(Sebuah Kajian Filosofis Post Truth Menurut Lee Mclntyre)
Proses politik Pilkades Kabupaten Flores Timur sudah selesai, dengan meninggalkan ceritanya masing masing. Ada kegembiraan dan harapan tetapi sebaliknya ada juga duka dan kecemasan, bahkan ada kegamangan dalam proses pembangunan politik desa. Politik pasca Pilkades yang terjadi didesa Lewoingu, dalam tulisan ini lebih merupakan sebuah refleksi kritis untuk membaca tanda dan fenomena menurut seorang filsuf dari USA di abad 21 bernama Lee Mclntyre dalam perspektif post truth (pasca kebenaran).
Politik post truth atau pasca kebenaran atau politik kebohongan adalah sebuah istilah yang trend dalam politik sesudah proses pemilihan pemimpin mulai dari Pilpres, Pilgub, Pilkada sampai di tingkat Pilkades. Istilah ini berkaitan dengan kondisi, dimana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang emosi dan keyakinan pribadi. Jadi politik post truth berkeyakinan bahwa sebuah kebenaran berawal dari intuisi atau dugaan semata tanpa bukti, dengan tidak berdasarkan pada logika atau fakta hukum.
Politik post truth atau politik kebohongan pada umumnya berangkat dari supremasi idiologis, misalnya pada tingkat desa karena pemilik supremasi, sebagai kebeleng atau tuan tanah. Melalui supremasi itu ia memaksa orang lain untuk menerima dan percaya. Kebenaran tidak lagi berada dari penjelasan yang bersifat empiris, logis ataupun fakta dan proses hukum, tetapi berdasarkan keinginan dan kepentingan pemegang supremasi. Jadi ada semacam gerakan mengkampanyekan irelevansi (ketidaksesuaian) antara pikiran dengan fakta, juga sebagai bentuk bahwa fakta bisa ditutupi, dipilih atau disajikan dalam kontes politik yang mendukung sebuah interpretasi, demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Untuk memahami tindakan bahasa dalam politisasi post truth (politik kebohongan) mulai dari penyegelan fasilitas umum sampai seremoni ‘roba witi’ di depan Kantor Bupati Flores Timur, maka kita perlu memahami dulu fakta kebenaran atau fakta objektif dalam proses pilkades mulai dari proses penjaringan sampai peristiwa seremoni ‘roba witi’. Dalam filsafat epistemology ada enam teori kebenaran, salah satu dari teori itu adalah kebenaran koherensi. Teori ini menjelaskan bahwa pernyataan atau tindakan itu sebagai benar karena sesuai dengan ketentuan yang bersifat ideal, atau ketentuan berdasarkan hukum tertentu (hukum positif atau hukum adat).
Berangkat dari teori ini, publik dapat memiliki pemahaman atas keseluruhan proses pilkades mulai dari penjaringan sampai pada pemilihan dan pelantikan, karena setiap tahapan atau proses memiliki aturan aturan tertentu. Bahwa tidak dilantiknya calon terpilih, itu adalah persoalan hukum, maka untuk menemukan kebenaran koherensi atas semua proses itu, tetap dikembalikan pada proses hukum sebagai dasar kebenaran (PTUN). Artinya fakta tidak dilantik calon terpilih tetap memiliki unsur kebenaran dialogis, sebagai kebenaran yang belum final atau tidak dilantiknya calon terpilih bukan sebagai kebenaran akhir karena masih ada proses hukum lanjutan dengan batas waktu tertentu (90 hari) yaitu pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Demikian juga publik bisa menilai kebenaran koherensi atas tindakan atau seremoni ‘roba witi’di atas tanah hak milik adat pihak lain sebagai benar atau tidak.
Tindakan penyegelan fasilitas umum (Kantor Desa dan Puskesdes) dan seremoni roba witi dalam teori post truth adalah sebuah hasil dari proses pembathinan terhadap sebuah kebiasaan atau permainan perasaan (feel for the game) yang melahirkan gerakan yang disesuaikan dengan keinginan subjek. Dalam teori sosial disebut sebagai habitus (Felix Pierre Bordieu) merupakan hasil internalisasi dari struktur sosial yang dibathinkan karena subjek berada pada posisi sosial tertentu. Artinya tindakan penyegelan fasilitas umum dan seremoni ‘roba witi’, itu dipengaruhi struktur sosial yang dilakukan dengan sengaja, dimotori oleh subjek tertentu, karena merasa diri sebagai ‘ kebeleng’ ( newa nura), dengan sengaja menghadirkan sebuah kuasa simbolik yang bersifat dominasi dan memaksa pihak lain untuk menerima system yang diinginkan. Dengan demikian tindakan penyegelan dan seremoni ‘roba witi’ lalu menjadi sebuah bentuk kuasa simbolik. Melalui dua tindakan itu, subjek memaksa pihak lain untuk memberikan pengakuan atas pribadinya atau pilihannya sebagai kades terpilih.
