Unordered List

6/recent/ticker-posts

Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Khonghucu

 


FENOMENA perkawinan beda agama sering menimbulkan pandangan yang berbeda. Ada yang menilai perkawinan itu  memiliki risiko pertentangan dalam rumah tangga. Belum lama ini dilakukan Talk Show secara daring melibatkan sejumlah tokoh agama. Justru di tengah - tengah fenomena terjadi di tengah masyarakat, ada penilaian pencacatan di negara tidak diakui dan seterusnya. Lantas bagiamana pandangan dalam Khonghucu, saya menyajikan intisari Talk show dalam tulisan ini dari Khonghucu. Berikut petikannya.


Bagaimana agama Konghucu memandang pernikahan beda agama, adakah semacam larangan?  

Sebelum dapat menjawab pertanyaan itu,  rasanya perlu terlebih dahulu ditanyakan, “Apakah agama punya hak melarang pasangan yang mau menikah hanya karena perbedaan? Mungkin itu karena perbedaan  agama, perbedaan suku, perbedaan ethis dan sebagainya.

Bahwa agama melarang perkawinan sesama jenis itu masuk akal karena hal itu memang bertentangan dengan kodrat manusia. Sebagaimana tersurat dalam satu kitab catatan kesusilaan (liji), bahwa perkawinana adalah pangkal peradaban manusia. Ia bermaksud menyatu-padukan kebaikan/kasih antara dua keluarga yang berlain marga; ke atas mewujudkan pengabdian kepada Tuhan (agama) dan leluhur (kuil leluhur/Zong Miao), dan ke bawah untuk meneruskan keturunan (generasi)

Atas dasar tujuan untuk meneruskan keturunan agar peradaban dapat berlangsung, maka tidak dimungkinkan (dilarang) pernikahan antara sesama jenis. Selain larangan perkawinan yang paling mendasar yaitu larangan perkawinan sesama jenis, ada juga larangan perkawinanan sesama marga karena alasan ikatan darah, yang secara genetic akan berpeluang tidak bagus bagi keturunanya kelak. Namun itupun tidak mutlak sifatnya. Sementara untuk perbedaan yang lainnya, termasuk perbedaan agama tidak dibahas. Alasannya tidak dibahsa terkait perkawinana beda agama,  mungkin karena waktu itu tidak ada persoalan dengan agama atau keyakinan. Maka larangan perkawinan beda agama masih perlu pengkajian mendalam dari lembaga agama itu sendiri.

Agama melarang perkawinan beda agama, tetapi cenderung tidak melarang perkawinan beda suku beda, etnis, dan beda ras. Dengan kata lain, kelompok suku, etnis, dan ras cenderung tidak ada secara eksplisit melarang perkawinan berbeda suku, entis, dan ras. Selanjutkanya, kita juga tahu fakta bahwa suku, etnis dan ras sudah ada jauh sebelum agama lahir. Lalu, apa alasan mendasar agama melarang pernikahna beda agama?

Jika argumennya adalah karena agama berasal dari Tuhan, bukankah suku, etnis, dan ras manusia juga berasal dari Tuhan atau karena kehendak Tuhan juga. Atas dasar pemikiran itu, maka tidak ada alasan theologis dalam Khonghucu yang melarang umatnya melakukan perkawinan beda agama.

 

Adakah alasan lain, misalnya kekhawatiran imannya terancam? Jadi pasangan pengantin yang menyatakan keterancaman imannya?

Pertanyaan ini jelas bertendensi kepada kepentingan lembaga agama (organisasi).  Maka hal ini berkaitan dengan argument bahwa lembaga agama tidak ingin umatnya berkurang karena perkawinan beda agama. Ini berarti menyangkut kepentingan lembaga agama (organisasi) bukan prinsip yang mendasar dari ajaran agama itu. Argument ini juga akan menimbulkan benturan mengingat agama lainpun akan menggunakan argument yang sama. Artinya, masing-masing agama bisa memiliki alasan atau argument yang sama, yaitu tidak mau umatnya berkurang karena perkawinan beda agama. Maka kemudian lahir alasan yang didasari oleh “ego” lembaga agama, bahwa pernikahan bisa dibolehkan atau disakramenkan ketika pasangan yang berbeda itu pindah agama (berganti iman). Bukankah alasan  ini pun akan menimbulkan benturan, karena hal yang sama juga ada pada agama lain, yaitu hanya membolehkan ataiu mensakramenkan perkawinan jika pasangan yang berbeda pindah ada (berganti iman).

