(“Ikhtiar Menggali Identitas Lokal: Pengalaman Muslim Pribumi di Propinsi NTT “.
Oleh : Simon Kopong Seran *)
Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT, merupakan sebuah Buku bunga rampai sebagai hasil penelitian dari Tim Kecil, yang mencoba menggali sejarah lahirnya Muslim di NTT dalam sudut pandang etno–antropologis; Artinya penelitian terfokus komunitas Muslim etnis tertentu seperti di Lamakera–Solor-Flores Timur, Maundai–Keo Tengah–Nagekeo, Amanuban Timur–TTS, Waingapu, Alor dan beberapa komunitas Muslim lainnya. Kendati penelitian dengan setting pada komunitas etnik tertentu, tetapi setidaknya dapat menggambarkan Islam secara keseluruhan di bumi Flobamora, yang sudah hadir semenjak abad XVI dengan memberikan warna tersendiri di tengah–tengah pluralitas kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara.
Hasil penelitian
menggambarkan bahwa kaum Muslim pribumi tidak saja menghayati ajaran agamanya
yang terejawantah dalam Qu’ran, Hadis dan Syariat, tetapi juga mencakup apa
yang mereka lakukan dan hayati dalam konteks social budaya, adat–istiadat
masyarakat setempat bersama penduduk masyarakat NTT yang menganut agama
Kristen. Muslim pribumi di NTT cenderung
menjalankan praktik Syariah dan nilai–nilai Islam sambil menghargai adat–
istiadat dan budaya mereka. “Sebagai anggota keluarga, kami umat Islam tidak
terlepas dari kehidupan bermasyarakat dengan kerabat kami yang beragama Katolik,
baik dalam urusan adat–istiadat maupun
dalam hal toleransi beragama”, ungkap Drs.
H Muhammad Arsad (hal. 336).
Hal ini tentu sangat
berbeda dengan penganut Islam lainnya yang terus mendorong praktik hidup
Islamiyah yang murni dan sejati. Kaum Islam lainnya mengeritik kaum Muslim NTT
sebagai praktik hidup Islam yang menyimpang dan bahkan syirik, karena
mempersekutukan Allah yang tauhid dengan dewa – dewi atau roh – roh. Kritik ini
akan membawa dilema untuk kelompok kecil pemuda-pemudi Muslim pribumi terdidik
di NTT, entah hidup dengan cara Islam yang murni atau menyesuaikan Islam dengan
budaya dan adat istiadat setempat. (hal. 67).
Seperti yang dialami oleh
Haji Agus Salim (24 th), seorang da’i, yang baru pulang dari pendidikan Pondok
Pesantren di Sukabumi dan Tasikmalaya, merasa gusar akan perkembangan Islam di
Alor, khususnya di Desa Ilawe yang terlibat praktik tradisi local yang
sebenarnya asing bagi Islam murni, misalnya percaya kepada nenek moyang
ketimbang Tauhid. Ia ingin memurnikan keIslaman di Desa Ilawe sesuai disiplin
ilmu yang diperolehnya, namun mendapat tantangan dari kalangan tua yang melihat
bahwa sebelum agama datang ke Alor, hubungan keluarga dan kemanusiaan sudah ada
jauh sebelumnya. Jadi sebagaimana ditegaskan oleh Usman Mautang (70 th), lebih
baik orang Alor memberi perhatian serius kepada persoalan kemanusiaan juga
keagamaan secara seimbang. (hal. 179).
Pada sisi lain, hasil
penelitian juga menemukan bahwa salah satu faktor yang mencirikan kaum Muslim
pribumi NTT yaitu menempatkan ajaran ukhuwah
al–Islamiyah berdampingan dengan gagasan kekerabatan dalam kehidupan
sehari–hari. Mereka dipersatukan karena hubungan darah dan perkawinan,
dipersatukan di rumah adat dalam ritus gadak manuk dan kenirek. Gadak manuk merupakan salah satu
ritus mempersatukan kaum lelaki dalam satu garis keturunan yang sama, sedangkan
knirek merupakan ritus persatuan bagi kaum perempuan pada satu garis keturunan
dari ibu. Pada kedua ritual ini, mempersatukan semua rumpun keluarga dari garis
keturunan yang sama, baik Katholik, Kristen, Islam, maupun penganut agama lain.
(Pen:
Bdk. Michael Boro Bebe: Panorama
Budaya Lamaholot, Kekerabatan, Ritus, Adat kematian, Rekonsiliasi dan Bahasa
Arkais). Di Sumba dikenal tradisi polu
pama pata bokul yang dipraktekan di Waingapu, yaitu keterlibatan seseorang/sekelompok
penganut agama dalam urusan penganut agama lainnya dengan peran masing–masing
seperti dalam urusan acara adat atau peristiwa kematian. (hal 297). Demikian
juga, spirit kehidupan yang digelorahkan oleh kaum Muslim Lamakera dengan latar
budaya pesisir, yang senantiasa menautkan mereka dengan etnis budaya Lamaholot
lainnya, tetap mengambil peran dalam
pola–pola budaya local dengan menghayati
asas kekerabatan kaka ari woto watang yaitu
persaudaraan antara penduduk Kristen di pedalaman dan penduduk Muslim di
pesisir. (hal 133).
