MENJALANI kehidupan menggapai cita-cita yang diharapkan tidak selamanya berjalan dengan mulus. Kadang kala pengalaman tertentu yang bisa menyebabkan keinginan itu berubah.Menjadi pegawai di Rumah Sakit (RS) Kusta Sitanala, Tangerang bukanlah cita – cita awal R. V. Hardjono. Kendati bukan cita-cita awal, ia melakukan pekerjaan itu penuh ikhlas dan ketekunan.
Awalnya ia
mengenyam pendidikan STMA di Yogyakarta, namun karena faktor ekonomi yang tidak
mendukungnya, Hardjono kembali ke Lampung, kota kelahirannya dan melanjutkan
pendidikan sekolah pengatur perawat kesehatan. Hardjono mulai tertarik menjadi
perawat dan ia menjalaninya hingga purna
tugas. Ia mengaku sungguh mencintai pekerjaan itu karena boleh melayani orang
yang membutuhkan pertolongan kesehatan. Bahkan ia menyebut menjadi perawat itu
adalah Rahmat Tuhan .
‘’Setelah tamat di
SMP Yos Sudarso –Metro Lampung, 1966, saya ke Yogyakarta untuk melanjutkan
ke Sekolah Teknologi Menengah Atas
(STMA) di Yogyakarta. Di kota pelajar ini saya hanya merasakan STMA
selama setahun karena faktor ekonomi orangtua tidak mampu membayar
sekolah,’’kisah R.V Hardjono di Kedaung, Tangerang saat ditemui belum lama ini.
Tidak melanjutkan sekolah
Hardjono kembali ke Lampung dan ia masuk di Sekolah Pengatur Perawat Kesehatan
di Tanjung Karang, sekitar 48 km selatan dari Metro Lampung. Ia tinggal di
asrama dan setiap bulan ia kembali ke rumah. Artinya setiap awal bulan ia boleh kembali ke Metro
Lampung, untuk mengambil makanan ( bekal)
selama sebulan berikutnya.
Hardjono sebagai
anak sulung dari tujuh bersaudara. Ibundanya telah berpulang ke rumah Bapa tahun
1958 sedangkan ayahnya bekerja sebagai guru sekolah dasar (SD). Bersama 6 orang
adiknya membuat Hardjono harus hidup prihatin. Ibunya dipanggil Tuhan
ketika ia masih duduk di kelas 4 SD. Untuk meringankan beban sang ayah, empat (4) orang perempuannya
terpaksa dibesarkan, dititipkan ke suster-suster fransiskan yang bekerja di
paroki Hati Kudus Yesus (HKY) Metro Lampung.-
Sewaktu masih di
SMP, R.V. Hardjono harus bekerja membantu ayahnya, melakoni berbagai pekerjaan. Mislanya berkebun,
memelihara babi dan usaha-usaha lain untuk menambah penghasilan ekonomi
keluarga. Keinginan menjadi profesi lain hilang Hardjono kemudian lalu fokus ingin meraih cita-citanya, perawat. Maklum
ibunya berkarya sebagai bidan di Rumah
Sakit Bersalin milik Paroki Hati Kudus Yesus di Metro Lampung.
Setelah tamat di
SPK Hardjono pernah bekerja selama setahun di Pusksamas Kedatong, Lampung.
Tahun 1970 Hardjono memutuskan menikah dengan Maria Goreti. Tahun 1980 istrinya
mendapat pekerjaan di Tangerang di bidang pendidikan kesehatan maka Hardjono
pun pindah ke Tangerang.
Tahun 1980 ia
bekerja di RS Kusta Sitanala, Tangerang. Mula-mula sebagai tenaga honor dan
terhitung tahun 1983 diangkat menjadi PNS. Di tempat ini Hardjono bekerja sama
dengan rekan-rekan pekerja yang sangat
tinggi dedikasi melayani pasien kusta. Ia menyebut beberapa nama seperti Suster Analisa, Suster Ribka.
Suster Analisa ini berasal dari Finlandia yang
membaktikan dirinya untuk penderita kusta di RS Sitanala, Tangerang.
Saat ini Analisa menikah dengan rekan seprofesinya dan menetap di Jawa Tengah.
Hardjono
menceritakan ketika bertugas di RS Sitanala ia selalu mengikuti kegiatan doa
bersama di Hotel Indonesia Jakarta
bersama Analisa dan Ribka. Ia sangat senang kegiatan itu karena dengan demikian
imannya bertumbuh dalam pekerjaan yang ditekuni sebagai perawat, pendamping
dokter dan pekerjaan lainnya.
‘’Saya menyadari selama bertugas di Sitanala, bergaul dan
berteman dengan sesama perawat sehingga
saya bertumbuh dalam iman,’’ kisah Hardjono berusia 72 tahun.