Para pelaku penyegelan fasilitas umum dan seremoni ‘roba witi’ seolah olah memiliki kuasa simbolik untuk menjustifikasi diri dan kelompoknya sebagai pemilik kebenaran. Bahwa keberadaan diri dan kelompoknya, seolah olah memiliki legitimasi, status sosial, atau prestise sebagai kebeleng, penatua adat dst sehingga seakan akan ada legimasi untuk melakukan tindakan tersebut. Mereka lupa bahwa keberadaan mereka, tidak berada dalam ruang kosong, tetapi mereka hadir dalam sebuah system sosial yang disebut hukum positif, maupun struktur sosial dengan fungsi dan peran berdasarkan wilayah masing masing. Mereka lupa bahwa tindakan itu telah banyak mendatangkan kerugian bagi masyarakat desa, terutama pelayanan kesehatan yang harus diberikan kepada pihak yang mengalami sakit, kepada anak balita juga kepada kelompok usia lanjut. Juga terhadap masyarakat pemilik tanah, (Ata Kebeleng Lebao dan sekitarnya) yang diatas tanah tersebut telah dilangsung sebuah seremoni ‘roba witi’.
Tindakan ritual ‘roba witi’ dalam konteks budaya politik post truth bermula dari satu kondisi dimana, orang memiliki sistem nilai yang mengendap dalam kesadaran yang sudah lama. Sistem nilai itu mengantarnya kedalam menilai segala sesuatu. Sehingga kebenaran obyektif bukan lagi prioritas pertama, tetapi kebenaran menurut preposisi sistem nilai yang dianut, atau system nilai yang tertanam dalam pribadi atau kelompok. Kebenaran itu ditentukan oleh sovereign atau pihak yang dianggap berdaulat untuk menyampaikan kebenaran. Akhirnya pihak yang merasa berdaulat bisa melakukan will full ignorance atau kesalahan yang disengaja untuk membangun sebuah kebenaran. Bahwa tindakan dengan melakukan seremoni ‘roba witi’ di atas tanah hak ulayat atau hak adat orang lain adalah salah satu contoh dari perbuatan salah yang disengaja.
Dalam perspektif psikologi sosial tindakan ‘roba witi’ di atas tanah milik, hak ulayat pihak lain, lahir dari repetition effect, sebagai ilusi kebenaran yang dipengaruhi oleh efek pengulangan. Artinya tindakan ritual semacam ini juga pernah dilakukan dan meninggalkan luka yang belum juga sembuh sampai hari ini. Repetition effect memunculkan bias cognitif yaitu kesalahan dalam cara berpikir yang membuat manusia salah dalam mengambil keputusan. Fenomena sumpah adat melalui ‘roba witi’ di depan kantor bupati, adalah fakta bahwa para pelaku kehilangan kesadaran dalam mengetahui kesalahan atau kekurangan diri sendiri ( dunning krugger effect) karena mereka lupa bahwa tanah dimana mereka melakukan ritual ‘robah witi’ adalah hak milik orang lain. Tetapi bagi para pelaku tindakan itu adalah kuasa simbolik untuk menjelaskan kebanaran (ilusif) dalam proses politik pilkades dihadapan publik sebagai pihak yang benar (subjektif).
Sesungguhnya realitas politik post truth dalam aksi ‘roba witi’ adalah kondisi psikologis yang sedang tidak nyaman, karena pikiran sikap dan perilaku saling bertentangan. Apalagi ada kemampuan untuk mengingat lupa terhadap proses politik pilkades mulai dari gugatan proses sampai menghasilkan kades terpilih tetapi bermasalah, yang baru saja berlalu. Mungkin karena tidak berfungsinya memori eksplisit karena ada jarak antara memori semantik dan memori episodik bahwa ada gugatan proses yang kemudian menghadirkan Surat Keterangan Camat nomor Pemkec TTH 140/280/ Pem /2021 tanggal 7 Oktober 2021. Bahwa substansi surat tersebut, merupakan sebuah asas hukum lex posterior derogate legi priori ( aturan lama dinyatakan tidak berlaku apabila ada aturan baru yang mengatur hal yang sama). Atau mungkin sengaja lupa untuk mengingat, sehingga harus melakukan sebuah sumpah adat melalui tindakan ‘roba witi’. Kemudian melahirkan pertanyaan bagi publik ‘sampai sejauh itukah lawan politik harus diperlakukan’..? Ditahap inilah publik dihadapkan pada dilema untuk menerima kebenaran.
Publik mengalami kesulitan untuk membedakan informasi yang benar dan yang salah. Bahkan sangat mungkin terjadi ada fenomena psikologis berupa backfire effect pada publik karena ada kecendrungan untuk menolak informasi yang benar karena tidak sejalan dengan pemikirannya. Kondisi backfire effect sesungguhnya berawal dari kecurigaan yang berlebihan diantara para pihak, ada misinformasi yang sangat sulit untuk dikoreksi. Kecurigaan berlebihan itu sangat erat kaitannya dengan berpikir konspiratif, karena suatu kejadian penting merupakan hasil rekayasa sekelompok kecil orang yang dianggap berkuasa. Yang menarik, ketika orang yang percaya teori konspirasi diberikan fakta yang bertentangan dengan keyakinannya, bukan mengubah pendapatnya tetapi sebaliknya, dengan segala daya upaya ia membangun pembenaran atas keyakinannya.
