Unordered List

6/recent/ticker-posts

Tas Hitam Ibu

                                                       Cerpen : Pastor Atel, SVD 




Senin selalu menjadi pagi hari yang tidak menyenangkan. Masing-masing orang saling memburu waktu. Sejak bangun pagi, membersihkan halaman rumah, mandi dan sarapan hingga bergegas ke sekolah. Sudah pasti orang pertama yang meninggalkan gubuk adalah ayahanda Beliau bukan karena hari Senin, tetapi kedisplinannya sudah menjadi ritme hidup sebagai seorang pengajar. Pergi lebih dulu dan pulang paling terakhir adalah suatu keharusan, bahkan makan siang pada pukul 14.00 adalah sesuatu yang normal bagi kami sekeluarga.

Ibuku selalu menjadi orang terakhir yang meninggalkan rumah, setelah memastikan keadaan rumah sudah tertata rapih termasuk menu makan siang untuk hari yang bersangkutan. Saya selalu menjadi orang akan menyiapkan makan siang bagi kami sekeluarga jika lebih awal pulang sekolah. Masak sayur dan goreng ikan bukan sesuatu yang asing. Tidak mengherankan tampak banyak bekas luka di pergelangan tangan oleh karena percikan minyak panas dari penggoreng. Sementara itu, aroma bawang putih sudah akrab di penciumanku.***

Hanya buku pelajaran yang ada di atas meja ketika mengajar. Ibu jarang membawa tas hitamnya ke ruangan kelas. Pengalaman mengajar bertahun-tahun, bahkan sudah melampaui usiaku, adalah catatan paling ampuh dalam mengajar. Wajah anggunnya saat mengajar selalu membuat hati senang anak-anak muridnya. Di usia yang makin bertambah, keanggunan tidak pernah memudar, bahkan semakin teduh setiap kali memandang beliau. Kelembutan hatinya membuat setiap murid mengasihinya.  Beliau dikenal sangat dekat dengan setiap murid di setiap sekolah tempat beliau mengajar. Bahkan beliau menghabiskan lebih dari dua puluh tahun pada salah satu sekolah dasar di desa tetangga.

 Di tas hitam yang dibawa setiap hari bisa ditemukan semua buku pelajaran untuk satu minggu. Semua buku pelajaran agama Katolik dari kelas satu sampai kelas enam dibawa setiap hari, walaupun tidak semuanya dipakai. Tak lupa pula beliau menyimpan beberapa makanan kecil dan juga permen di tasnya. Setiap pulang sekolah dan kembali ke rumah, hal pertama yang kami buat adalah mencari tas hitam ibu, sambil berharap ada permen dan juga makanan ringan yang dibawa dari sekolah.

Di suatu siang, ketika membuka tas hitam ibu, saya menemukan sebuah catatan daftar gaji dari seorang guru honor yang sudah tiga bulan tidak diberikan oleh pemerintah kabupaten. Saya bertanya perihal isi surat itu dan kami terlibat dalam sebuah diskusi yang sangat serius saat makan siang. Makan bersama adalah kesempatan emas bagi kami untuk membagi situasi terbaru dari sekolah masing-masing, selain waktu keluarga untuk saling membagi dan mendengarkan.  Saya selalu menjadi orang yang lebih banyak bertanya, dan ayah selalu menjadi orang terakhir dalam memberi jawaban. Setiap jawabannya selalu memberi pencerahan dan kebijakan.

 Saat saya bertanya tentang upah guru honor, yang sudah tiga bulan tidak diberikan, ibuku dalam nada yang sangat berat memberi jawaban bahwa pihak sekolah harus mencari jalan keluar untuk mengatasi hal ini, karena pemerintah kabupaten belum mencairkan dana yang menjadi hak guru honor di sekolahnya. Di bulan pertama digunakan dana BOS, di bulan kedua para guru PNS diminta kesediaan untuk membantu rekan guru mereka. Sementara di bulan ketika belum diberikan sama sekali. Mendengar penjelesan ibu, spontan saya bertanya kepada ayah; “Apakah diperbolehkan lembaga pendidikan tidak memberikan upah kepada guru honor? Jika demikian, bagaimana dengan hidup mereka selama sebulan? Kalau kerja tidak diberikan upah, apakah itu eksploitasi tenaga kerja?” Mendengar pertanyaan beruntun dari saya, ibu hanya diam dan memandang ayah seakan meminta penjelasan. Diskusi kami berakhir dengan suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya setiap pekerja yang tidak diberi upah, itu adalah eksploitasi tenaga kerja; kata ayahku dalam nada datarnya namun kalimatnya sangat mendalam. …..

