FENOMENA perkawinan beda agama sering menimbulkan pandangan yang berbeda. Ada yang menilai perkawinan itu memiliki risiko pertentangan dalam rumah tangga. Belum lama ini dilakukan Talk Show secara daring melibatkan sejumlah tokoh agama. Justru di tengah - tengah fenomena terjadi di tengah masyarakat, ada penilaian pencacatan di negara tidak diakui dan seterusnya. Lantas bagiamana pandangan dalam Khonghucu, saya menyajikan intisari Talk show dalam tulisan ini dari Khonghucu. Berikut petikannya.
Bagaimana
agama Konghucu memandang pernikahan beda agama, adakah semacam larangan?
Sebelum dapat menjawab pertanyaan itu, rasanya perlu terlebih dahulu ditanyakan, “Apakah agama punya hak melarang pasangan yang mau menikah hanya karena perbedaan? Mungkin itu karena perbedaan agama, perbedaan suku, perbedaan ethis dan sebagainya.
Bahwa agama melarang perkawinan sesama jenis itu masuk akal karena hal itu memang bertentangan dengan kodrat manusia. Sebagaimana tersurat dalam satu kitab catatan kesusilaan (liji), bahwa perkawinana adalah pangkal peradaban manusia. Ia bermaksud menyatu-padukan kebaikan/kasih antara dua keluarga yang berlain marga; ke atas mewujudkan pengabdian kepada Tuhan (agama) dan leluhur (kuil leluhur/Zong Miao), dan ke bawah untuk meneruskan keturunan (generasi).
Atas dasar tujuan untuk meneruskan keturunan
agar peradaban dapat berlangsung, maka tidak dimungkinkan (dilarang) pernikahan
antara sesama jenis. Selain larangan perkawinan yang paling mendasar yaitu larangan
perkawinan sesama jenis, ada juga larangan perkawinanan sesama marga karena
alasan ikatan darah, yang secara
genetic akan berpeluang tidak bagus bagi keturunanya kelak. Namun itupun tidak
mutlak sifatnya. Sementara untuk perbedaan yang lainnya, termasuk perbedaan
agama tidak dibahas. Alasannya tidak dibahsa terkait perkawinana beda agama, mungkin karena waktu itu tidak ada persoalan
dengan agama atau keyakinan. Maka larangan perkawinan beda agama masih perlu
pengkajian mendalam dari lembaga agama itu sendiri.
Agama melarang perkawinan beda agama, tetapi
cenderung tidak melarang perkawinan beda suku beda, etnis, dan beda ras. Dengan
kata lain, kelompok suku, etnis, dan ras cenderung tidak ada secara eksplisit
melarang perkawinan berbeda suku, entis, dan ras. Selanjutkanya, kita juga tahu
fakta bahwa suku, etnis dan ras sudah ada jauh sebelum agama lahir. Lalu, apa
alasan mendasar agama melarang pernikahna beda agama?
Jika argumennya adalah karena agama berasal dari
Tuhan, bukankah suku, etnis, dan ras manusia juga berasal dari Tuhan atau karena
kehendak Tuhan juga. Atas dasar pemikiran itu, maka tidak ada alasan theologis dalam Khonghucu yang melarang umatnya
melakukan perkawinan beda agama.
Adakah
alasan lain, misalnya kekhawatiran imannya terancam? Jadi pasangan pengantin
yang menyatakan keterancaman imannya?
Pertanyaan ini jelas bertendensi kepada
kepentingan lembaga agama (organisasi).
Maka hal ini berkaitan dengan argument bahwa lembaga agama tidak ingin
umatnya berkurang karena perkawinan beda agama. Ini berarti menyangkut kepentingan
lembaga agama (organisasi) bukan prinsip yang mendasar dari ajaran agama itu.
Argument ini juga akan menimbulkan benturan mengingat agama lainpun akan
menggunakan argument yang sama. Artinya, masing-masing agama bisa memiliki
alasan atau argument yang sama, yaitu tidak mau umatnya berkurang karena
perkawinan beda agama. Maka kemudian lahir alasan yang didasari oleh “ego”
lembaga agama, bahwa pernikahan bisa dibolehkan atau disakramenkan ketika
pasangan yang berbeda itu pindah agama (berganti iman). Bukankah alasan ini pun akan menimbulkan benturan, karena hal
yang sama juga ada pada agama lain, yaitu hanya membolehkan ataiu
mensakramenkan perkawinan jika pasangan yang berbeda pindah ada (berganti
iman).
