Oleh Noor Alfiyah
Setelah menginjak tahun ke sebelas pernikahan, kami baru
dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Kini anak kami
telah berusia 13 tahun. Setahun yang lalu, Isyana, putri kesayanganku itu lulus Sekolah Dasar
Negeri 1 Jati. Suamiku memutuskan pendidikan
lanjutan Isyana tanpa meminta pendapatku.
Masih terngiang dalam ingatanku, gadis kecilku, Isyana Larasati
sebenarnya tak ingin masuk pondok pesantren. Namun, suamiku selalu membujuknya
agar dia menjadi seorang hafizah.
“Ma, Isyana sudah kudaftarkan di Pondok Pesantren
Tahfidzul Qur’an di
Serang, Banten. Temanku yang mengasuh
ponpesnya di sana. Jadi, Isyana nanti SMP sambil
mondok.” Itulah pernyataan yang tak pernah kuduga sebelumnya dari suamiku, saat
Isyana lulus Sekolah Dasar.
Aku tidak bisa menolak keputusan suamiku, hanya linangan
air mata yang menetes membasahi pipiku. Dalam hati, aku belum ikhlas melepas
anak semata wayangku untuk jauh dariku. Sepuluh tahun kunantikan dia lahir ke
dunia ini, setelah dia beranjak menjadi gadis kecil yang lucu dan menggemaskan,
suamiku malah memisahkannya
denganku.
“Pa, aku pergi
kerja dulu ya,” pamitku pada suami.
“Iya. Hati-hati
di jalan, Ma.”
Kucium
punggung tangan suamiku sebelum kulangkahkan kaki menuju tempat kerja.
Aku mengajar di Sekolah Dasar Negeri 1 Jati. Selama enam tahun, aku selalu berangkat dan pulang bersama
gadis kecilku. Kini hatiku terasa sepi saat aku berangkat dan pulang kerja
tanpa putri cantik di boncenganku. Sepanjang jalan air mataku terus meleleh
bila teringat putriku yang kini jauh dariku. Isyana yang selalu bertanya
sepanjang jalan dengan lugunya.
“Ma, nanti kalau sudah besar, aku ingin menjadi guru
seperti Mama.”
“Oh,
ya? Kenapa ingin jadi guru,
Nak?”
“Iya, supaya aku bisa mengajar kayak Mama.”
“Gadisku yang menggemaskan dan penurut. Semoga menjadi
anak salehah dan cita-citamu tercapai,
Nak,” gumamku.
Kenangan manis itu masih membekas di pelupuk mataku.
Rasanya ingin sekali kuambil anakku dari pondok pesantren agar aku bisa tidur
bersamanya sepanjang malam.
Rasa sepi mulai mengusik hari-hariku. Aku lebih sering
menyendiri. Apalagi sejak di-PHK
dari pekerjaannya, suamiku
lebih sering memegang handphone-nya
daripada menghabiskan waktu berdua denganku. Hampir setiap hari kulihat suamiku
bermain game, nonton youtube, chat dengan teman-teman yang tidak kukenal, dan selalu pergi
nongkrong di angkringan seberang rumah
dengan bapak-bapak yang tidak kukenal. Semua itu
membuatku semakin tersiksa dengan keadaan yang menimpaku saat ini.
“Ma, hari ini masak apa?” tanya suamiku.
“Mama masak sayur sup, tempe goreng, dan sambal, Pa.”
“Aku bosan kalau tiap hari Mama masak seperti itu terus.Tempe, tahu, ikan asin!
Sini, aku minta duitnya buat
makan di luar!” teriak suamiku
dengan kasar.
“Kemarin Papa,
kan, sudah minta uang Mama, kok, minta uang lagi?”
“Kemarin udah habis buat beli rokok, nanti aku ganti
kalau aku udah dapat kerjaan lagi.”
Suamiku telah jauh berubah. Janji-janjinya tak pernah ditepati.
Dia dulu adalah lelaki idaman. Selain wajahnya yang tampan dan tutur sapanya
yang lembut penuh wibawa, dia juga sangat sayang kepadaku. Sejak dia kehilangan
pekerjaannya akibat PHK besar-besaran di masa pandemi, sikap suamiku menjadi
berubah 180 derajat. Ingin rasanya aku mengadu, tetapi aku tidak tahu, harus
mengadu kepada siapa.
