JAKARTA, Gagas Indonesia Satu.com
Ansel Deri, Sekretaris
Papua Circle Institute, lembaga yang conrcern
dengan isu-isu Papua meluncurkan buku Yakobus
Dumupa: Pemimpin Muda Papua di Jakarta awal tahun 2022. Buku tersebut
berisi sekilas perjalanan Yakobus Dumupa, seorang figur muda Papua dari
Dogiyai, wilayah adat Meepago yang meliputi juga Kabupaten Nabire, Mimika,
Deiyai, Paniai, dan Intan Jaya.
“Kisah Pak Jak saya
tulis sekilas dalam buku ini. Beliau saya pandang figur menarik, sosok
inspiratif dari Papua, provinsi paling timur awal matahari menyapa Indonesia.
Beliau salah seorang anak muda pemimpin masa depan. Ia adalah pemimpin
masyarakat lokal. Pengalaman hidup selama tinggal di kampung, berjalan kaki selama
dua hingga tiga hari dari kampung ke kampung sungguh menantang,” ujar Ansel
Deri, penulis buku Yakobus Dumupa:
Pemimpin Muda Papua dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta,
Sabtu (1/1 2022).
Tapi demi masa depan,
Jak kecil rela mengikuti ayahnya, Amatus Dumupa, yang mengajar di pedalaman
Dogiyai. Orangtua Amatus mengabdikan diri sebagai guru di kampung di bawah
asuhan Yayasan Pendidikan Katolik di Dogiyai. Usai sekolah atau libur, ia juga
segera berada di samping sang bunda Theodora Goo di kebun untuk membersihkan
dan memungut rumput di pematang. Pengalaman masa kecil Jak adalah kisah-kisah
unik yang dialami juga banyak pemimpin muda Papua yang saat ini, di lingkup
Gereja maupun masyarakat. Mereka memiliki cita-cita besar sebagaimana anak Indonesia
lainnya meski masih terpenjara hutan, gunung, lembah, sungai, dan ngarai yang
tak kenal kompromi.
Perjalanan hidup
Yakobus Dumupa, diakui Ansel, jurnalis asal Lembata, Nusa Tenggara Timur,
bermula saat ia membaca sekilas perjalanan hidup Yakobus Dumupa saat Dumupa
menjabat anggota Majelis Rakyat Papua, wadah kultural masyarakat Papua sesuai
perintah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua. Buku karya Jak itu berjudul Demokrasi
Tak Harus Langsung: Masalah, Dampak, dan Solusi Pemilihan Kepala Daerah yang
terbit 2013. Buku itu, diakui Ansel, sebagai pintu masuk mengenal perjalanan hidup dan pengabdian Jak
lebih jauh di tanah Papua.
“Rasa ingin tahu
tentang perjalanan hidup dan pengabdian Pak Jak muncul. Selain ia anggota MRP
berusia muda, ia juga seorang penulis produktif, Saya malah menemukan anak muda
dengan karya gemilang merawat peradaban manusia lewat karya tulis. Sosok
penulis seperti Yakobus mengingatkan saya pada sejumlah penulis hebat orang
asli Papua generasi terdahulu seperti Pendeta Dr Beny Giyai, gembala Dr
Socratez Yoman, Dr Neles Tebai Pr, Lukas Enembe, Eltinus Omaleng, Markus Haluk,
Manuel Kaisiepo, Frans Maniagasi, Paskalis Kosay, dan beberapa penulis lain,” kata Ansel, mantan staf Diaz
Gwijangge, anggota DPR RI asal Nduga, Papua.
Menurut Ansel, suatu
waktu mengganggu Jak dengan pertanyaan menggelitik. Pertanyaan itu ialah
mengapa orang asli Papua kerap dilabeli stigma tertinggal. Namun, jawaban
cerdas datang dari Jak. Katanya, stigma negatif seperti itu juga bisa
disematkan kepada komunitas masyarakat Indonesia yang sebagian besar hidup di
gunung dan lembah di kampung-kampung jauh dari jangkauan teknologi dan sentuhan
pembangunan meski stiga itu jauh dari rasa nasionalisme sebagai sesama anak
bangsa.
“Tuhan
menganugerahkan manusia dengan akal budi untuk melihat diri dan lingkungan
sekitarnya. Mungkin yang membedakan kami orang asli Papua dengan dunia lain ialah
kami tinggal di honai, di lereng,
lembah, dan hutan yang masih asri jauh dari jangkauan teknologi dan budaya
lain. Saat teknologi hadir, berkembang hingga mewabah, kemampuan orang asli Papua
juga tak jauh berbeda dengan saudaranya di daerah lain. Buktinya, saat ini Papua
sudah memiliki banyak pemimpin hebat di pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan
namun belum banyak diberi ruang mengisi posisi strategis di level nasional
setiap berganti rezim,” kata Ansel mengulang jawaban Jak.
