Renungan kita hari ini bertema: Zaman Baru Menuntut Perubahan. Sepanjang tahun kita menjemput pergantian musim alam: panas ke dingin, dingin ke panas, gugur ke semi, semi ke gugur. Secara liturgis, beberapa hari lagi kita menjemput tahun liturgi yang baru. Akibat langsungnya ialah kita beradaptasi musim yang baru. Sebuah musim atau zaman baru menuntut perubahan hidup kita.
Tuhan Yesus berbicara tentang datangnya kerajaan Allah. Ia
menyemangati kita untuk menangkap tanda-tandanya dan bersedia menyambutnya,
lalu akhirnya diri kita memang perlu membaharui diri. Ketika tanda-tanda itu
mengungkapkan bahwa yang kita jemput adalah sebuah akhirat, mau tidak mau kita
mesti menyambutnya karena yang datang ialah Tuhan sendiri yang menjemput. Kita
perlu siap menerima Dia, dan persiapan kita itu mengandung arti kalau kita
memulai perubahan yang seperlunya dan selanjutnya kita hidup dalam bentuk yang
baru.
Dalam hidup kita saat ini di berbagai tingkat kehidupan,
mentalitas membuat rencana untuk kegiatan apa pun merupakan suatu kebutuhan
yang tidak bisa dihindari. Dari kegiatan sederhana seperti ajakan makan malam
di rumah teman hingga ke suatu perencanaan perusahaan multinasional atau reksa
pastoral sebuah keuskupan, semua kegiatannya menjadi lancar dan menyenangkan
kalau direncanakan. Jika tidak, kegiatan apa pun akan kacau-balau dalam aneka
bentuk, antara lain yang paling penting ialah tidak diketahui apa yang akan
dilakukan dan tak ada arah pasti yang hendak kita lalui.
Kalau tak ada rencana, bagaimana kemudian kita tahu apa
atau siapa yang kita jemput, dan seperti apa penyesuaian diri sebagai bentuk perubahan
diri yang perlu kita lakukan. Hanya mereka yang mempunyai rencana yang dapat
mengalami pengalaman indahnya menyambut Tuhan dan menikmati suka cita sebagai
pribadi-pribadi yang baru. Jika Tuhan datang menemui kita dalam perayaan
ekaristi, rencana penyambutan itu mestinya sudah ada lebih awal, maka nanti
pertemuan itu menjadi sebuah suka cita yang istimewa, dan perubahan akan
terjadi di dalam diri kita.
Sebaliknya kalau tidak ada persiapan, pertemuan dalam
ekaristi itu bakal diwarnai dengan situasi yang serba kekurangan: entah Tuhan
dirasakan diam saja dan begitu jauh, entah kita yang terbawa malas sehingga
mengantuk melulu, entah kita hanya terpaksa menghadiri ekaristi karena pengaruh
atau tekanan pihak lain, entah sekedar ikut ramai dan memanfaatkan satu hari
libur.
Tuhan yang datang dalam perayaan Ekaristi, Dia yang sama juga datang pada berbagai kesempatan lain hidup ini. Ia harus disambut dengan suka cita. (P. Peter Tukan,SDB)
0 Komentar