Pernah suatu hari dia pulang larut malam, tercium bau alkohol dari
mulut dan bajunya. Dia langsung menginginkanku dengan kasar membuatku kesakitan
hingga akhirnya aku trauma
bila diajak berhubungan badan dengannya.
Untuk membunuh kesepianku, aku menyibukkan diri dengan
berjualan online shop seperti
teman-temanku. Aku belajar bisnis online
untuk menambah kebutuhan hidup dan biaya anakku di pondok pesantren. Bisnisku
semakin hari semakin berkembang pesat. Banyak pesanan baik pakaian maupun
barang-barang lainnya hingga
aku mengambil tabunganku di bank untuk menambah
modal
bisnis online-ku.
Sebenarnya
suamiku dulu pernah mengajar anak-anak mengaji di sebuah Madin. Namun, honor
yang didapat tidaklah cukup untuk membiayai kebutuhan hidup kami. Suamiku juga
tidak memiliki keterampilan untuk berwirausaha. Akhir-akhir ini dia sering mendapatkan
barang-barang antik seperti akik dari temannya yang berambut gondrong. Sejak
bergaul dengan orang-orang yang tidak kukenal, suamiku tak lagi taat beribadah
seperti dulu. Pengaruh dari teman-teman barunya dan efek PHK telah membuat hati
suamiku buta. Beban hidup telah membuatnya semakin jauh dari agama. Aku hanya
bisa berdoa agar suamiku kembali tersadar seperti dulu.
Ku-posting
setiap produk yang akan kujual di story
WA, FB, dan IG-ku.
Keuntungan yang kudapatkan lebih dari cukup dibanding gaji
sebagai guru honorer di SD yang sangat
kecil. Untunglah tahun ini aku diterima P3K. Mungkin juga berkat doa anakku
yang ada di pondok pesantren, setelah dua kali mendaftar P3K, akhirnya di
usiaku yang ke-44, aku bisa menjadi pegawai pemerintah P3K.
[Assalamualaikum,
Miss cantik] sebuah chatWA dari nomor
tak kukenal menghiasi layar handphone-ku.
[Waalaikum salam,
Kak. Maaf ada apa ya?]
tanyaku penasaran.
[Saya Bram.
Saya dapat nomor WA
Miss Vita dari FB. Bolehkah kita
berkenalan?]
[Maaf,
Kak, saya sudah punya suami] balas Vita.
[Saya tahu, Miss Vita sudah punya suami. Saya juga melihat foto
keluarga Miss Vita dengan suami dan putri Miss Vita yang cantik].
Akhirnya aku berkenalan dengan seorang lelaki yang
seumuran denganku. Lelaki yang bernama Bram. Bramastya Putra Pradita. Nama yang
bagus, setampan wajahnya. Dia adalah lelaki yang baik dan sangat perhatian kepadaku. Dia selalu
membeli baju dan produk-produk yang ku-posting
melalui storyWA-ku.
Bram selalu mengomentari statusku. Hampir setiap hari
Bram men-chat aku. Baik saat aku
mengajar maupun di rumah. Dia mulai berani mengungkapkan rasa sukanya
terhadapku. Banyak sekali rayuan manis yang kuterima melalui kata-katanya.
Ternyata selain tajir, Bram tergolong lelaki
romantis dan puitis.
Karakter Bram sangat jauh berbeda dengan suamiku yang tak
banyak kata. Bram orangnya supel, energik, dan banyak uang. Bahkan bila
transfer untuk beli baju dariku, uangnya selalu dilebihkan.
Lama-kelamaan hatiku mulai goyah. Kesetiaan yang kupertahankan selama hampir 23
tahun, sedikit demi sedikit mulai terkikis. Aku mulai berhalusinasi
membayangkan kebersamaan dengan Bram. Namun, aku belum mengenal lebih jauh
bagaimanakah sebenarnya lelaki yang bernama Bram.
Hari demi hari,
Bram yang penuh perhatian kepadaku
membuat hari-hariku menjadi indah seperti bunga-bunga yang sedang bermekaran.
