Mencermati
beberapa isu politik nasional yang
sedang hangat dibicarakan, terutama para kandidat presiden yang akan bertarung
pada pemilu 2024 nanti, ada sesuatu yang menarik untuk dianalisis. Pesta demokrasi masih lama tetapi genderang
pertarungan sudah mulai ditabu sebagai “warning” dan sekaligus mencari pasaran
politik. Figur-figur yang terkenal digadang-gadang oleh partai untuk ditawarkan kepada publik.
Memang, strategi politik dan animo masyarakat terkait selera pilihan terhadap
figur tertentu semakin selektif. Masyarakat sebagai pemilih, mempunyai peluang
untuk menentukan pilihannya dan karena itu apa yang dimaui masyarakat sebagai
pemilik suara, tentunya direspons oleh partai.
Kita bisa lihat beberapa figur yang munculkan, baik oleh nitizen maupun oleh partai politik. Figur yang akan digadang oleh partai sebagai calon presiden dan bertarung pada pesta demokrasi di tahun 2024, sepertinya kurang mendapat respon dari publik. Partai Golkar, mulai memunculkan ketua umum partai Golkar. Demikian juga PDIP mulai menggadang-gadang ketua DPR, Puan Maharani untuk menjadi calon presiden nanti. Kandidat presidan yang digadang oleh partai, kurang diterima oleh pasaran politik, walaupun foto-foto besar yang terpampang pada baliho menjadi sarana penting untuk menghadirkan figur publik pada masyarakat.
Sebagai penulis, sekaligus pengamat peta perjalanan politik nasional saat ini, kandidat presiden yang dimunculkan oleh nitizen lebih mendapatkan respon yang positif karena figur yang diusung ke publik menampilkan kinerja yang berpihak pada masyarakat. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, boleh saya katakan sebagai pilihan nitizen sebagai respon atas gerak lambatnya partai yang meminangnya. Untuk saat ini, PDIP belum menyatakan diri untuk mengusung Ganjar Pranowo. Kecenderungan PDIP lebih memilih Puan Maharani sebagai kandidat presiden nanti. Dua kandidat yang muncul dari partai yang sama, seperti PDIP menggiring publik untuk bertanya. Apakah PDIP sebagai partai, akan mengusung Puan atau Ganjar Pranowo?
Banyak analisa politik bermunculan terkait dua kandidat dari PDIP ini. Ada yang mengatakan bahwa apabila PDIP mencalonkan Puan sebagai kandidat presiden nanti maka tamatlah riwayat PDIP karena masyarakat tidak memilihnya. Tetapi yang lebih menarik bahwa ini merupakan strategi politik PDIP untuk mengambil hati masyarakat sekaligus melihat animo politik masyarakat terhadap figur yang digadang, terutama Puan dan Ganjar. Saat ini, Ganjar, walaupun dari hasil survei memperlihatkan elektabilitasnya yang tinggi tetapi ia masih tetap bekerja dan tetap membangun komitmen dengan PDIP yang telah membesarkannya.
Memang, pada pertemuan kader partai PDIP di Jawa Tengah beberapa waktu lalu di mana Puan hadir saat itu, justeru malah Ganjar, selain sebagai anggota partai sekaligus tuan rumah, tidak diundang. Banyak spekulasi yang muncul dan seakan menggiring kesadaran publik bahwa Ganjar terdepak dari PDIP. Nasib Ganjar saat yang terkesan terkatung-katung, mengingatkan publik akan figur seorang Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai wali kota Solo dan kemudian menjadi gubernur DKI, tidak diberikan dukungan secara tegas oleh PDIP. Namun di tangan dingin seorang Megawati, karir politik beranjak naik dan menjadi presiden untuk dua periode.
Dari suasana politik yang ambigu ini, Megawati pasti sedang memantau jalannya proses politik itu terjadi. Megawati sepertinya bertindak sebagai wasit untuk pada akhirnya menentukan, siapa yang akan digadang untuk menjadi calon presiden nanti. Apakah Puan dan Ganjar? Ini sebuah pertanyaan penting sekaligus membedah animo publik tentang figur mana yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik suara yang berdaulat. Politik itu seperti “laron” yang terus beterbangan mencari seberkas cahaya maka yakinlah bahwa cahaya kesuksesan itu akan berpihak pada dia yang disenangi oleh masyarakat karena kinerjanya yang berpihak pada masyarakat.***(Valery Kopong)
0 Komentar