Ketika menyodorkan
tema seminar, “Yesus: Korban Politik Kekuasan,” sudah cukup banyak reaksi
datang dari para nitizen yang melihat info tentang seminar pada dinding FB dan
IG saya. Ada salah satu follower saya dari Ambon sempat mengkritisi tentang
judul seminar yang terpampang pada dinding dunia maya. Menurutnya bahwa politik
berarti sudah termasuk dalam kekuasaan. Saya mencoba untuk menjawab bahwa yang
tidak berkuasa pun memiliki kesempatan untuk berpolitik.
Politik dalam
pandangan sederhana bisa diartikan sebagai seni untuk menata kehidupan bersama.
Kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat perlu ditata secara baik dan ini
memerlukan sebuah seni dan bahkan strategi agar masyarakat terlayani secara maksimal.
Memang tidak gampang untuk memposisikan diri sebagai politisi dan bahkan
menjadi seorang penguasa. Seorang penguasa gampang terseret oleh arus
kepentingan golongan dan hal ini bisa mengorbankan kepentingan masyarakat umum.
Bagaimana kondisi
masyarakat pada zaman di mana Yesus hadir secara nyata, berkarya untuk
mewartakan kabar sukacita? Pada awal kehadiran Yesus di dunia ini, membuat Herodes
ketakutan akan kehilangan kekuasaan. Kisah ini bisa dibaca dalam Injil terutama
berkaitan dengan tiga raja dari Timur yang hendak menemui bayi Yesus dan membawa
persembahan untuk-Nya. Dengan kelahiran Sang Mesias ini membuat Herodes geram
dan memerintahkan untuk membunuh bayi-bayi yang tak berdosa itu.
Kehadiran Yesus
di dunia membongkar sebuah kemapanan hidup dari mereka yang menamakan diri
sebagai penguasa dan juga para ahli Taurat. Ketika hukum Taurat dijalankan
secara radikal, justeru Yesus harus berseberangan pandangan dan melaksanakan
sesuatu yang bertolak belakang dengan aturan itu. Di sini, bisa dilihat bahwa
Yesus lebih mementingkan aspek kemanusiaan yang terkadang disingkirkan demi sebuah
aturan yang kaku. Atas ajaran dan tindakan-tindakan-Nya yang berpihak pada
mereka yang lemah dan tertindas, maka para ahli Taurat dan orang-orang Farisi
berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan jebakan sebagai cara untuk
menjatuhkan Yesus.
Memang sudah
waktunya Yesus dihukum mati. Ada dua proses pengadilan yang harus dihadapi oleh
Yesus, yakni pengadilan Yahudi dan pengadilan Romawi. Walaupun dalam proses
itu, tidak ditemukan kesalahan namun karena para pejabat tidak mau kehilangan
jabatannya maka Yesus dikorbankan sebagai cara untuk mempertahankan “status
quo.” Jika dilihat secara manusiawi, seluruh proses pengadilan yang dijalani Yesus
penuh dengan kebohongan, tetapi dalam kaca mata iman, kita meyakini bahwa
seluruh proses yang terjadi dan dialami oleh Yesus merupakan sebuah desain yang
dirancang oleh Allah sendiri. Ia harus menjalani proses hukuman mati supaya
bisa masuk dalam ruang penderitaan, wafat dan kebangkitan-Nya dari alam maut.
Hanya melalui cara tragis ini, Yesus menyatakan kecintaan-Nya pada manusia dan ketaatan-Nya
pada Allah. Ia menjadi penebus bagi seluruh umat manusia.*** (Valery Kopong)
0 Komentar