Unordered List

6/recent/ticker-posts

“Aku bagai rajawali yang dipotong sayapnya”

 

(Bagian keempat dari catatan perjalanan di Flores)

Pada tanggal 28 Desember 1933, Bung Karno dibuang ke Ende. Memang, ketika Bung Karno diasingkan ke Ende tentu membawa luka bagi Bung Karno, tokoh pemuda yang saat itu berusia 32 tahun, memiliki kharisma yang sangat berpengaruh. Tetapi di sisi lain, menjadi sebuah keberuntungan bagi orang Flores, khususnya orang Ende. Kita bisa membayangkan, andaikan Bung Karno tidak diasingkan di kota Ende maka Ende pasti kurang dikenal secara nasional.

Membaca salah satu buku yang ditulis Bung Karno, beliau pernah menulis bahwa “Aku bagai rajawali yang dipotong sayapnya.” Secara sepintas, kalimat ini memungkinkan pembaca untuk berefleksi mendalam tentang bagaimana upaya penjajah waktu itu untuk mengasingkan beliau di Ende, sebuah kota terpencil, jauh dari Jakarta. Dengan mengatakan bahwa seperti rajawali yang dipotong sayapnya, menggambarkan beliau tidak “bisa terbang lagi,” bahkan tidak punya pengaruh lagi terhadap Indonesia. Bisa dibayangkan waktu itu, di tahun 1933, seperti apa kota Ende saat itu? Bagaimana dengan jalur transportasi antar pulau saat itu?

Memandang Ende di masa lampau menjadikan bangsa penjajah waktu itu memberikan alasan yang kuat untuk menyingkirkan beliau. Ende menjadi tempat pengasingan, memutus mata rantai komunikasi antara Bung Karno dan sahabat-sahabat lain yang bergerak untuk melawan penjajah dengan ide dan gagasan. Namun di Ende saat itu, walaupun terpencil tetapi sudah ada imam-misionaris SVD (Societas Verbi Divini) dari Eropa yang bekerja pada daerah terpencil, yakni Flores. Di mata kaum penjajah dan mungkin juga orang-orang dari daerah lain bahwa Ende menjadi sasaran, tempat Bung Karno diasingkan dengan alasan terpencil, namun di mata orang Flores menjadi kota sejarah.

Ende menjadi kota sejarah karena pernah menjadi tempat dibuangnya Bung Karno dan juga di kota kecil ini dijadikan pusat media massa yang memberikan pengaruh pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Media massa yang bergerak saat itu dimotori oleh imam-imam SVD. Semangat para imam SVD untuk membangun literasi pada umat melalui media tetapi juga sebagai sarana pewartaan yang paling handal. Pusat provinsialat SVD Ende ada di kota Ende. Ende menjadi tempat untuk para imam SVD berkarya dan menjadikan kota itu sebagai pusat pekabaran Injil di Flores. Tidak hanya media cetak yang digerakan oleh imam-imam SVD untuk memberikan edukasi dan penyebaran iman tetapi juga muncul pusat percetakan Arnoldus yang menerbitkan buku-buku rohani Katolik.


Di Ende, Bung Karno bisa bertemu dan berdialog dengan imam-imam SVD yang umumnya berasal dari Eropa. Sentuhan dan dialog yang dibangun ini memberikan nilai tersendiri bagi Bung Karno. Bung Karno, dalam catatan sejarah lahirnya Pancasila, memulai perenungannya di kota Ende, kota Pancasila. Bung Karno, penuh kharismatik, tidak takut akan penjajah, mirip rajawali yang selalu terbang tinggi, tidak takut akan silau matahari.***(Valery Kopong)

 

Posting Komentar

0 Komentar