Unordered List

6/recent/ticker-posts

Ini Pengakuan Sutradara Film “Ola Sita Ina Wae”


JAKARTA, Gagas Indonesia Satu- - - -SUTRADARA  film “Ola Sita Ina Wae”, Vivian Idris mengungkapkan pengalaman menjadi sutradara  dengan mengambil setting di Adonara  dan Lembata  di Flores , Nusa Tenggara  Timur (NTT) merupakan suatu kegiatan yang sangat  menarik. Alasannya , meskipun para perempuan tanpa bekal  dunia  teater yang mumpuni  toh mereka mampu memerankan tokoh dengan karakter masing-masing. Dan pada akhirnya bisa  menyelesaikan  film yang menggambarkan pemberdayaan para perempuan ‘single parent’ itu dengan baik. Bahkan ia mengatakan pengalaman  itu tidak ditemukan di tempat lainnya dalam sepanjang kariernya selama 20 tahun menjadi sutradara. 

‘’Ketika berinteraksi dengan para perempuan Adonara, Lembata  dan Flores pada umumnya  saya menemukan para perempuan di sana dengan penuh kehangatan, kepedulian, kerja keras dan penuh hormat menerima tamu. Keberhasilan produksi  film Ola Sita Ina Wae adalah bukti keberhasilan perempuan  di sana yang berjuang bukan hanya untuk memberdayakan dirinya memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga,’’ kata  Vivian Idris dalam diskusi    secara  daring yang mengusung tema “Pendidikan Kontekstual   dan Pemberdayaan Perempuan di Adonara  dan Lembata,” Sabtu   ( 2 Oktober 2021). 


Flores dan NTT pada umumnya  bukan hanya memiliki  alam yang indah permai  tapi juga memiliki potensi wisata yang belum dikenal luas. Selama ini, masyarakat Indonesia  hanya disuguhi  objek wisata bukan wilayah timur Indonesia  oleh karena itu  dengan adanya perkembangan ilmu dan teknologi, melalui sarana film,  siapa pun dapat mengetahui potensi  alam, objek wisata yang belum digarap  secara optimal. 



Vivian Idris mengaitkan pengerjaan film   yang dihubungkan  dengan pendidikan kotekstual di mana film sebagai  sarana yang paling efektif , ikut mendukung  pendidikan kontekstual. Sebagai sutradara  yang hadir secara langsung di daerah itu, semula ia mengambil peran untuk menggali bagaimana peran PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) , suatu kelompok perempuan yang hidupnya sebagai single parent yang bekerja bukan hanya sebagai seorang ibu tapi juga sebagai  sosok “ayah” yang harus mengambil peran pencari nafkah  dan melanjutkan proses kehidupan. 


Seperti diketahui film Ola Sita Ina Wae, merupakan suatu projek  film yang disutradarai Viian Idris yang bekerja sama dengan PEKKA di NTT. Dalam proses pembuatan film ini ia menjumpai wajah peran perempuan pekerja keras, kendati tanpa didampingi seorang suami, ditinggal karena merantau ke Malaysia, suami menikah lagi atau berpisah karena akibat kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT). 


Vivian Idris mengisahkan film yang mulai dibuat pada tahun 2015 itu atas inisiasi Ibu Nani (pegiat PEKKA)  untuk mengetahui  perjuangan kelompok perempuan NTT  dalam menapaki kehidupan, yang dikelilingi  dengan tradisi yang sangat mengekang dan berusaha keluar dari himpitan tradisi yang  sungguh-sungguh tidak memberikan kemerdekaan  dalam hidup. 


Keberhasilan pembuatan film Ola Sita Ina Wae, kata Vivian bukti keberhasilan perempuan dalam PEKKA  yang konsisten  dalam  suatu pekerjaan  sehingga mereka ‘berdaya’ dalam kehidupannya meskipun  hidup  sebagai single parent. ‘’Perempuan dalam PEKKA  bukan hanya menyediakan makanan untuk anggota keluarganya tapi mengambil peran sebagai  pencari nafkah,''katanya. 


Sutradara Vivian Idris mengaku wilayah Adonara dan Lembata sangat kaya karena memiliki potensi wisata beragam, pertanian yang cukup baik, hasil pertanian seperti mente yang luar biasa. Belum lagi ada potensi laut yang sangat kaya. Ia juga menyebut tradisi penangkapan Ikan Paus yang menjadi aset pariwisata yang sangat menarik. Semua potensi ini menjadi sarana paling efektif dalam mengaktualisasikan pendidikan kontekstual. 


Vivian menyebutkan pembuatan film sesungguhnya kegiatan secara sadar  untuk memberikan suatu dampak dari film tersebut. Kendati belum optimal, dampak ini dalam boleh  dalam jangka waktu yang tidak singkat, namun ada pesan terbaik yang bisa diperoleh masyarakat umum. 


Hadir dalam diskusi ini Robert Bala (kepala SMP-SMA di Tangerang) yang mengaitkan, para pegiat perempuan yang aktif dalam PEKKA  bisa memberikan sharing pengalaman di kelas yang memberikan inspirasi bagi seluruh peserta didik. Ini praktik nyata pegiat pendidikan yang menghadirkan tokoh-tokoh yang bisa menceritakan pengalaman  dalam pemberdayaan perempuan. 


                                           Robert Bala 

Sementara itu, Robert Baowolo (pegiat pendidikan) menilai sarana film bisa menjadi sarana kritik. Kiritik yang disampaikan bisa merupakan kritik halus dan keras  sehingga karya-karya seperti film  (Ola Sita Ina Wae)  menjadi sarana penting untuk membangun kesadaran. 


Petronel Peni, pegiat PEKKA yang menjadi nara sumber dalam diskusi menyebut PEKKA  sebagai wadah perempuan Lamaholot menyongsong masa depannya yang lebih baik. Jika selama ini perempuan menjadi manusia kelas dua mereka kini memiliki hak untuk memperbaiki hidup yang lebih baik. ***  Konradus R, Mangu 


Posting Komentar

0 Komentar