Cerpen : Pastor Atel, SVD
Senin selalu menjadi pagi hari yang tidak menyenangkan. Masing-masing orang saling memburu waktu. Sejak bangun pagi, membersihkan halaman rumah, mandi dan sarapan hingga bergegas ke sekolah. Sudah pasti orang pertama yang meninggalkan gubuk adalah ayahanda Beliau bukan karena hari Senin, tetapi kedisplinannya sudah menjadi ritme hidup sebagai seorang pengajar. Pergi lebih dulu dan pulang paling terakhir adalah suatu keharusan, bahkan makan siang pada pukul 14.00 adalah sesuatu yang normal bagi kami sekeluarga.
Ibuku
selalu menjadi orang terakhir yang meninggalkan rumah, setelah memastikan
keadaan rumah sudah tertata rapih termasuk menu makan siang untuk hari yang
bersangkutan. Saya selalu menjadi orang akan menyiapkan makan siang bagi kami
sekeluarga jika lebih awal pulang sekolah. Masak sayur dan goreng ikan bukan
sesuatu yang asing. Tidak mengherankan tampak banyak bekas luka di pergelangan
tangan oleh karena percikan minyak panas dari penggoreng. Sementara itu, aroma
bawang putih sudah akrab di penciumanku.***
Hanya
buku pelajaran yang ada di atas meja ketika mengajar. Ibu jarang membawa tas
hitamnya ke ruangan kelas. Pengalaman mengajar bertahun-tahun, bahkan sudah melampaui
usiaku, adalah catatan paling ampuh dalam mengajar. Wajah anggunnya saat
mengajar selalu membuat hati senang anak-anak muridnya. Di usia yang makin
bertambah, keanggunan tidak pernah memudar, bahkan semakin teduh setiap kali
memandang beliau. Kelembutan hatinya membuat setiap murid mengasihinya. Beliau dikenal sangat dekat dengan setiap
murid di setiap sekolah tempat beliau mengajar. Bahkan beliau menghabiskan lebih
dari dua puluh tahun pada salah satu sekolah dasar di desa tetangga.
Di
tas hitam yang dibawa setiap hari bisa ditemukan semua buku pelajaran untuk
satu minggu. Semua buku pelajaran agama Katolik dari kelas satu sampai kelas
enam dibawa setiap hari, walaupun tidak semuanya dipakai. Tak lupa pula beliau
menyimpan beberapa makanan kecil dan juga permen di tasnya. Setiap pulang
sekolah dan kembali ke rumah, hal pertama yang kami buat adalah mencari tas
hitam ibu, sambil berharap ada permen dan juga makanan ringan yang dibawa dari
sekolah.
Di
suatu siang, ketika membuka tas hitam ibu, saya menemukan sebuah catatan daftar
gaji dari seorang guru honor yang sudah tiga bulan tidak diberikan oleh
pemerintah kabupaten. Saya bertanya perihal isi surat itu dan kami terlibat
dalam sebuah diskusi yang sangat serius saat makan siang. Makan bersama adalah
kesempatan emas bagi kami untuk membagi situasi terbaru dari sekolah
masing-masing, selain waktu keluarga untuk saling membagi dan mendengarkan. Saya selalu menjadi orang yang lebih banyak
bertanya, dan ayah selalu menjadi orang terakhir dalam memberi jawaban. Setiap
jawabannya selalu memberi pencerahan dan kebijakan.
Saat
saya bertanya tentang upah guru honor, yang sudah tiga bulan tidak diberikan,
ibuku dalam nada yang sangat berat memberi jawaban bahwa pihak sekolah harus
mencari jalan keluar untuk mengatasi hal ini, karena pemerintah kabupaten belum
mencairkan dana yang menjadi hak guru honor di sekolahnya. Di bulan pertama
digunakan dana BOS, di bulan kedua para guru PNS diminta kesediaan untuk
membantu rekan guru mereka. Sementara di bulan ketika belum diberikan sama
sekali. Mendengar penjelesan ibu, spontan saya bertanya kepada ayah; “Apakah
diperbolehkan lembaga pendidikan tidak memberikan upah kepada guru honor? Jika
demikian, bagaimana dengan hidup mereka selama sebulan? Kalau kerja tidak diberikan
upah, apakah itu eksploitasi tenaga kerja?” Mendengar pertanyaan beruntun dari
saya, ibu hanya diam dan memandang ayah seakan meminta penjelasan. Diskusi kami
berakhir dengan suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya setiap pekerja yang tidak
diberi upah, itu adalah eksploitasi tenaga kerja; kata ayahku dalam nada
datarnya namun kalimatnya sangat mendalam. …..