Lalu apa solusinya? Agama kemudian memberikan solusi untuk memilih pasangan sejak awal yang satu iman/agama/keyakinan. Namun apakah ini solusi yang benar benar jitu/ampuh? Sementara fakta bahwa pertemuan manusia dengan berbagai perbedaan, yang kemudian menumbuhkan benih-benih cinta dan kecocokan, lalu melahirkan  kesepakatan untuk membangun rumah tangga, sulit dielakan. Lebih dari itu, adalah kenyataan  dan realita bahwa banyak pasangan yang berbeda agama yang menikah dan membentuk mahlihgai rumah tangga. 

Kenapa saya katakan ini sebagai “ego” lembaga agama? Karena dari sini kelihatan setiap agama menginginkan orang lain pindah ke agama mereka. Dari sini kemudian lahir strategi-strategi dari lembaga-lembaga agama untuk bagaimana agar orang lain yang pindah ke agama mereka.  Akhirnya... ini mejadi persoalan yang berputar (sirkuler), dan tak ada yang tahu dimana ujungnya, dan kapan berakhirnya.

Dari sini menjadi jelas, bahwa larangan atau mempersulit pernikahan beda agama merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Maka secara subjektf saya menilai, dalam kontek ini agama menjadi kontardiksi dengan hak Asasi Manusia.  Lebih dari itu, ketika kita bicara soal agama dalam kontek Negara, kita tahu bahwa di Indonesia sementara ini hanya ada 6 agama yang dilayani pencatatannya. Bagaimana dengan agama-agama lokal yang “belum ada pelayanannya atau pencatatan terkait perkawinan mereka?”


Catatan:

Kemungkinan juga ada larangan atau yang lebih tepat himbauan/melarang suatu suku agar tidak melakukan perkawinan dengan suku yang berbeda,  atau suatu etnis yang menghimbau/melarang perkawinan dengan etnis yang berbeda, atau suatu ras yang menghimbau/melarang perkawinan dengan ras yang berbeda. Faktanya bahwa perkawinan atar suku, antar entnis, dan antar ras banyak kita jumpai, dan secara umum tidak ada dampak “negative” terhadap moralitas dari yang bersangkutan.  

 

Apakah lembaga agama Konghucu menutup mata dan membiarkan atau mempersilakan terjadinya pernikahan? Kemudahan seperti apa yang diberikan oleh agama Konghucu?

Dari uraian sebelumnya menjadi jelas, bahwa lembaga agama Khonghucu tidak menutup mata dengan perkawinana beda agama, karena semua itu merupakan realita terkait dengan perkembangan peradaban manusia. Kemungkinan perbedaan terletak pada resfont dan sikap terhadap realita tersebut. Lembaga agama Khonghucu tidak punya kewenangan untuk melarang pasangan yang menikah karena perbedaan agama karena suatu alasan, bahwa pernikahan adalah Hak Asasi Manusia. Sebagaimana hak hidup, manusia juga memiliki hak untuk meneruskan keturuanan demi keberlangsungan peradaban. Lebih dari itu, bahwa perkawinan juga merupakan kebutuhan biologis sebagaimana kebutuhan akan makan dan minum.  

Masih lebih masuk akal jika orang tua yang melakukan larangan, karena alasan masa depan anak. Namun itupun tentu bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, mengingat anak tetap manusia yang memiliki hak asasi. Namun demikian, hal itu masih dapat diterima dan cukup masuk akal lantaran ikatan bathin dan tentu saja ikatan darah antara anak dan orang tua. Berkaitan dengan hubugan anatar orang tua dan anak, pernikahan dalam tradisi Khonghucu pada awalnya  hanya dilaksanakan melalui ucapan prasetya (janji suci) di hadapan altar leluhur dengan didampingi orang tua. Pada masa-masa berikutnya, praktik pernikahan telah menyesuaikan hukum dan aturan pernikahan yang ditata secara lebih sistematis sebagaimana yang termuat dalam kitab Suci Sishu dan Wujing.

