SAAT berdua ngobrol santai di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat tiga belas tahun lalu, Frans Lebu Raya tetaplah seorang politisi yang tenang dan santun. Namun soal taktik dan strategi? Jangan tanya. Dialah yang menjadi salah seorang pimpinan sidang dalam Kongres PDI-P di Denpasar, Bali, hingga mengantar Megawati Soekarnoputri menjadi ketua umum partai bergambar banteng gemuk itu.
“Saya dan keluarga menyampaikan terima kasih yang berlimpah atas doa, dukungan, kerjasama, dan kerja keras dalam proses pilkada sehingga saya dan Pak Esthon dipilih dan dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur. Kami mohon dukungan selanjutnya dalam kepemimpinan kami ke depan untuk mewujudkan NTT yang lebih baik. Mohon maaf manakala ada kekurangan dalam seluruh proses ini. Terima kasih. Tuhan memberkati,” ujar Frans Lebu Raya kepada saya, Minggu, 20 Juli 2008.
Itulah cara pria asal Desa Watoona, Pulau Adonara, Flores Timur, ini mengungkapkan “isi hatinya” kepada semua masyarakat dan semua pihak terkait menyusul kemenangan politik dalam pikada yang ia raih bersama Esthon. Tapi apa pandangannya soal politik? Inilah bagian kedua hasil ngobrol dengan pria kelahiran Watoona, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT.
Sebagaimana ia kemukakan sebelumnya, masyarakat NTT terdiri dari berbagai kelompok etnis, suku, agama, dan adat-istiadat. Keragaman ini merupakan kekayaan untuk membangun NTT. Seorang pemimpin, ia mengingatkan, perlu membuka diri dan bisa melihat bahwa ada realitas keberagaman di daerah ini. Dengan demikian, ia tak melihat keberagaman tersebut sebagai ancaman. Ia lebih sebagai kekayaan dan mozaik nan indah.
Dalam konteks pembangunan NTT, ia melihat ada nilai gotong-royong yang hilang. Dulu, misalnya, got-got jalan raya yang rusak diperbaiki bersama. Tapi sekarang mulai hilang. Hal ini merupakan dampak pembangunan yang bermental proyek.
Kondisi ini menuntut seorang bisa membuka diri. Ia perlu melihat bahwa ada realita seperti itu dan mau menerima realita itu. Nah, kalau hal itu dilakukan dengan jujur, maka hambatan yang muncul bisa diatasi dengan baik. Ada banyak syarat yang diperlukan seorang pemimpin. Secara teoritis memang banyak. Semua itu terpulang kepada sikap pemimpin: terbuka atau tidak untuk menerima pendapat orang lain. Nah, hal ini menjadi hal penting.
Frans menceritakan, dalam beberapa kali pertemuan dengan masyarakat NTT di Denpasar, ada kesan yang ia tangkap. Bahwa perlu dialog antara masyarakat di luar NTT dengan para pemimpin di NTT. Banyak orang NTT yang mempunyai niat untuk membangun NTT tapi mereka tidak tahu bagaimana niat itu bisa disalurkan.
Dalam dialog itu, ia memaklumi kalau ada banyak kritik yang terlontar. Jawabannya jelas. ‘Silahkan Anda kritik!. Tapi tentu kita semua sepakat bahwa kritik itu harus memberi motivasi dan solusi mengatasi berbagai soal. Bahkan dalam pertemuan itu, ada suara yang mengatakan tak akan percaya lagi kepada para pemimpin di NTT.
Bagi Frans, kritik seperti itu perlu ditanggapi dengan hati tenang dan pikiran jernih. Jika ditanggapi dengan emosi maka tentu tak ada solusi. Bila ada kritik, ia hanya melihat hal itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kritik itu harus menjadi motivasi bagaimana menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
Bahkan lebih dari itu, ia menekankan bahwa kepekaan nurani sangat penting karena akan membebaskan kita dari beban berat. Berpolitik dengan menempatkan hati nurani jujur sangat penting. Dengan demikian, semua pihak akan menerima dengan baik. Ketika orang itu hidup dalam ketidakjujuran, ia yakin orang bersangkutan merasa tertekan dalam hidup.
Lera wulan tana ekan
Perjalanan kariernya di dunia politik hingga mengantarnya menjadi Wakil Ketua DPRD hingga Gubernur NTT tak lepas dari gaya ia menerapkan politik yang cerdas, beretika, dan menjunjung tinggi sopan santun. Ia juga selalu diajarkan orangtuanya nun di pedalaman Desa Watoona, Adonara. Ia selalu hidup dalam budaya yang mengajarkan agar selalu mensyukuri dan bersyukur kepada lera wulan tana ekan, Tuhan Penguasa Langit dan Bumi.
Hal ini bagi Frans merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Ia yakin dan percaya bahwa segala sesuatu yang diperjuangkan dan gapai tidak semata karena kemampuan diri. Namun, itu merupakan campur tangan Tuhan. Dalam lingkungan di mana ia dibesarkan oleh agama, kebiasaan, dan adat-istiadat serta budaya begitu mengakar, ia selalu bersyukur atas apa yang ia kerjakan dan bermanfaat untuk banyak orang.
Semua itu ia tanamkan di mana pun ia berada dan membhaktikan tenaga serta pikirannya. Kalau rasa syukur itu tidak ia lakukan maka keberhasilan itu menjadi beban. “Dalam budaya Lamaholot saya selalu bersyukur kepada lera wulan tanah ekan, Tuhan yang berkuasa atas langit dan bumi atas semua berkat yang diberikan kepada kita,” ujarnya.
Tak heran ia tak mau berkomentar lebih jauh tatkala diminta pendapatnya jika dipercayakan menjadi pemimpin NTT? Jawabannya ada di masyarakat. Masyarakatlah yang paling tahu apa yang harus dikerjakan seorang pemimpin. Satu hal yang pasti bahwa pemerintah bergandengan tangan bersama masyarakat untuk memecahkan setiap masalah yang dihadapi.
Ia menangkap sesuatu dari rakyat. Sesungguhnya sekian puluh tahun ada nilai yang hilang dalam pembangunan. Nilai itu tak lain adalah semangat gotong royong. Dulu, misalnya, got-got jalan raya yang rusak diperbaiki bersama-sama. Tapi sekarang? Bagi Frans, hal ini merupakan dampak pembangunan yang bermental proyek. Nah, kini sudah waktunya kita semua merapatkan barisan guna membangun daerah kita dalam kebersamaan. (Bagian terakhir)
Jakarta, 6 Desember 2021
Ansel Deri
Orang udik dari kampung;
Eks penjual koran eceran di Kupang
Ket foto: Frans Lebu Raya.
1 Komentar
Damai didalam Surgw
BalasHapus