Fakta menunjukan bahwa mental kelompok partisan dalam penyegelan fasilitas umum dan seremoni ‘roba witi’ cendrung berpikir dikotomis ( hitam putih) dengan menganggap orang yang berseberangan dengan kelompoknya sebagai sosok yang jahat yang harus dikalahkan. Disinilah fenomena kelumpuhan epistemologis ( kelumpuhan pengetahuan) karena cendrung melihat kebijakan yang dilakukan sebagai satu satunya cara atau solusi dalam menyelesaikan masalah. Akhirnya masyarakat terutama didesa yang dikenal dengan relasi ‘opung paing’ atau ‘senarekhng’, dihadapkan pada sikap ambique antara mengikuti pemegang supremasi, atau berdasarkan fakta objektif dan kebenaran hukum. Disinilah masyarakat kita terjebak dalam kelompok sebagai pro dan kontra, atau sebagai kawan atau lawan.
Terhadap dua fakta hukum ini perlu pendekatan hukum yang tepat. Bahwa terhadap tindakan penyegelan fasilitas umum, harus ada penegakan hukum, karena untuk Desa Lewoingu, tindakan tersebut bukan baru pertama kali, tetapi sudah berkali kali. Tindakan penyegelan barang atau fasilitas umum (Kantor Desa dan Puskesdes) sesungguhnya merupakan sebuah bentuk tindak pidana, karena melanggar pasal 170 KUHP ( Kitab Undang Undang Hukum Pidana). Bahwa tindakan itu secara hukum materiil secara terang terangan dan bertenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang milik umum, dan secara hukum harus dipidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Bahwa tindakan penyegelan Kantor Desa dan Puskesdes sebagaimana dikenakan pasal 170 KUHP, bukan merupakan delik aduan, maka dapat diproses langsung oleh penyidik tanpa ada persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan. Bahwa tindakan penyegelan itu tidak serta merta sebagai tindakan spontan tetapi lebih merupakan tindakan berencana, karena penyegelan semacam itu bukan saja baru sekali, tetapi untuk kali yang kedua. Maka pihak penegak hukum berkewajiban melakukan proses penyidikan terhadap tindak pidana penyegelan fasilitas umum secara tuntas untuk menemukan otak dibelakang gerakan itu. Karena secara lisan dimuka umum telah melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan menghasut orang lain untuk bertindak melawan aturan atau ketentuan hukum. Bila demikian terjadi maka otak dibelakang gerakan itu akan dikenai pasal 160 KUHP sehingga dapat dihukum selama enam tahun penjara.
Terhadap tindakan seremoni ‘roba witi’ diatas tanah adat pihak lain, sebagai bentuk pelanggaran atas hak adat. Terhadap tindakan ini, membutuhkan sebuah kearifan, karena berhubungan dengan kelompok masyarakat tertentu yang merasa dirugikan. Disinilah dibutuhkan keadilan restoratif (restorative justice). Melalui sebuah pendekatan dengan menggelar pertemuan antara para pihak, melalui perwakilan masyarakat secara umum. Dengan tujuan saling memahami, bersama sama membahas masalah yang terjadi, siapa yang dirugikan oleh perbuatan tersebut. Mengambil sikap bersama tentang apa yang harus dilakukan oleh pelaku sebagai upaya ganti rugi atas tindakan, permintaan maaf, dan kesepakatan untuk tidak mengulangi kejadian yang sama. Dengan demikian ada kesadaran hukum bagi para pelaku pelanggaran wilayah adat untuk bertanggunjawab terhadap perbuatan yang dilakukan.
Pasca Pilkades dengan melakukan penyegelan fasilitas umum dan seremoni ‘roba witi’ di Kantor Bupati Flores Timur dalam konsep post truth Lee Mclntyre adalah kondisi psikologis yang sangat tidak stabil dan tidak nyaman, karena sikap, pemikiran dan perilaku yang saling bertentangan. Bahaya bagi kita sekarang adalah membiarkan opini dan perasaan memegang peranan dalam membentuk pikiran kita sebagai fakta kebenaran. Akhirnya kita teralienasi, terasing dari realitas. Bahkan hari ini kita terjebak dalam dikotomi sebagai kawan atau lawan. Melalui dua peristiwa ini, semestinya menantang kita, menata cara berpikir untuk menaruh kejernian berpikir diatas strategi politik post truth sebagai politik penuh dengan kepalsuan dan kebohongan, sehingga kita lebih dewasa dalam berdemokrasi dan berpolitik. *** (Marsel Sani Kelen, M.Si)
0 Komentar