Menurut Hardjono
sosok Suster Analisa merupakan perawat
senior, penuh perhatian. Ia mengakui pegawai negeri yang dinyatakan lulus 1983 itu kurang mendapat perhatian tapi
menurutnya Sr. Analisa sangat peduli
terhadap para pegawai yang diangkat dan ditugaskan di RS. Sitanala, Tangerang.
Hardjono mengakui berkat kesetiaan Analisa mendampinginya ia bisa mengetahui dan mempraktikkan banyak hal
yang diperolehnya selama bangku sekolah di Lampung dan ia menerapkannya dalam
menjalani pekerjaan. Ia menyebut contoh, bagaimana cara merawat pasien kusta,
memberikan obat, membersihkan luka bahkan melakukan operasi pasien kusta.
Karya
Lady Diana
R.V Hardjono dalam berkarya di bidang kesehatan otomatis melayani
para pasien kusta. Tidak hanya di lingkungan pasien RS Sitanala saja tapi
bahkan hampir pasien yang terdapat di 22 rumah sakit kusta yang tersebar di
sejumah kota di Indonesia waktu itu. The Leprosy Mission adalah lembaga kemanusiaan
yang dipimpin oleh Lady Diana (Putri Diana) yang memberikan pelayanan khusus
bagi penderita kusta di seluruh dunia. Lama sebelum Hardjono masuk menjadi pegawai
di rumah sakit tersebut, sudah ada pelayanan dokter – dokter untuk pasien
kusta. Saat itulah Hardjono mendapat tugas untuk pergi ke daerah-daerah yang
memiliki rumah sakit Kusta lalu ia melayani di berbagai daerah.
‘’Sejak ada The
Leprosy Mission di Indonesia saya sering menjadi utusan ke daerah dan melakukan
pengobatan pasien kusta seperti di Lembata, Manggarai ( Nusa Tenggara Timur) dan Timor Timur ( kini Timor Leste dan rumah sakit yang ada di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan wilayah Kalimantan. Saya boleh bersyukur
mendapat kesempatan mempunyai pengalaman
merawat dan mengobati pasien di daerah ’’ kisah ayah seorang puteri , 3
tiga orang cucu itu.
The Leprosy
Mission yang dipimpin Lady Diana itu sesungguhnya lembaga yang dibentuk untuk
membantu masyarakat khususnya penderita
kusta di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Keberpihakan Lady Diana itu
diwujudkan karena melihat pasein kusta selalu dikucilkan atau
dimarginalkan. Maka melalui kerja sama dengan Departemen Kesehatan (waktu itu)
para pasien kusta mengalami jasa pengobatan, perawatan,
untuk penyembuhan tidak sepeser pun dibayar oleh pasien kusta.
Sejak bertugas di
RS Sitanala, R. V Hardjono berkesempatan untuk selalu bertemu dengan para pasien kusta di berbagai kota di
Indonesia. “Ini adalah pengalaman yang paling berkesan saat program The Leprosy
Mission ini dilaksanakan saya selalu
menjadi utusan ke daerah untuk melaksanakan program Putri Diana ,’’ ungkapnya.
Hidup
sosial
Kehidupan sosial
yang dijalani tak lepas dari tantangan yang dihadapi R. V Hardjono ketika
merasa kebutuhan tercukupi ia perlu melakukan sesuatu. Menyadari bahwa hidupnya
tidak lepas dari kasih Tuhan, Hardjono mengumpulkan beras, minyak goreng, telur
dan kebutuhan pokok lainnya untuk memberikan kepada tetangga yang paling
membutuhkan. Ia melakukannya dan tanpa ada kompleinan. Tapi selanjutnya aksi
yang dilakukan Hardjono mendapat imbauan dari aparat kelurahan desa,
kecamatan setempat maka ia tidak
melakukannya lagi.
‘’Sekitar dua
tahun saya melakukan baksos, memberikan kepada waga yang kurang mampu tapi
setelah itu ditegur dari aparat kelurahan dan kecamatan. Maksudnya kalau
melakukan baksos perlu melakukan kordinasi dengan aparat desa dan kecamatan, ikut melibatkan
mereka,’’ kisah umat paroki St
Gregorius Agung, Kutabumi, Tangerang itu
.
Tentang pekerjaan
yang dilakukan sebagai perawat RS Sitanala, Tangerang tidak lain adalah Rahmat
Tuhan baginya. Ia meyakni bahwa semua pekerjaan yang dilakukan, pengalaman yang
dilewati semata-mata karena penyertaan kasih Tuhan dalam kehidupannya. “Saya
merasa bahwa Tuhan yang memelihara, melindungi dalam tugas sebagai perawat
selama bertahun-tahun’’ungkap Hardjono yang
mulai purna tugas di Sitanala, 2004.