Dengan demikian,
kekerabatan berhasil menciptakan interaksi intensif yang melintasi berbagai
sekat dan dinding pemisah. Pengembangan sistim kekerabatan ini, dapat menjamin
keselarasan saling hubungan yang harmonis diantara anggota satu rumah (adat) (baik Muslim dan bukan Muslim). Pada titik
ini, justru praktik hidup kaum Muslim pribumi NTT yang menyelaraskan ajaran
Islam dengan tetap menjunjung tinggi nilai adat–istiadat masyarakat setempat,
menjadi suatu NILAI dalam membangun
dialog yang lebih dinamis untuk menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama
yang harmonis di NTT. Kita perlu
menyadari bahwa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika, kita perlu menghormati keanekaan budaya, adat
istiadat, suku, agama dan ras, karena perbedaan
merupakan ratna mutu manikam yang tebentang indah dari pulau We sampai
Papua, Sangihe Talaud ke pulau Rote. “Karena keanekaragaman adalah sunnatullah, hukum dan anugerah Allah Sang Pencipta
dan bukan atas kehendak manusia. Jika demikian, maka salah satu indikator keimanan adalah kesanggupan dalam
menerima dan menghormati karya Sang Pencipta, termasuk pluralitas”. (Siti
Halimah Assyadiyah, S. Psi,: Mengalami
dan Menghayati Dialog dan
Kerukunan Antarumat Beragama di Pondok Pesantren Walisanga Ende, hal 324).
Sejalan dengan
itu, Drs. H. Muhammad Arsad, menegaskan,
sebagaimana dalam Al–Quran mengajarkan, “Lakum
diinukum waliyadin”,
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku,
yang mengajarkan saling menghormati agama satu sama lain (hal.342). Terbukti,
pada pemilihan umum tahun 2014 lalu, partai Golkar NTT berhasil mengirim salah
satu wakilnya Drs. Anwar Pua Geno dari daerah pemilihan Flores, Lembata dan
Alor berhasil mendulang suara terbanyak dan
menjadi Ketua DPRD propinsi NTT periode 2014-2019, tetapi seluruh
masyarakat NTT tidak pernah mengajukan protes. Masyarakat NTT menerimanya dengan ikhlas, tidak ada
keberatan, dengan alasan karena NTT
dengan mayoritas Kristen yang DPRDnya dipimpin oleh kaum Muslim. Masyarakat NTT
sangat menyadari bahwa ‘eja’ Puageno ‘ata Ende’ adalah juga
sanak-saudaranya dan juga ada saudaranya
yang lain lahir dari satu moyang yang
sama tetapi beragama Katholik.
Namun sebenarnya, praktek hidup masyarakat
NTT yang menautkan ajaran agama dan kepercayaan adat-istiadat tidak
hanya terbatas pada komunitas Muslim
pribumi NTT saja, tetapi kita bisa temukan juga pada masyarakat lain di
Indonesia. Seperti
tulisan Prof. Dr. HAMKA dalam bukunya
Islam dan Adat Minangkabau, HAMKA tidak berniat untuk memerangi semua nilai
adat yang tumbuh mengakar di bumi Minangkabau. Tetapi adat dan syariah (hukum
Islam) hendaknya dijalankan bagai senar ganda yang dipintal. Artinya, hukum
adat harus diperkuat dan tradisi harus dijalankan. (h.47).
Inilah nukilan sekilas tentang
Buku Wacana Identitas Muslim Pribumi NTT. Walaupun
penelitian terfokus pada etnik tertentu dan pengalaman–pengalaman pribadi yang
dituangkan dalam buku ini dalam ranah lokal, tetapi buku ini sangat berguna
bagi seluruh warga masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya warga
Flobamora agar bisa membaca/menyimak secara cermat dan dapat memberikan
insiprasi bagi semua warga bangsa dalam kancah dialog antarumat beragama yang
lebih dinamis untuk menciptakan keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama
secara damai. Karena.....ketegangan dalam hal agama lebih banyak membawa
mudarat ketimbang untungnya. Alangkah lebih
bijaksananya kita menempatkan unsur kemanusiaan di atas segala–galanya,
sebagai manusia ciptaan Allah dari rahim yang sama : Adam dan Hawa. Seperti ditegaskan oleh Usman Mautang tersebut
di atas, dan Dr. Okto Naif, Pr dalam Epilognya, “Asas yang paling kuat daya
penyatuannya adalah harkat dan martabat manusia. Yang beradab dan berbudaya
adalah manusia. Yang beragama dan beriman adalah manusia. Ketika manusia dan
kemanusiaan ditempatkan di barisan depan perbedaan agama dan budaya, maka tidak
akan ada perbedaan lagi. Yang ada hanyalah persamaan. Kita sama–sama manusia
beriman dan berbudaya” (hal. 370).
SELAMAT MEMBACA!!
Akhirnya, Saya mengucapkan Selamat
Hari Idul Fitri 1443 H bagi seluruh umat Islam, semoga segala amal ibadah
mendapat berkah dari Allah SWT dan buku
ini memberikan inspirasi bagi serluruh warga bangsa dalam membangun dialog
antar umat beragama yang lebih dinamis untuk menciptakan keharmonisan dan
saling menghormati dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
|
Dr. Fredrik Y.A. Doeka, MA,
Dr. Ahmad Atang, M.Si
0 Komentar