Unordered List

6/recent/ticker-posts

Mantan Gubernur NTT , Frans Lebu Raya di Mata Jurnalis Lembata (bagian pertama)

 Frans Lebu Raya, adalah mantan Gubernur  Nusa Tenggara Timur (NTT) dipanggil menghadap Sang Pemilik kehidupan, Minggu (19 Desember 2021) di Bali, Denpasar. Sosok kelahiran Watoone ini  sangat dekat dengan jurnalis asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Jakarta, termasuk Ansel Deri. Melalui laman facebooknya 5 Desember lalu, jurnalis asal Lembata mengisahkan perjumpaannya. Gagas Indonesia Satu.com menurunkan dua tulisan untuk para pembaca.  


MANTAN Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya dikabarkan tengah dirawat di salah satu rumah sakit di Bali. Kabar ini saya peroleh dari grup WhatsApp dan seorang pengajar di Undana, almamater. Doa terdaras agar mantan orang nomor satu NTT itu lekas sembuh. Lebu Raya adalah sosok politisi yang sungguh memajukan rakyat dan daerah sepenuh hati meski di sana sini masih ada kekurangan. Frans sakit dan tengah dirawat.

Viktor Laiskodat dan Josef A Nae Soi adalah Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur pengganti Lebu Raya. Laiskodat dan Nae Soi, duet politisi senior yang lama ngepos sebagai wakil rakyat di Senayan, mulai (meminjam judul buku Ata Lembata) 'membangun tanpa sekat' sejak awal bekerja bersama rakyat. NTT butuh kepemimpinan yang tegas, butuh nyali karena wilayah itu dijejali pulau-pulau dengan tingkat kemajuan yang masih babak belur.
Omong pola pendekatan kepemimpinan bagi tanah Flobamora disampaikan Lebu Raya kepada saya di Hotel Borobudur, lapangan Banteng, Jakarta tiga belas tahun lalu. Saat mendengar Lebu Raya sakit, ingatan saya pada pertemuan dan ngobrol santai ala kampung di Hotel Botobudur, di bibir Lapangan lkada, samping Gereja Katedral Jakarta. Ingatan tentang kepemimpinan Lebu Raya di masanya dan sakit yang tengah menimpa politisi kelahiran Watoone, Adonara itu adalah doa. Doa mini sesama anak kampung dari tanah Lamaholot. Berharap Tuhan bermurah hati menyembuhkan beliau melalui tangan dokter dan para medis. Selamat Hari Minggu Advent 2, kaka Frans & du'a Lucia Adinda Lebu Raya. Semoga kaka Frans lekas sembuh. Tuhan berkati.
===========================
Sosok Frans Lebu Raya saya tahu dan kenal karena dalam beberapa kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan beliau. Hal ini terjadi saat saya masih di Kupang hingga di Jakarta. Bahkan menjelang detik-detik penetapan paket calon Gubernur dan Wakil NTT yang akan ikut berlaga memenangkan pilkada. Berbeda dengan wakilnya, Esthon Foenay. Jelasnya, Pak Esthon adalah birokrat senior di Pemerintah Provinsi NTT.
Jauh sebelum menjadi gubernur, saya sempat ngobrol hampir satu jam lebih dengan beliau saat mengikuti acara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Saat itu, kami berdua ngobrol soal pentingnya etika yang harus dipegang para politisi dalam setiap momentum politik. Entah pemilihan gubernur, bupati maupun walikota di NTT.
Topik etika dalam berpolitik menjadi penting karena dalam pratiknya, kerap disalahgunakan. Tak ayal, politik dipukul rata sebagai hal yang kotor. Politik sepertinya menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan (politik). Nah, sebagai politisi senior PDI-P, ia kurang setuju.
Frans mengamini jika pandangan seperti itu diarahkan kepada segelintir oknum yang melakukan praktik politik dengan cara yang kotor, tidak jujur dan lain sebagainya. Politik tidak identik dengan hal-hal yang tidak benar, tidak jujur, kotor dan negatif. Jika kita lihat dari segi positifnya maka politik itu sebuah ikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Untuk merebut kekuasaan, ada oknum politisi yang berusaha merebut kekuasaan tapi dengan cara tidak jujur. Bahkan menggunakan kekerasan. Ada banyak orang menilai politik itu kotor. Tapi, soal bersih atau kotor, tergantung pada para pelaku politik. Jika seorang politisi tetap mengedepankan etika, aturan, dan norma maka penilaian kotor itu dapat dihindari.
Bagi Lebu Raya, dalam berpolitik etika, norma, dan moral politik tetap dipegang dan dikedepankan. Tanpa itu maka bisa muncul cara-cara yang bisa dipandang kotor. Baginya, urusan etika, aturan, dan norma politik selalu ia pegang dalam berpolitik. Bahwa politik membutuhkan taktik dan strategi, ya, tentu harus begitu. Tetapi harus diingat semua itu harus dalam batas-batas aturan dan norma.
Heterogenitas masyarakat
Lebu Raya juga menyadari. Masyarakat NTT sangat heterogen sehingga kerap memunculkan sentimen primordial dalam setiap momentum politik. Masyarakat sangat heterogen, baik dari bahasa, adat, suku, agama, dan golongan. Ketika ada momentum politik seperti suksesi gubernur dan wakil gubernur, isu-isu politik seperti itu kadang mencuat.
Hal ini perlu kita sadari bahwa di NTT ada kemajemukan. Kita tidak boleh mengabaikan kemajemukan itu. Tetapi bukan berarti kita serta-merta mengakomodir semua kemajemukan. Prinsip kualitas dan kepentingan umum tetap menjadi tujuan kita bersama. Artinya, kita semua harus membuka diri terhadap kemajemukan itu. Kita perlu membuka diri untuk melihat bahwa di NTT ada kemajemukan.
Jika kita menutup diri maka akan sulit dalam melewati proses pembangunan di lewotana (baca NTT). Misalnya seseorang berasal dari etnik A, ia harus menyadari diri bahwa masih ada etnik yang lain di sampingnya. Jika ia menutup diri dari berbagai keanekaragaman maka akan menghadapi kesulitan.
Oleh karena itu, kita semua harus memiliki suatu kesadaran kolektif bahwa kemajemukan yang kita miliki bisa menyatukan kita. Lebu Raya mengingatkan dan perlu menjadi perhatian bersama bahwa perbedaan itu tidak boleh ditajam-tajamkan. Ia tidak boleh dipertentangkan tapi diterima sebagai kekayaan, sebuah mosaik yang memperindah wajah NTT (Bagian pertama). (Ansel deri )

Posting Komentar

1 Komentar