Lalu apa solusinya? Agama kemudian memberikan
solusi untuk memilih pasangan sejak awal yang satu iman/agama/keyakinan. Namun
apakah ini solusi yang benar benar jitu/ampuh? Sementara fakta bahwa pertemuan
manusia dengan berbagai perbedaan, yang kemudian menumbuhkan benih-benih cinta
dan kecocokan, lalu melahirkan kesepakatan untuk membangun rumah tangga, sulit
dielakan. Lebih dari itu, adalah kenyataan dan realita bahwa banyak pasangan yang berbeda
agama yang menikah dan membentuk mahlihgai rumah tangga.
Kenapa saya katakan ini sebagai “ego” lembaga
agama? Karena dari sini kelihatan setiap agama menginginkan orang lain pindah
ke agama mereka. Dari sini kemudian lahir strategi-strategi dari lembaga-lembaga
agama untuk bagaimana agar orang lain yang pindah ke agama mereka. Akhirnya... ini mejadi persoalan yang
berputar (sirkuler), dan tak ada yang tahu dimana ujungnya, dan kapan
berakhirnya.
Dari sini menjadi jelas, bahwa
larangan atau mempersulit pernikahan beda agama merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Maka secara subjektf saya menilai, dalam kontek ini agama menjadi
kontardiksi dengan hak Asasi Manusia. Lebih dari itu, ketika kita bicara soal agama dalam
kontek Negara, kita tahu bahwa di Indonesia sementara ini hanya ada 6 agama
yang dilayani pencatatannya. Bagaimana dengan agama-agama lokal yang “belum ada
pelayanannya atau pencatatan terkait perkawinan mereka?”
Kemungkinan juga ada larangan atau yang lebih tepat himbauan/melarang suatu suku agar tidak melakukan perkawinan dengan suku yang berbeda, atau suatu etnis yang menghimbau/melarang perkawinan dengan etnis yang berbeda, atau suatu ras yang menghimbau/melarang perkawinan dengan ras yang berbeda. Faktanya bahwa perkawinan atar suku, antar entnis, dan antar ras banyak kita jumpai, dan secara umum tidak ada dampak “negative” terhadap moralitas dari yang bersangkutan.
Apakah
lembaga agama Konghucu menutup mata dan membiarkan atau mempersilakan terjadinya
pernikahan? Kemudahan seperti apa yang diberikan oleh agama Konghucu?
Dari uraian sebelumnya
menjadi jelas, bahwa lembaga agama Khonghucu tidak menutup mata dengan
perkawinana beda agama, karena semua itu merupakan realita terkait dengan
perkembangan peradaban manusia. Kemungkinan perbedaan terletak pada resfont dan
sikap terhadap realita tersebut. Lembaga agama Khonghucu tidak punya kewenangan
untuk melarang pasangan yang menikah karena perbedaan agama karena suatu
alasan, bahwa pernikahan adalah Hak Asasi Manusia. Sebagaimana hak hidup,
manusia juga memiliki hak untuk meneruskan keturuanan demi keberlangsungan
peradaban. Lebih dari itu, bahwa perkawinan juga merupakan kebutuhan biologis
sebagaimana kebutuhan akan makan dan minum.
Masih lebih masuk akal
jika orang tua yang melakukan larangan, karena alasan masa depan anak. Namun
itupun tentu bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, mengingat anak tetap manusia
yang memiliki hak asasi. Namun demikian, hal itu masih dapat diterima dan cukup
masuk akal lantaran ikatan bathin dan tentu saja ikatan darah antara anak dan
orang tua. Berkaitan dengan hubugan anatar orang tua dan anak, pernikahan dalam
tradisi Khonghucu pada awalnya hanya dilaksanakan melalui ucapan
prasetya (janji suci) di hadapan altar leluhur dengan didampingi orang tua. Pada masa-masa berikutnya, praktik pernikahan telah menyesuaikan hukum dan aturan
pernikahan yang ditata secara lebih sistematis sebagaimana yang termuat dalam kitab Suci Sishu dan Wujing.
Maka melakukan larangan
terhadap suatu perkawinan akan berakibat pada
“menghalang halangi” orang yang
akan menikah. Artinya, bukan tidak mungkin karena larangan itu ada orang menjadi
tidak menikah karena prustasi misalmya.