Maka melakukan larangan terhadap suatu perkawinan akan berakibat pada  “menghalang halangi”  orang yang akan menikah. Artinya, bukan tidak mungkin karena larangan itu ada orang menjadi tidak menikah karena prustasi misalmya. 

Terkait tata cara dalam melayani pernikahan pasangan yang berbeda agama atau salah satu pasangan bukan umat Khonghucu, maka lembaga agama Khonghucu akan melakukan prosesi/upacara pernikahan secara agama Khonghucu ketika pasangan yang bukan beragama Khonghucu bersedia mengikuti upacara pernikahan agama Khonghucu tanpa perlu merubah iman atau merubah dokumen (KTP). Berkaitan dengan masalah pencatatan perkawinana secara Negara pada kantor catatan sipil tentunya akan mengacu pada peraturan atau hukum postif, yaitu Undang-Undang nomor 1 tahun 1974.

Bab 1 pasal 1 UU nomor 1 Thaun 1974 menyebutkan, “Perkawinana adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Undang Undang perkawinan sebagaimana dimaksud, tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama. Jadi anggapan perkawinan harus satu agama itu hanya in the spririt (spirit of the law).

Pencatatan perkawinan harus atau hanya bisa dicatatkan atas dasar agama, atau didasarkan pada upacara nikah secara agama, dengan kata lain, harus ada approval dari lembaga agama. Dari sinilah kemudian orang memahami atau menganggap bahwa perkawinan harus satu agama. Hal yang perlu dipahami adalah, bahwa agama yang dimaksud  dalam  kontek ini adalah dokumen atau administrasi, bukan soal keimanan. Artinya, jika secara dokumen proses upacara pernikahan sudah ada maka bisa diajukan kepada kantor catatan sipil untuk dicatatan.

Catatan:

Ada perbedaan pencatatan perkawinana anatara umat/orang Islam (muslim) dengan orang diluar islam (non muslim). Umat islam (muslim) pencatatan perkawinannya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) dibawah pengadilan Agama (lingkungan peradilan agama), sementara untuk umat di luar islam (non musim) pencatatannya dilakukan di Kantor Catatan Sipil di bawah Pengadilan Negeri (lingkungan peradilan umum).

Pertanyaanya adalah, bagaimana jika secara dokumen, agama dari pasangan mempelai berbeda, apakah Negara bisa melakukan pencatatan?

Ada beberapa cara:

1.      Pernikahan dilakukan di luar negeri, selanjutnya dicatatakan di dalam negeri.

2.      Nikah secara agama A lalu nikah lagi secara agama B.

Pertanyaan, bagaimana jika pasangan adalah muslin dan non muslim, sementara pencatatan perkawainan antara muslim dan non muslim ada pada lingkungan peradilan yang berbeda, bisa kah dicatatkan pada keduanya (di KAU dan di Kantor Catatan Sipil)?

Jawabannya, tidak ada aturan tentang ini, jadi hal itu dimungkinkan, yang penting sudah ada approval dari lembaga agama (sudah ada upcara pernikhan menurut agama)

Makamah Agung tahun 1080 pernah mengeluarkan putusan terkait perkawinan beda agama antara pasangan katolik dan muslim. Kasus tersebut sampai kepada tingkat kasasi (MA) karena mendapat penolakan dari Kantor Catatan Sipil (PN dan PT). kenapa di tolak? Karena belum ada kasus yang serupa sebelumnya.

Mahkamah Agung memutuskan  bahwa perkawinan tersebut sah dan bisa dicatatkan. Putusan MA ini bisa menjadi dasar hukum (Yuresprudensi) untuk kasus kasus serupa berikutnya.

3.      Pindah agama secara Negara

Ganti agama pada kolom KTP dan nikah secara agama tersebut (bukan pindah secara iman). Artinya, secara iman masing masing tetap menjalankan ajaran agamanya.

Dari sini terlihat bahwa UU nomor 1 tahun 74 tidak secara ekspilisit melarang pernikahan beda agama.

Rekonedasi:

Berkaitan dengan isi UU perkawinanan nomor 1 tahun 1974 yang belum secara tegas mengatur terkait boleh atau tidak perkawinan beda agama, dan bagaimana teknis pelaksanaannya. Oleh karena itu,  maka perlu  dilakukan revisi dan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Perkawinana nomor 1 tahun 1974 tersebut.

