Unordered List

6/recent/ticker-posts

Salib Itu Menuntun Saya Kembali

     







“Tak Akan Pernah Mengkhianati Salib, Apalagi Berpindah Ke Yang Lain, Meski Kematiaan Harus Kualami.”

Kegagalan itu sangat menyakitkan. Aku menjadi sangat benci dengan para imam, suster, bruder dan frater. Aku hanya mengurung diri di kamar ketika ada imam atau frater yang berkunjung ke rumah kami. Jika harus kencing maka jendela menjadi pengganti pintu rumah. Tuhan kuanggap tidak adil bagi saya karena kegagalan waktu itu di tahun 1992. Yang nama dan berbau Katolik seperti sekolah Katolik kutak mau mendengarnya karena hanya menambah sakit dan benci.

Akhirnya kupilih sekolah yang tak ada nama Katolik di dalamnya, pilihan SMA Negeri sebagai tempat meniti masa depan. Alasan saya sederhana saja, tak mau berjumpa dengan kaum berjubah. Dan karena alasan inipula saya tak lagi menginjakan kaki di gereja pada hari Minggu untuk ikut merayakan misa. Semua kuanggap sia-sia. Rajin mengikuti misa tapi toh gagal juga, demikian gugatan alam pikirku. Nilai agama Katolik: 6 di rapor SMA sudah kuanggap lebih dari cukup untuk bisa naik kelas.

Aku mulai mencintai miras, pergaulan dan seks bebas, dan kenakalan anak-anak malam: melempar pasar dan mobil. Sekolah sesuai keinginan. Jika lagi malas ya bolos menjadi hiburan atau tidak masuk dengan menjiplak tandatangan bapak asrama dan strategi memasang bawang putih di ketiak menjadi senjata ampuh melegalkan alasan kemalasan. Inilah duniaku. Kunikmati dunia ini. Rasa sakit atas kegagalan yang kualami tahun 1992 itu seakan sudah terobati. Ya, kubalas sakit hatiku pada Tuhan.

Dia yang kulayani sebagai seorang misdinar sejak SD kelas lima hingga SMP kelas 3 sepertinya tidak berpihak pada saya. Kuanggap sia-sia semua pelayananku untuk Dia. Maka jalan untuk membalas dendam kepada-Nya tak lain adalah menyakiti mereka yang ada di sekitarku: orang tua, guru dan kakak-kakaku dengan cara hidup yang jauh dari segala ajaran Katolik yang kuterima dari kedua orang tua dan guru agamaku waktu SD dan SMP yang adalah seorang Frater TOP.

Namun segala kenikmatan, kisah kasih manis masa putih abu di SMAN Lewoleba yang membutakan mata hatiku pada akhirnya mengantarkan saya di ruangan 24B Rumah Sakit Bukit Lewoleba dengan tekanan darah 78 dan tak sadarkan diri selama kurang lebih 8 jam menurut kesaksian perawat yang merawat saya. Saya yang begitu kuat sebelumnya, tak berdaya di atas tempat tidur. Saya yang kuat berlari saat dikejar guru karena bolos sekolah, hanya bisa tertidur lemas membayangkan ujian Ebtanas yang semakin dekat; 6 Mei 1996.

Suara yang keras membuat keributan di dalam kelas, hanya terdengar lirih menjawab gurauan teman-teman dan sapaan sang pacar. Tangan lincah melempari pasar dan mencuri mangga di kebun milik teman kelas, seakan terikat kuat di atas pembaringan. Tak berdaya, dengan tatapan menerawang membayangkan ujian Ebtanas.

Sakit muntaber dan gejala penyakit akibat pergaulan bebas membuat saya tak berdaya, meski ujian Ebtanas sudah di penghujung mata. Dalam keadaan tak berdaya itu, tanpa ada yang meminta dan menyuruh, saya berdoa singkat, sederhana dengan penuh iman dan pengharapan; “jika Tuhan menyembuhkan saya sebelum Ebtanas, saya menjadi imam.”

Tanggal 3 Mei saya diijinkan keluar dari Rumah Sakit Bukit Lewolwba sehingga bisa mengikuti ujian EBTANAS. Setelah pengumuman kelulusan, saya berjuang sendiri untuk melamar ke beberapa tarekat namun ditolak karena alasan terlambat. Saya kemudian ke Banjarbaru-Kalsel. Meskipun sudah terlambat dua bulan namun dengan sedikit “ngotot” bahwa tak ada kata terlambat bagi panggilan Tuhan, saya akhirnya diterima sehingga melengkapi teman-teman seangkat saya (7 orang) yang sudah dua bulan menjalani proses belajar di postulant MSF Johaninum menjadi 8 orang.

Kasih dan kebaikan Tuhan yang kujumpai waktu sakit terus kualami dalam perjalanan hidup panggilan saya sejak di Novisiat, belajar Filsafat Teologi, TOP hingga Tahbisan sehingga yang terlambat dua bulan, hanya saya yang ditahbiskan menjadi imam. Tepat Sabda Yesus; “Yang terakhir menjadi yang terdahulu.” (Mrk 10:31).

Hanya kerendahan hati dan ketaatan pada kehendak-Nya yang kemudian menjadi setiap pengalaman iman yang kualami sejak sakit menjadi pengalaman perjumpaan pribadi dengan Tuhan yang pada gilirannya membawa sebuah ketaatan pada kehendak-Nya dan bukan pada kehendakku (bdk. Mrk 14:34).

Sakit yang bagiku adalah salib menjadi sebuah Kebenaran iman bahwa penderitaan atau salib adalah jalan menuju sukacita kebangkitan. Yesus mengatakan; “Saya adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14:6), telah menunjukan bahwa Salib adalah Jalan Kebenaran menuju pada kehidupan ketika diterima dan dijalani dalam ketaatan.

Ketaatan iman itu muncul ketika dalam penderitaan atau salib seperti sakit yang kurasakan menjadi jalan pertobatan yang membawa sukacita dan kehidupan baru hingga meneguhkan dan menguatkan saya mengisahkan kebaikan dan kerahiman Allah dalam sepenggal motto tahbisanku;
“Bukan Kehendakku, Melainkan Kehendak-Mu” (bdk. Mrk. 14:36).
(Kopong Tuan, MSF)


Posting Komentar

0 Komentar