Terkait tata cara dalam
melayani pernikahan pasangan yang berbeda agama atau salah satu pasangan bukan
umat Khonghucu, maka lembaga agama Khonghucu akan melakukan prosesi/upacara
pernikahan secara agama Khonghucu ketika pasangan yang bukan beragama Khonghucu
bersedia mengikuti upacara pernikahan agama Khonghucu tanpa perlu merubah iman
atau merubah dokumen (KTP). Berkaitan dengan masalah pencatatan perkawinana
secara Negara pada kantor catatan sipil tentunya akan mengacu pada peraturan
atau hukum postif, yaitu Undang-Undang nomor 1 tahun 1974.
Bab 1 pasal 1 UU nomor
1 Thaun 1974 menyebutkan, “Perkawinana adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Undang Undang perkawinan
sebagaimana dimaksud, tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama.
Jadi anggapan perkawinan harus satu agama itu hanya in the spririt (spirit of the
law).
Pencatatan perkawinan
harus atau hanya bisa dicatatkan atas dasar agama, atau didasarkan pada upacara
nikah secara agama, dengan kata lain, harus ada approval dari lembaga
agama. Dari sinilah kemudian orang memahami atau menganggap bahwa perkawinan
harus satu agama. Hal yang perlu dipahami adalah, bahwa agama yang
dimaksud dalam kontek ini adalah dokumen atau administrasi,
bukan soal keimanan. Artinya, jika secara dokumen proses upacara pernikahan
sudah ada maka bisa diajukan kepada kantor catatan sipil untuk dicatatan.
Catatan:
Ada perbedaan
pencatatan perkawinana anatara umat/orang Islam (muslim) dengan orang diluar
islam (non muslim). Umat islam (muslim) pencatatan perkawinannya dilakukan di Kantor
Urusan Agama (KUA) dibawah pengadilan Agama (lingkungan peradilan agama),
sementara untuk umat di luar islam (non musim) pencatatannya dilakukan di Kantor
Catatan Sipil di bawah Pengadilan Negeri (lingkungan peradilan umum).
Pertanyaanya adalah,
bagaimana jika secara dokumen, agama dari pasangan mempelai berbeda, apakah
Negara bisa melakukan pencatatan?
Ada beberapa cara:
1. Pernikahan
dilakukan di luar negeri, selanjutnya dicatatakan di dalam negeri.
2. Nikah
secara agama A lalu nikah lagi
secara agama B.
Pertanyaan, bagaimana jika pasangan
adalah muslin dan non muslim, sementara pencatatan perkawainan antara muslim
dan non muslim ada pada lingkungan peradilan yang berbeda, bisa kah dicatatkan pada
keduanya (di KAU dan di Kantor Catatan Sipil)?
Jawabannya, tidak ada aturan tentang
ini, jadi hal itu dimungkinkan, yang penting sudah ada approval dari lembaga
agama (sudah ada upcara pernikhan menurut agama)
Makamah Agung tahun 1080 pernah
mengeluarkan putusan terkait perkawinan beda agama antara pasangan katolik dan
muslim. Kasus tersebut sampai kepada tingkat kasasi (MA) karena mendapat
penolakan dari Kantor Catatan Sipil (PN dan PT). kenapa di tolak? Karena belum
ada kasus yang serupa sebelumnya.
Mahkamah Agung memutuskan bahwa perkawinan tersebut sah dan bisa
dicatatkan. Putusan MA ini bisa menjadi dasar hukum (Yuresprudensi) untuk kasus kasus serupa berikutnya.
3.
Pindah agama secara Negara
Ganti agama pada kolom
KTP dan nikah secara agama tersebut (bukan pindah secara iman). Artinya, secara
iman masing masing tetap menjalankan ajaran agamanya.
Dari sini terlihat bahwa
UU nomor 1 tahun 74 tidak secara ekspilisit melarang pernikahan beda agama.
Rekonedasi:
Berkaitan dengan isi UU
perkawinanan nomor 1 tahun 1974 yang belum secara tegas mengatur terkait boleh
atau tidak perkawinan beda agama, dan bagaimana teknis pelaksanaannya. Oleh
karena itu, maka perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan terhadap
Undang-Undang Perkawinana nomor 1 tahun 1974 tersebut.