Kemarin
malam di harian Surat Kabar Pos Kupang, halaman paling depan tertulis JPIC SVD Provinsi
Ende, membongkar dan membatalkan eksploitasi tenaga kerja. Sebagian orang yang
menjadi korban adalah dikirim dengan alasan untuk bekerja tetapi diberikan
penghasilan yang sangat jauh dari UMR. Sebagiannya lagi bahkan tidak diberikan
upah sampai berbulan-bulan. Saya
tersentak berhenti merenungkannya, sambil berujar jika Harian Pos Kupang bisa
memuat situasi guru honor yang tidak mendapatkan upah dari pemerintah kabupaten
selama tiga bulan, pasti akan menarik untuk diperbincangkan. Saya semakin
termotivasi untuk memikirkannya dengan pertanyaan sederhana, “jika pemerintah
kabupaten mengeksploitasi tenaga kerja guru honor, ke arah mana wajah
pemerintahan dan dunia pendidikan di kabupaten ini?”
Aku
terbangun. Koran yang menutup wajahku jatuh ke lantai ruangan tengah. Ibuku
dengan sabar mengarahkanku ke kamar tidur untuk melewati sisa malamku. Yang
terdengar samar-samar di kupingku adalah celoteh ibu akan anaknya yang belajar
sampai tertidur di ruangan tamu; “belajar sampai tertidur belum tentu bisa jadi
guru seperti kami!” Celotehan ini bukanlah pertama kali terdengar karena ibu
sering mengucapkannya untuk menantang kami anak-anak agar terus tekun belajar.
***
Seluruh
elemen sekolah harus dilibatkan untuk memikirkan solusi tentang upah guru
honor; ayahku coba menjernihkan situasi. Guru dan komite sekolah serta orang
tua dan aparat desa harus dilibatkan untuk memperhatikan nasib guru honor. Kita
tidak bisa mengharapkan pemerintah kabupaten yang menundah pemberian upah guru
honor. Penundaan demikian bukanlah hal yang baru di kabupaten ini, karena
banyak pegawai di instansi pemerintahan yang lain, juga mengalaminya, terutama
di tiga bulan awal setiap tahun. Alasannya selalu yang sama karena prihal
anggaran pemerintah kabupaten yang belum terpenuhi. Hal ini sudah terjadi
bertahun-tahun dan bahkan sudah menjadi satu hal yang normal meskipun salah.
Mendengar
penjelasan lanjut dari ayah, saya berhenti menyusun piring kotor di atas meja
dan ingin memberi perhatian penuh pada penjelasan ayah. Pertanyaan-pertanyaan
beruntun pun saya ujarkan. Mulai dari, apakah pemerintah kabupaten buta, tuli
dan bisu dengan situasi yang demikian, sampai memberi anjuran agar para guru
honor berhenti mengajar saja selama upah mereka belum diberikan. Ayahku
mengangguk tenang dan berkomentar bahwa komentarmu brilian dan usulan yang
bagus, sambil memberikan satu pertanyaan lebih lanjut; tahukah kamu perbedaan
tenaga honor dan tenaga PNS di kabupaten ini? Saya hanya diam sebagai isyarat
tidak tahu letak perbedaannya. Ayahku tetap dengan tenang memberi penjelasan
lanjut; meskipun beban kerja sama tetapi perbedaannya pada sistem pemberian
upah. Para tenaga honor akan diberi upah di akhir bulan. Itu berarti mereka
harus bekerja dulu baru digaji. Sedangkan para tenaga PNS diberi gaji pada awal
bulan. Jadi apakah dia akan bekerja atau tidak selama sebulan ke depan, dia
sudah menerima upahnya. Aku semakin terkejut mendengar penjelasan dari ayahku.
