Beberapa hari belakangan ini suhu politik pada tataran pedesaan mengalami kenaikan yang berarti. Suhu politik tingkat desa semakin panas sepertinya mengarah pada gesekan sosial yang dilakukan kelompok-kelompok pendukungan sang calon kepala desa. Politik pada basis paling bawah dalam sistem pemerintahan ini, membersitkan sebuah perhelatan sengit antar kandidat untuk meraih kursi kekuasan sang kades. Genderang perang sudah ditabuh. Gong perhelatan sedang berada dalam proses. Masing-masing pendukung mencoba memperlihatkan catatan keunggulan dari masing-masing calon. Calon kades diadu gagasan terutama pada saat pemaparan visi dan misi dalam pola penataan pemerintahan desa ke depan nanti jika terpilih.
Visi
dan misi sang calon kepala desa menjadi rujukan utama para pemilih untuk bisa
melihat dan pada akhirnya menentukan pilihan pada figur yang tepat. Visi dan
misi juga menjadi acuan utama dalam mengemas program-program yang produktif
untuk membangun desa. Seorang calon kepala desa adalah seorang visioner, harus
berani membaca tanda-tanda zaman. Untuk menggapai harapan yang termuat dalam
visi itu, seorang calon kades akan bertindak melalui misi. Misi menjadi rangkaian
“titian jembatan” untuk bisa menghubungkan visi yang masih menjadi sebuah
fatamorgana itu.
Dalam tataran mengelola pemerintahan desa yang baik, perlu adanya ruang demokrasi yang menerima kritik-kritik konstruktif sebagai amunisi untuk menambah energi baru dalam mengelola sebuah desa. Tetapi menjadi problem adalah jika kritik dilihat sebagai cara untuk mengamputasi, bahkan mendekonstruksi seluruh kebijakan seorang kepala desa maka terjadi benturan yang bisa memperparah ruang demokrasi dalam masyarakat. Orang-orang yang berada di bawah “kolong langit desa” perlu banyak belajar tentang bagaimana berdemokrasi dan bagaimana menghidupkan demokrasi itu agar roda pemerintahan desa bisa berjalan secara normatif. Kritik dalam konsep negara demokrasi, dilihat sebagai “warning” pada pemimpin setempat untuk melihat, seberapa jauh ia melangkah dan apa yang dilakukan itu sudah berada pada rel yang benar atau tidak?
Dalam perhelatan demokrasi tingkat desa ini, yang bertarung adalah petahana dan calon kepala desa yang lain. Mata kedua kubu begitu jeli untuk melihat, di mana titik lemah sang lawan yang harus dicari sebagai cara untuk meruntuhkan bangunan politik yang telah dikonstruksinya. Memang berat seorang petahana bertarung kembali dengan calon kepala desa yang lain. Mengapa seorang petahana dikatakan berat berhadapan dengan lawan politiknya? Karena ketika petahana bertarung, pada saat yang sama, masyarakat sebagai pemilih, akan melihat kembali rekam jejak yang telah ditorehkan masa kepemimpinan. Jika seorang petahana selama masa kepemimpinannya mewarisi program-program unggul yang berpihak pada masyarakat dan tanpa mencederai masyarakat yang adalah pemilih, maka pertarungan yang dimulai dalam sebuah perhelatan itu tidak menemukan kendala yang berarti. Namun sebaliknya, jika seorang petahana mewarisi beban sejarah masa lalu maka suaranya akan tergerus pada proses pemilihan sebagai loncatan ekspresi para pemilih yang tidak lagi menaruh harapan.
Masing-masing calon kepala desa mesti mengusung “Filosofi Gelekat Lewo Tanah” sebagai cara berpolitik dengan basis pada kearifan lokal. Gelekat Lewo Tanah, menjadi pelayan sesama di kampung, sebuah filosofi sederhana namun sarat makna. Nilai pelayanan calon kades tidak sekedar didasari atas “mamon” tetapi pengabdian dan pengorbanan untuk lewo tanah melampaui daya tarik duniawi. Di sini kita bisa melihat bahwa ada konsep Gelekat Lewo Tanah menjadi sebuah ranah keramat yang di dalam ada cinta dan pengorbanan pada rahim lewo tanah yang telah membesarkan. Mengatakan cinta dan pengorbanan sebagai “pelayan lewo tanah” maka ada kerelaan untuk berkorban untuk orang lain. Meminjam bahasa filsuf Martin Heidegger, “Aku ada untuk aku-ku yang lain.”
Pernyataan filosofis Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis di atas, merujuk pada ruang keterbukaan untuk diri dan terarah pada orang lain. “Aku menjadi aku karena aku-ku yang lain,” dimaknai bahwa jika aku memaknai diri secara berarti bila keberadaanku bukan untuk diriku tetapi aku menjadi berarti karena aku berbuat sesuatu untuk orang lain. Dalam tataran ini, bisa dikomparasikan dengan model pengabdian sebagai calon kepala desa, bahwa pengabdian sebagai seorang kepala desa adalah sebuah pengabdian tulus dalam terang filosofi Gelekat Lewo tanah.
Menjadi seorang calon kepala desa dan akan menjadi kades yang terpilih nanti, jadikan dirimu bermakna di tengah masyarakat. “Tubak ma’a ro ehina sama tewo nubun pulo, heren ma’aro waina sama muko lungun tukan.” Bahasa sastera kiasan ini membuka peluang bagi siapa saja untuk mengabdi dan menjadi diri berarti pada lewo tanah tercinta. Berpolitiklah secara sehat dan jadilah pelayan jika menang dalam pertarungan itu. “Gelekat ake maan Gekat, hide ake maan dihek.” (Valery Kopong)
0 Komentar