Kemarin malam di harian Surat Kabar Pos Kupang, halaman paling depan tertulis JPIC SVD Provinsi Ende, membongkar dan membatalkan eksploitasi tenaga kerja. Sebagian orang yang menjadi korban adalah dikirim dengan alasan untuk bekerja tetapi diberikan penghasilan yang sangat jauh dari UMR. Sebagiannya lagi bahkan tidak diberikan upah sampai berbulan-bulan.  Saya tersentak berhenti merenungkannya, sambil berujar jika Harian Pos Kupang bisa memuat situasi guru honor yang tidak mendapatkan upah dari pemerintah kabupaten selama tiga bulan, pasti akan menarik untuk diperbincangkan. Saya semakin termotivasi untuk memikirkannya dengan pertanyaan sederhana, “jika pemerintah kabupaten mengeksploitasi tenaga kerja guru honor, ke arah mana wajah pemerintahan dan dunia pendidikan di kabupaten ini?”

Aku terbangun. Koran yang menutup wajahku jatuh ke lantai ruangan tengah. Ibuku dengan sabar mengarahkanku ke kamar tidur untuk melewati sisa malamku. Yang terdengar samar-samar di kupingku adalah celoteh ibu akan anaknya yang belajar sampai tertidur di ruangan tamu; “belajar sampai tertidur belum tentu bisa jadi guru seperti kami!” Celotehan ini bukanlah pertama kali terdengar karena ibu sering mengucapkannya untuk menantang kami anak-anak agar terus tekun belajar. ***

Seluruh elemen sekolah harus dilibatkan untuk memikirkan solusi tentang upah guru honor; ayahku coba menjernihkan situasi. Guru dan komite sekolah serta orang tua dan aparat desa harus dilibatkan untuk memperhatikan nasib guru honor. Kita tidak bisa mengharapkan pemerintah kabupaten yang menundah pemberian upah guru honor. Penundaan demikian bukanlah hal yang baru di kabupaten ini, karena banyak pegawai di instansi pemerintahan yang lain, juga mengalaminya, terutama di tiga bulan awal setiap tahun. Alasannya selalu yang sama karena prihal anggaran pemerintah kabupaten yang belum terpenuhi. Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun dan bahkan sudah menjadi satu hal yang normal meskipun salah.

Mendengar penjelasan lanjut dari ayah, saya berhenti menyusun piring kotor di atas meja dan ingin memberi perhatian penuh pada penjelasan ayah. Pertanyaan-pertanyaan beruntun pun saya ujarkan. Mulai dari, apakah pemerintah kabupaten buta, tuli dan bisu dengan situasi yang demikian, sampai memberi anjuran agar para guru honor berhenti mengajar saja selama upah mereka belum diberikan. Ayahku mengangguk tenang dan berkomentar bahwa komentarmu brilian dan usulan yang bagus, sambil memberikan satu pertanyaan lebih lanjut; tahukah kamu perbedaan tenaga honor dan tenaga PNS di kabupaten ini? Saya hanya diam sebagai isyarat tidak tahu letak perbedaannya. Ayahku tetap dengan tenang memberi penjelasan lanjut; meskipun beban kerja sama tetapi perbedaannya pada sistem pemberian upah. Para tenaga honor akan diberi upah di akhir bulan. Itu berarti mereka harus bekerja dulu baru digaji. Sedangkan para tenaga PNS diberi gaji pada awal bulan. Jadi apakah dia akan bekerja atau tidak selama sebulan ke depan, dia sudah menerima upahnya. Aku semakin terkejut mendengar penjelasan dari ayahku. ***