Duniaku terasa berwarna bak pelangi selepas hujan. Aku seperti seorang gadis
yang sedang dimabuk cinta. Selalu ada senyuman dan canda tawa saat kami chating melalui handphone maupun IG.
Semakin hari bayangan Bram semakin melekat di hatiku.
Apalagi dipicu oleh suamiku yang kurang perhatian padaku.
Dia sekarang seorang pengangguran, padahal ijazah sarjana dikantonginnya. Dia
memang tipe lelaki yang kurang bersemangat dalam berusaha. Hubunganku dengan
suami pun semakin kurang harmonis, tak seperti dulu lagi.
“Say, ketemuan,
yuk!” ajak Bram di dalam panggilan suara.
“Ketemuan, Mas?” Aku terkejut. Aku tidak menyangka kalau
Bram ingin kopi darat denganku.
“Iya, aku ingin kita bertemu, Vit,” ungkapnya.
“Eemm
...
gimana ya,
Mas?”
“Besok sore aku ke kotamu, ya!”
***
Usai pulang kerja, aku yang masih memakai pakaian dinas
batik ungu melajukan motorku menuju sebuah mall yang
ada di Kota Kudus. Di sana Bram berjanji mengajakku bertemu. Dia yang beralamat di
Semarang jauh-jauh
datang ke Kudus hanya untuk menemuiku. Hatiku terasa tak menentu. Lelaki yang
selalu membayangi langkahku akan menemuiku.
Kuparkir motormatic
merah di depan sebuah mall
Aku segera masuk dan menuju Lambada di
lantai 5. Di Lambada suasananya tenang. Musik mengalun syahdu. Sejak aku
menikah dengan Ahmad, aku tak pernah lagi pergi ke Lambada, tempatku nongkrong
bersama teman-temanku semasa kuliah di Kudus dulu. Apalagi sejak aku memiliki
anak. Suamiku bukanlah tipe lelaki yang suka nongkrong di mall atau
di kafe-kafe. Dia lebih suka jajan di warung soto dan makan di rumah
makan Padang.
Aku memilih duduk di kursi yang ada di pojok ruang ber-AC.
Kulihat jarum jam di arlojiku. Waktu
telah menunjukkan pukul tiga sore.
Kubuka layar ponselku.
Kubaca lagi chat dari Bram. Hatiku
semakin gelisah menanti
kedatangannya. Sepuluh menit berlalu aku menunggu kehadirannya. Kupesan orange juice pada seorang pelayan
Lambada.
“Jangan-jangan dia belum tahu tempat ini. Tapi katanya
dia sering mampir ke sini,” bisikku.
Aku mencoba menghubunginya. Namun, rupanya kirimanku masihcentang satu.
Aku semakin gelisah. Berkali-kali aku memandang ke arah
pintu masuk yang terbuat dari kaca. Dari kejauhan kulihat sesosok wajah yang
pernah kukenali lewat foto dan video
call. Lelaki bertubuh atletis dengan cambang dan kumis tipis. Dia sedang
berjalan ke arahku.
“Assalamualaikum, selamat sore, Betul ini Vita?” Bram
mengulurkan tangan.
“Iya ... betul. Mas Bram?” tanyaku
balik.
Dia melempar senyuman manis ke arahku. Rupanya Mas Bram
adalah seorang lelaki tampan yang kaya. Kulihat dari penampilan dan
barang-barang yang melekat di tubuhnya. Arloji, sepatu, baju yang dikenakan
semuanya branded.
Mas Bram duduk di dekatku. Dia memanggil seorang pelayan.
Pelayan membawakan selembar kertas bermika.
“Vita mau makan apa?”
“Terserah Mas Bram saja,” jawabku kebingungan karena sudah lama
aku nggak pernah makan di Lambada.
“Baik, Rib Eye Steak sama Flat Iron Steak. Minumnya orange juice aja 2,” ucap Mas Bram kepada pelayan.
“Maafkan aku.
Sudah lama menunggu, ya?”
“Oh, enggak, kok. Hanya 15 menit.”
“Tadi jalanan macet.”
“Iya,
Mas, eggak apa-apa, kok.”