Indonesia
dikenal dengan keberagaman warganya, selain suku, juga agama? Bagaimana
keterkaitan nikah beda agama dengan keberagaman?
Perbedaan yang selanjutnya
melahirkan keragaman adalah sebuah keniscayaan. Konsep penciptaan dalam ajaran
Khonghucu bahwa perbedaan bukan sekedar kehendak Tuhan, tetapi bahwa peciptaan
adalah karena adanya kerjasama antara dua unsur yang berbeda (Yin dan
Yang). Maka, baik di Indonesia
khususnya, maupun di dunia pada umumnya, pernikahan beda agama adalah realita
dan fakta yang tidak terelakan. Oleh karena itu, pernikahan beda agama harus
disikapi dengan bijak dan tentu dengan memperhatikan Hak Asasi Manusia.
Jika
kemudian dikait-kaitkan dengan kebahagiaan dan harmonisan dalam rumah tangga dari
pasangan yang berbeda agama, tentu akan ada perbedaan sudut pandang dari masing
masing orang. Secara umum, orang mempunyai sudut pandang bahwa pasangan yang
sama agama/keyakinan saja tidak menjamin akan rukun, bahagia dan harmonis,
apalagi ditambah dengan perbedaan agama, jadi sebaiknya menikahlah dengan
pasangan yang satu agama/keyakinan.
Sebagian lagi menganggap atau mempunyai sudut padang yang terbalik,
bahwa pernikahan akan selalu menemui beragam persoalan karena perbedaan
perbedaan sekalipun sama dalam agama/keyakinannya, jadi semua kembali kepada
individunya masing masing. Artinya, tidak ada jaminan kesamaan pada satu sisi
menjadikan pasangan itu otomatis rukun, bahagia, dan harmoni.
Sudut
pandang terus berkembang setelah pasangan tersebut memiliki anak. Pertanyaan
umunya adalah, “Bagaimana mengarahkan anak-anak mereka tentang keyakinan agama
jika orangtuanya berbeda agama/keyakinan? Sebagian mengatakan, tentu akan sulit
dan menemui banyak masalah. Sebagian menganggap, semua soal kesepakatan, jika
memang setiap agama mengajarkan kebaikan/kebajikan lalu apa masalahnya?
Persoalan
mungkin menjadi semakin “runcing” ketika orang menganggap bahwa agamanya yang
paling benar/baik atau lebih bener/baik dari agama yang lain. Lebih parah lagi
ketika orang menganggap bahwa hanya melalui agamanya orang akan selamat, dan orang
dengan agama yang lain tidak selamat. Dogma-dogma inilah yang membuat agama
menjadi sumber “kekalutan” dan “keributan-keributan,” Akibatnya, agama kehilangan
esensi keberadaannya. Akhirnya, agama pada titik ini keluar dari fungsi dan
hakikat ajarannya.
Bagaimana
kecenderungan pernikahan beda agama di kalangan pemeluk Khonghucu? Adakah
peningkatan? Bagaimana pencatatannya?
Tidak ada penelitian
yang serius dan focus terkait persoalan ini. Namun memang ada dugaan kuat bahwa
pemeluk Khonghucu yang berpindah keyakinan karena kaitan dengan
pernikahan/perkaitan lebih tinggi dari agama lain. Pertanyaannya, “apakah hal ini menjadi
persoalan serius bagi lembaga agama
Khonghucu?” Jawabannya, “tidak” meskipun bukan tidak sama sekali. Artinya,
sebagai lembaga yang didalamnya juga merupakan kumpulan manusia yang memiliki
“ego” tentu ada “kegalauan.” Galau
karena secara lembaga tentu sangat berkaitan dengan jumlah umat, jumlah berkaitan
dengan anggaran, anggaran berkaitan dengan pengembangan, pengembangan berkaitan
dengan eksistensi, eksistensi berkaitan dengan gengsi, gengsi berkaitan dengan
harga diri.
Adakah
upaya-upaya lain agar tidak terjadi pernikahan beda agama?
Tidak ada kekhususnya
usaha kearah itu. Kalaupun ada, sifanyat tidak “monohok” dengan dogma-dogma. Upaya
lebih berfokus tentang bagaimana menjalani hidup yang baik, dengan landasan
cinta kasih, kebenaran, kesusilaan, dan
kebijaksanaan agar dapat dipercaya. (Dikutip ulang oleh Mangu)
0 Komentar