***
Pelaku
eksploitasi tenaga kerja tertangkap dan sidang memutuskan bahwa tuntutan dari
JPIC diterima. Para korban dibayar upahnya sejak bulan pertama mereka
dipekerjakan dan dipulangkan ke keluarganya. Pelaku eksploitasi harus
menanggung biaya perjalanan pulang mereka serta segala tunjangan tahunan yang
wajib diberikan kepada setiap pekerja. Sang pelaku harus mendekam dalam penjara
selama sepuluh tahun. Tidak ada kata bebas dan damai. Usai membaca kutipan ini,
hati langsung legah tetapi tertantang untuk menyampaikan situasi yang dialami
guru honor di sekolah ibu kepada saudaraku yang adalah wartawan Kantor Berita
Nasional. Seingat saya, karena tulisannya tentang mantan pengawas pemilu di
kabupaten, pemerintah pusat dan provinsi langsung mengambil langkah
penyelesaian persoalan di kabupaten beberapa tahun lalu. Usai membaca tulisan di harian surat kabar
tersebut, saya coba menghubungi saudara saya prihal situasi di sekolah ibu.
Seminggu
berselang, dihalaman depan tertulis,”Gaji Guru Honor sekolah dasar tidak
diberikan; eksploitasi terselubung.” Judul tulisan yang sangat menarik indra
penglihatan. Naluri membacaku semakin dipacu untuk menemukan solusi dan tanggapan
lanjut dari berita yang dimuat. Ibuku yang lagi sibuk menyiapkan makan malam
turut memberikan pertanyaan seputar isi berita yang dimuat. Ia tidak terlalu
terkejut dengan nama sekolah yang dimuat, bahkan iyah mendukung agar permasalahan
guru honor di sekolah khususnya, dan di kabupaten seluruhnya bisa diselesaikan.
Dengan nada lembutnya iyah pun berujar, semoga suara komita sekolah didengar
oleh pemerintah kabupaten. Semoga pemerintah, khususnya dinas pendidikan dan
olahraga tidak lagi tuli, buta dan bisu dengan nasib para guru honor.
Suasana
makan malam selalu menjadi kesempatan canda tawa dan senda gurau. Celotehan
pengalaman suka duka mengajar ayah dan ibu semakin menegaskan bahwa kami tidak
sanggup berbuat seperti yang mereka lakukan. Hal ini terbukti ketika ayahanda
dalam sambutannya di hari purna bhaktinya, “hari ini saya berhenti sebagai
pengajar, tetapi bukan berarti saya tidur. Saya akan dengan senang hati
melayani lembaga pendidikan ini bilamana dibutuhkan.” Derma bhakti sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa membekas dalam setiap hati para anak didik. Kami
meneguk dengan senyum minuman khas Adonara, Arak. Kadang kami bisa bercerita
lama sekali, bahkan sampai menghabiskan satu botol hingga sampai larut malam. Ibu
selalu setia menemani, mendengar dan memandangi kami menghabiskan waktu bersama
keluarga. ***
Dulu ibu selalu membawa tas hitamnya kemana saja beliau pergi. Akhir-akhir ini, terlebih setelah memasuki masa purna bhaktinya, tas hitam ibu lebih sering terlihat di dalam lemari kaca. Tidak ada lagi buku-buku pelajaran di dalam tas ibu. Apalagi makanan ringan dan dokumen-dokumen lainnya. Ia terpajang rapih di samping deretan buku-buku bacaan dan pelajaran yang tersusun rapi.
Ibu tak lagi menggunakan tas hitam kesayangannya. Sekali seminggu tasnya dibersihkah. Debu-debu yang melekat disingkirkan. Setiap kali menatap tas kosongnya yang terpajang selalu terbersit harapan akan masa depan guru yang semakin baik. Ibu selalu senang dan bangga bila berkisah tentang pengabdiannya dan selalu mengingatkan kami akan tas hitam kesayangannya. “Saat hujan dan badai, sekuyur tubuh boleh basah, tetapi tas hitamnya tidak boleh basah, katanya, karena di dalamnya ada harapan akan masa depan banyak orang.”
(Kaohsiung, April 2022). By. Atel, SVD.
3 Komentar
Mantap teman
BalasHapusBagus ceritanya
BalasHapusTerima kasih Bu Noor Alfiah
BalasHapus