‘’Ketika berinteraksi dengan para perempuan Adonara, Lembata dan Flores pada umumnya saya menemukan para perempuan di sana dengan penuh kehangatan, kepedulian, kerja keras dan penuh hormat menerima tamu. Keberhasilan produksi film Ola Sita Ina Wae adalah bukti keberhasilan perempuan di sana yang berjuang bukan hanya untuk memberdayakan dirinya memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga,’’ kata Vivian Idris dalam diskusi secara daring yang mengusung tema “Pendidikan Kontekstual dan Pemberdayaan Perempuan di Adonara dan Lembata,” Sabtu ( 2 Oktober 2021).
Flores dan NTT pada umumnya bukan hanya memiliki alam yang indah permai tapi juga memiliki potensi wisata yang belum dikenal luas. Selama ini, masyarakat Indonesia hanya disuguhi objek wisata bukan wilayah timur Indonesia oleh karena itu dengan adanya perkembangan ilmu dan teknologi, melalui sarana film, siapa pun dapat mengetahui potensi alam, objek wisata yang belum digarap secara optimal.
Vivian Idris mengaitkan pengerjaan film yang dihubungkan dengan pendidikan kotekstual di mana film sebagai sarana yang paling efektif , ikut mendukung pendidikan kontekstual. Sebagai sutradara yang hadir secara langsung di daerah itu, semula ia mengambil peran untuk menggali bagaimana peran PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) , suatu kelompok perempuan yang hidupnya sebagai single parent yang bekerja bukan hanya sebagai seorang ibu tapi juga sebagai sosok “ayah” yang harus mengambil peran pencari nafkah dan melanjutkan proses kehidupan.
Seperti diketahui film Ola Sita Ina Wae, merupakan suatu projek film yang disutradarai Viian Idris yang bekerja sama dengan PEKKA di NTT. Dalam proses pembuatan film ini ia menjumpai wajah peran perempuan pekerja keras, kendati tanpa didampingi seorang suami, ditinggal karena merantau ke Malaysia, suami menikah lagi atau berpisah karena akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Vivian Idris mengisahkan film yang mulai dibuat pada tahun 2015 itu atas inisiasi Ibu Nani (pegiat PEKKA) untuk mengetahui perjuangan kelompok perempuan NTT dalam menapaki kehidupan, yang dikelilingi dengan tradisi yang sangat mengekang dan berusaha keluar dari himpitan tradisi yang sungguh-sungguh tidak memberikan kemerdekaan dalam hidup.
Keberhasilan pembuatan film Ola Sita Ina Wae, kata Vivian bukti keberhasilan perempuan dalam PEKKA yang konsisten dalam suatu pekerjaan sehingga mereka ‘berdaya’ dalam kehidupannya meskipun hidup sebagai single parent. ‘’Perempuan dalam PEKKA bukan hanya menyediakan makanan untuk anggota keluarganya tapi mengambil peran sebagai pencari nafkah,''katanya.
Sutradara Vivian Idris mengaku wilayah Adonara dan Lembata sangat kaya karena memiliki potensi wisata beragam, pertanian yang cukup baik, hasil pertanian seperti mente yang luar biasa. Belum lagi ada potensi laut yang sangat kaya. Ia juga menyebut tradisi penangkapan Ikan Paus yang menjadi aset pariwisata yang sangat menarik. Semua potensi ini menjadi sarana paling efektif dalam mengaktualisasikan pendidikan kontekstual.
Vivian menyebutkan pembuatan film sesungguhnya kegiatan secara sadar untuk memberikan suatu dampak dari film tersebut. Kendati belum optimal, dampak ini dalam boleh dalam jangka waktu yang tidak singkat, namun ada pesan terbaik yang bisa diperoleh masyarakat umum.
Hadir dalam diskusi ini Robert Bala (kepala SMP-SMA di Tangerang) yang mengaitkan, para pegiat perempuan yang aktif dalam PEKKA bisa memberikan sharing pengalaman di kelas yang memberikan inspirasi bagi seluruh peserta didik. Ini praktik nyata pegiat pendidikan yang menghadirkan tokoh-tokoh yang bisa menceritakan pengalaman dalam pemberdayaan perempuan.
Sementara itu, Robert Baowolo (pegiat pendidikan) menilai sarana film bisa menjadi sarana kritik. Kiritik yang disampaikan bisa merupakan kritik halus dan keras sehingga karya-karya seperti film (Ola Sita Ina Wae) menjadi sarana penting untuk membangun kesadaran.
Petronel Peni, pegiat PEKKA yang menjadi nara sumber dalam diskusi menyebut PEKKA sebagai wadah perempuan Lamaholot menyongsong masa depannya yang lebih baik. Jika selama ini perempuan menjadi manusia kelas dua mereka kini memiliki hak untuk memperbaiki hidup yang lebih baik. *** Konradus R, Mangu
0 Komentar