Dukung
RS Kusta
Pasca meninggalnya
Putri Diana program The Leprosy Mission tak lagi dilaksanakan maka pemerintah
Indonesia yang kala itu Depkes RI, meninjau kembali program bantuan. Suatu
ketika ada satu tim dari Depkes mengadakan rapat bersama dengan seluruh
karyawan RS Sitanala. Dalam pertemuan itu diajukan pertanyaan oleh pihak
Depkes, ”Mau dibawa ke mana rumah sakit ini. Pemerintah tidak kuat lagi
mengoperasikan rumah sakit. Apakah RS Kusta Sitanala Tangerang ditutup,
fasilitasnya dijual atau kah dibakar ?Hal ini karena tidak ada lagi biaya
operasional yang menunjang berjalannya RS Kusta karena Lady Diana telah tiada
karena kecelakaan maut itu. Waktu itu
Hardjono meminta waktu untuk bicara di depan seluruh rapat. Ia
mengusulkan RS Kusta Sitanala dikelala dengan swadana. Artinya kegiatan tidak
lagi tanpa bayar tapi setiap pasien harus membayar sejumlah uang untuk
operasional rumah sakit tersebut.
Dikatakan selama
ini pasien kusta mendapat pelayanan spesial.Artinya selama ini pasien kusta
bukan hanya memperoleh kesembuhan tapi juga mendapatkan barang kebutuhan dasar
lainnya diterima gratis dari rumah sakit. Maka untuk menghindari penutupan
rumah sakit kusta, setiap pasien yang datang menggunakan jasa rumah sakit maka
dikenakan biaya. “Jadi tidak ada yang gratis tapi semua pasien yang datang
berobat harus membayar,’’ katanya.
Usulan R. V. Hardjono
itu menjadi keputusan yang diterima dalam rapat sehingga dilaksanakan oleh
Rumah Sakit Sitanala, hingga saat ini. Mulai saat itu pihak Direktur RS
mengeluarkan kebijakan bahwa setiap pasien kusta yang datang berobat di
Sitanala , Tangerang dikenakan biaya seperti pelayanan rumah sakit pada
umumnya. Buktinya kebijakan RS Kusta seluruh Indonesia melakukan hal itu,
hingga saat ini. Kalau bukan seperti itu kemungkinan semua rumah sakit kusta Indonesia umumnya
ditutup karena tidak ada lagi biaya bantuan dari Lady Diana.
Derita
Pengalaman
bersosilisasi bukan tanpa derita. Pengalaman sekitar dua tahun lalu, rumah
milik Hardjono digasak maling. Satu unit
laptop, sejumlah uang dan barang berharga lainnya di dalam kamar digasak
maling. Hardjono sedang tidak berada di rumah. Saat keajadian hanya ada
istrinya ada di kamar sedang tidur. Peristiwa itu diketahuinya lewat jaringan CCTV yang dipasang di
rumahnya.
Tidak hanya itu,
pengalaman yang juga terjadi dua tahun lalu, sopir pribadinya menabrak mobil
milik orang lain yang membuat Hardjono mengganti kerugian sebesar 30-an juta
rupiah. Sopir itu kemudian diberhentikan karena ditengarai ada kerja sama
dengan korban yang ditabraknya. Hardjono akhirnya pasrah dengan
kejadian-kejadian yang memilukan itu . Pada akhirya ia menyadari bahwa harta, kekayaan yang dimiliki itu hanya
titipan Tuhan, semua akan punah.
R. V Hardjono kini
telah purna tugas, saban hari ia menanti pasiennya yang datang menggunakan
jasanya berobat. Kini klinik yang diberi nama “Bidan Ning” itu - - melayani dengan setia setiap pasein yang
datang. Klinik dibuka sejak 1992 menjadi medan pelayanan di bidang kesehatan
yang dilakoninya sejak bertugas di RS Sitanala.
Bagi masyarakat
yang menggunakan klinik pengobatan Hardjono selalu mengajukan pertanyaan.“Tahu
dari mana soal keberadaan klinik?Para pasien selalu mengatakan mendapat cerita
dari pasien lainnya yang menggunakan jasa pengbatannya dan selalu sembuh.Warga
yang menggunakan klinik sebagai sarana pengobatan rata-rata sembuh.Menurut
Hardjono pertanyaan itu sangat penting dijawab pasien sehingga sebagai bahan
untuk evaluasi dalam melayani.
‘’Saya perlu
mengajukan pertanyaan seperti itu karena bisa sebagai bahan mengevaluasi. Dan
untuk itu berguna untuk saya seberapa banyak kecendereungan masyarakat menggunakan
kliniknya,’’ kata pria kelahiran Lampung, 18 Mei 1948 ini.
Atas segala yang
diperoleh Hardjono tak lupa menyatakan syukur kepada Tuhan. Maka setiap malam
pukul 19.00 wib ia berkumpul bersama istri, puterinya, menantu dan tiga orang
cucu bersama –sama mendaraskan doa syukur atas segala yang telah diperoleh dari
cinta Tuhan. .**
Konrad R. Mangu
Keterangan foto:
R.V Hardjon berfoto saat menjadi pegawai di RS Kusta Sitanala,
Tangerang
0 Komentar