 

Indonesia dikenal dengan keberagaman warganya, selain suku, juga agama? Bagaimana keterkaitan nikah beda agama dengan keberagaman?

Perbedaan yang selanjutnya melahirkan keragaman adalah sebuah keniscayaan. Konsep penciptaan dalam ajaran Khonghucu bahwa perbedaan bukan sekedar kehendak Tuhan, tetapi bahwa peciptaan adalah karena adanya kerjasama antara dua unsur yang berbeda (Yin dan Yang).  Maka, baik di Indonesia khususnya, maupun di dunia pada umumnya, pernikahan beda agama adalah realita dan fakta yang tidak terelakan. Oleh karena itu, pernikahan beda agama harus disikapi dengan bijak dan tentu dengan memperhatikan Hak Asasi Manusia.

Jika kemudian dikait-kaitkan dengan kebahagiaan dan harmonisan dalam rumah tangga dari pasangan yang berbeda agama, tentu akan ada perbedaan sudut pandang dari masing masing orang. Secara umum, orang mempunyai sudut pandang bahwa pasangan yang sama agama/keyakinan saja tidak menjamin akan rukun, bahagia dan harmonis, apalagi ditambah dengan perbedaan agama, jadi sebaiknya menikahlah dengan pasangan yang satu agama/keyakinan.  Sebagian lagi menganggap atau mempunyai sudut padang yang terbalik, bahwa pernikahan akan selalu menemui beragam persoalan karena perbedaan perbedaan sekalipun sama dalam agama/keyakinannya, jadi semua kembali kepada individunya masing masing. Artinya, tidak ada jaminan kesamaan pada satu sisi menjadikan pasangan itu otomatis rukun, bahagia, dan harmoni.

Sudut pandang terus berkembang setelah pasangan tersebut memiliki anak. Pertanyaan umunya adalah, “Bagaimana mengarahkan anak-anak mereka tentang keyakinan agama jika orangtuanya berbeda agama/keyakinan? Sebagian mengatakan, tentu akan sulit dan menemui banyak masalah. Sebagian menganggap, semua soal kesepakatan, jika memang setiap agama mengajarkan kebaikan/kebajikan lalu apa masalahnya?

Persoalan mungkin menjadi semakin “runcing” ketika orang menganggap bahwa agamanya yang paling benar/baik atau lebih bener/baik dari agama yang lain. Lebih parah lagi ketika orang menganggap bahwa hanya melalui agamanya orang akan selamat, dan orang dengan agama yang lain tidak selamat. Dogma-dogma inilah yang membuat agama menjadi sumber “kekalutan” dan “keributan-keributan,” Akibatnya, agama kehilangan esensi keberadaannya. Akhirnya, agama pada titik ini keluar dari fungsi dan hakikat ajarannya.

Bagaimana kecenderungan pernikahan beda agama di kalangan pemeluk Khonghucu? Adakah peningkatan? Bagaimana pencatatannya?

Tidak ada penelitian yang serius dan focus terkait persoalan ini. Namun memang ada dugaan kuat bahwa pemeluk Khonghucu yang berpindah keyakinan karena kaitan dengan pernikahan/perkaitan lebih tinggi dari agama lain.  Pertanyaannya, “apakah hal ini menjadi persoalan serius  bagi lembaga agama Khonghucu?” Jawabannya, “tidak” meskipun bukan tidak sama sekali. Artinya, sebagai lembaga yang didalamnya juga merupakan kumpulan manusia yang memiliki “ego” tentu ada “kegalauan.”  Galau karena secara lembaga tentu sangat berkaitan dengan jumlah umat, jumlah berkaitan dengan anggaran, anggaran berkaitan dengan pengembangan, pengembangan berkaitan dengan eksistensi, eksistensi berkaitan dengan gengsi, gengsi berkaitan dengan harga diri.

 

Adakah upaya-upaya lain agar tidak terjadi pernikahan beda agama?

Tidak ada kekhususnya usaha kearah itu. Kalaupun ada, sifanyat tidak “monohok” dengan dogma-dogma. Upaya lebih berfokus tentang bagaimana menjalani hidup yang baik, dengan landasan cinta kasih, kebenaran, kesusilaan,  dan kebijaksanaan agar dapat dipercaya.  (Dikutip ulang oleh  Mangu) 

 

Posting Komentar

0 Komentar