Didikan
ala Belanda
Dalam buku itu Ansel
melukiskan tentang perjalanan Yakobus Dumupa mulai lahir pada 12 Mei 1982 di
kampung Apogomakida, Distrik Piyaiye, sekolah SD dan SMP di Mowanemani, kota
Kabupaten Dogiyai. Kemudian masuk SMA Teruna Bakti Waena dan tinggal di asrama
di bawah bimbingan para imam Ordo Fratrum Minorum, kuliah di STPMD “AMPD”
Yogyakarta, mendampingi masyarakat adat Bunani, menjadi anggota MRP tahun
2011-2016 hingga terpilih menjadi Bupati Dogiyai tahun 2017 lalu merampungkan
studi Magister Ilmu Politik di STPMD “AMPD” Yogyakarta.
“Saya berasal dari
Toniwi dari keluarga bangsawan, keluarga besar, keluarga yang memiliki harta
kekayaan. Ayah saya seorang guru sekolah dasar di bawah naungan Yayasan
Pendidikan Katolik di Dogiyai. Saya lahir sebagai anak kedua pasangan Amatus
Dumupa dan ibu Theodora Goo. Kami sepuluh bersaudara. Kakak saya, meninggal saat
ia masih kecil. Sepeninggal kakak, saya sebagai anak sulung dari sembilan
bersaudara,” kisah Jak.
Dari sembilan
bersaudara, menurut Jak, ada empat orang saudaranya sudah berpulang dan tersisa
lima orang. Kedua orangtua dan saudaranya selalu bersyukur karena hidupnya
harmonis, saling mengasihi dan membantu satu sama lain. Interaksi dengan sesama
di kampung maupun di mana mereka tinggal dilandasi kasih, saling percaya, kerja
sama, tolong-menolong. Saling menyemangati atau mendoakan satu sama lain adalah
nilai-nilai hidup yang terpelihara, warisan orangtua dan leluhur suku Mee.
Kasih, kerja sama, dan tolong-menolong adalah nilai-nilai yang selalu pegang
dalam hidup dan karya mereka.
“Hampir seluruh
proses pendidikan sejak saya lahir hingga terpilih masyarakat sebagai Bupati,
pengaruh keluarga sangat besar. Saya menyadari bagaimana kedua orangtua
mendidik kami dengan kerja keras dilandasi cinta dan kasih sayang. Utamanya,
bapa dan ibu saya. Bapa saya guru didikan Belanda. Disiplin, kerja keras,
bahkan kadang keras sangat terasa. Lalu mama saya seorang ibu rumah tangga.
Beliau juga seorang petani sangat rajin membersihkan tanaman di kebun. Sejak
kecil, saya sungguh menemukan sosok orangtua yang membawa pengaruh sangat kuat dalam
perjuangan hidup saya dan adik-adik. Urusan pendidikan kedua orang tua saya
sangat menekankan arti disiplin,” kata Jak dalam buku ini.
Selain itu, ada hal
menarik lain dari Yakobus Dumupa. Ia seorang pemimpin daerah berusia muda (39
tahun). Minatnya di dunia literasi sangat kuat. Selepas kuliah, Jak menulis
belasan buku aneka tema. Misalnya, Berburuh
Keadilan di Papua: Mengungkap Dosa Politik Indonesia di Papua Barat; Buying Time Doplomacy: Liku-Liku Perjuangan
Kemerdekaan Papua Barat; Ratapan
Tanah Surga: Tragedi Penderitaan Seorang Pemuda Papua Dalam Bayang-Bayang
Penjajahan; Kontroversi Dogiyai: Pro
dan Kontra Pemekaran Kabupaten Dogiyai Dalam Fenomena Politik dan Ekonomi
Gobal, Indonesia, dan Papua Barat; Goodide
Awe Pito: Mengenang Lima Puluh Tahun Gereja Katolik dan Pendidikan di Goodide;
Mengenal dari Pemimpin Besar; Kata yang Menghidupkan; Apa Itu Cinta?; dan Ungkapan Kegelisahan.
Menurut Ansel, ia
bertemu Jak sekali selama berniat hingga merampungkan buku mini ini. Namun,
sebagai seorang pemimpin formal di Dogiyai, Jak mengaku potensi putra-putri
asli Papua luar biasa besar. Mereka semua bisa melakukan hal-hal produktif demi
memajukan masyarakat dan daerahnya. Jak juga disiplin mengemban tugas yang
dipercayakan memajukan masyarakat dan daerahnya dengan visi Dogiyai Bahagia. Namun,
tantangan juga berat mengingat topografi Dogiyai dan Papua dengan wilayah
bertabur hutan, bukit, sungai, ngarai, dan lembah. Toh, semua itu bisa dilalui
setiap anak Papua yang berkehendak baik dengan bekerja keras berpihak pada sumber
daya alam dan dana yang tersedia.
“Selain masih
mengemban tugas formal, saya juga mengisi waktu luang saya dengan menulis. Bagi
saya, karya berupa buku merupakan persembahan dan penghormatan kepada saudara
dan saudari saya orang asli Papua. Hanya itu yang saya bisa lakukan untuk mewujudkan
ide, perjuangan, dan pengorbanan yang besar,” kata Jak.
Ket
foto: Buku Yakobus Dumupa: Pemimpin Muda
Papua karya Ansel Deri. Foto: Dok. pribadi
0 Komentar