Pelaku eksploitasi tenaga kerja tertangkap dan sidang memutuskan bahwa tuntutan dari JPIC diterima. Para korban dibayar upahnya sejak bulan pertama mereka dipekerjakan dan dipulangkan ke keluarganya. Pelaku eksploitasi harus menanggung biaya perjalanan pulang mereka serta segala tunjangan tahunan yang wajib diberikan kepada setiap pekerja. Sang pelaku harus mendekam dalam penjara selama sepuluh tahun. Tidak ada kata bebas dan damai. Usai membaca kutipan ini, hati langsung legah tetapi tertantang untuk menyampaikan situasi yang dialami guru honor di sekolah ibu kepada saudaraku yang adalah wartawan Kantor Berita Nasional. Seingat saya, karena tulisannya tentang mantan pengawas pemilu di kabupaten, pemerintah pusat dan provinsi langsung mengambil langkah penyelesaian persoalan di kabupaten beberapa tahun lalu.  Usai membaca tulisan di harian surat kabar tersebut, saya coba menghubungi saudara saya prihal situasi di sekolah ibu.

Seminggu berselang, dihalaman depan tertulis,”Gaji Guru Honor sekolah dasar tidak diberikan; eksploitasi terselubung.” Judul tulisan yang sangat menarik indra penglihatan. Naluri membacaku semakin dipacu untuk menemukan solusi dan tanggapan lanjut dari berita yang dimuat. Ibuku yang lagi sibuk menyiapkan makan malam turut memberikan pertanyaan seputar isi berita yang dimuat. Ia tidak terlalu terkejut dengan nama sekolah yang dimuat, bahkan iyah mendukung agar permasalahan guru honor di sekolah khususnya, dan di kabupaten seluruhnya bisa diselesaikan. Dengan nada lembutnya iyah pun berujar, semoga suara komita sekolah didengar oleh pemerintah kabupaten. Semoga pemerintah, khususnya dinas pendidikan dan olahraga tidak lagi tuli, buta dan bisu dengan nasib para guru honor.

Suasana makan malam selalu menjadi kesempatan canda tawa dan senda gurau. Celotehan pengalaman suka duka mengajar ayah dan ibu semakin menegaskan bahwa kami tidak sanggup berbuat seperti yang mereka lakukan. Hal ini terbukti ketika ayahanda dalam sambutannya di hari purna bhaktinya, “hari ini saya berhenti sebagai pengajar, tetapi bukan berarti saya tidur. Saya akan dengan senang hati melayani lembaga pendidikan ini bilamana dibutuhkan.” Derma bhakti sebagai pahlawan tanpa tanda jasa membekas dalam setiap hati para anak didik. Kami meneguk dengan senyum minuman khas Adonara, Arak. Kadang kami bisa bercerita lama sekali, bahkan sampai menghabiskan satu botol hingga sampai larut malam. Ibu selalu setia menemani, mendengar dan memandangi kami menghabiskan waktu bersama keluarga. ***

 Dulu ibu selalu membawa tas hitamnya kemana saja beliau pergi. Akhir-akhir ini, terlebih setelah memasuki masa purna bhaktinya, tas hitam ibu lebih sering terlihat di dalam lemari kaca. Tidak ada lagi buku-buku pelajaran di dalam tas ibu. Apalagi makanan ringan dan dokumen-dokumen lainnya. Ia terpajang rapih di samping deretan buku-buku bacaan dan pelajaran yang tersusun rapi.

Ibu tak lagi menggunakan tas hitam kesayangannya. Sekali seminggu tasnya dibersihkah. Debu-debu yang melekat disingkirkan. Setiap kali menatap tas kosongnya yang terpajang selalu terbersit harapan akan masa depan guru yang semakin baik. Ibu selalu senang dan bangga bila berkisah tentang pengabdiannya dan selalu mengingatkan kami akan tas hitam kesayangannya. “Saat hujan dan badai, sekuyur tubuh boleh basah, tetapi tas hitamnya tidak boleh basah, katanya, karena di dalamnya ada harapan akan masa depan banyak orang.”

(Kaohsiung, April 2022). By. Atel, SVD.

            

Posting Komentar

3 Komentar