan membina hanya sebagai omong kosong. Sesungguhnya sebagai orang beriman, bukan mujisat-mujisat yang kita kejar, tetapi karya-karya iman seseorang atau komunitas beriman yang dapat menghadirkan mujizat-mujizat. ***(P. Peter Tukan, SDB)
0 Komentar