Kami mengobrol
berdua di sudut ruangan. Musik klasik terdengar sangat romantis. Kulihat
tatapan mata Bram yang lembut. Dari cara dia memandangku, aku tahu dia memang
jatuh cinta kepadaku.
Perlahan tangan Bram menggenggam jari-jemari tanganku yang mulai mendingin. Di
arahkannya tanganku ke dadanya.
“Vita, coba rasakan detak jantungku.” Bram menatapku
dengan mesra.
“Iya,
Mas,” jawabku sembari tertunduk malu.
Perlahan dia menarik tanganku hingga tubuhku semakin
dekat dengan tubuhnya. Aku membiarkan tangannya memeluk punggungku. Kurasakan
dekapan hangat yang penuh kelembutan dari Bram. Sesaat mataku terpejam
menikmati sentuhan-sentuhan lembut yang membawaku melayang. Kami terbuai dalam
angan yang selalu kuimpikan.
Aku pun terperanjat saat Bram mulai memintaku lebih.
Kudorong tubuhnya yang membuat dirinya melepaskan pelukan.
“Maaf,
Mas, aku tidak bisa. Aku punya suami.” Bram hanya tersenyum menatapku.
“Aku tahu kalau kamu punya suami, aku juga tahu kalau
kamu sudah memiliki seorang anak. Tapi salahkah aku mencintaimu, Vit?”
“Tapi …”
“Tapi apa?” Bram memotong ucapanku.
“Aku akan berdosa kalau aku melakukan semua ini, Mas.”
“Vit, kamu butuh kebahagiaan, kan? Aku juga butuh
bahagia. Apa salahnya?” bujuk rayu Bram membuatku tak berdaya.
Sesaat kemudian, Bram mengajakku jalan-jalan ke mall di lantai tiga. Dia
membelikanku banyak baju dan juga perhiasan. Dia memilihkan cincin dan kalung
berlian untukku.
“Vit, kamu suka ini? Coba
kupakaiakan di lehermu.”
Aku mengikut saja apa yang dikehendaki Bram. Perhiasan
mahal yang mungkin bisa kudapatkan dengan gajiku 10 tahun bekerja, kini
melingkar di leherku. Lelaki yang kukenal lewat media sosial ini ternyata
serius ingin meng-khitbah-ku
“Mas, sudah malam.
Aku pulang dulu,
ya.”
“Aku mau menginap di hotel. Kamu ikut menginap, ya, Vit!” pinta Bram.
“Enggak, Mas, aku mau pulang. Nanti suamiku
mencariku.”
“Baiklah. Lain
kali kita bertemu lagi ya.”
Kujabat tangan Mas Bram. Aku segera
meninggalkannya, menaiki motorku dan menembus kegelapan malam. Mas Bram pun
telah menuju hotel tempatnya menginap dengan Honda Jazz-nya.
Sesampai di rumah, ternyata suamiku belum pulang. Aku
tidak tahu, entah ke mana dia seharian saat kutinggalkan. Kadang dia kutinggal
kerja masih dalam keadaan tidur. Kadang dia pun pergi seharian tanpa kabar.
Bahkan dia juga jarang membuka chat WA
dariku.
Kubersihkan tubuhku dan aku mulai membuka barang
belanjaanku. Baju-baju yang dibelikan Mas Bram bagus-bagus dan mahal-mahal.
Juga kalung emas dan cincin berlian yang melingkar di jari manisku. Semuanya
terasa indah saat aku mengingat kebersamaanku
bersama Mas Bram.
Tiba-tiba ponselku
berbunyi. Kubuka pola yang ada layar.
“Mas Bram Video
Call,” bisikku.
“Assalamualaikum,
Vita.” Suara Mas Bram membuatku
tak berdaya.
“Waalaikum salam,
Mas.” Aku gugup memandang wajahnya yang lembut.
Kulihat Mas Bram di kamar hotel dengan telanjang dada.
Dia menampakkan tubuhnya yang atletis. Dia tersenyum manis kepadaku.
“Vit, aku kangen kamu,” ucapnya.
“Kan,
kita baru saja ketemu tadi,
Mas.”
“Vit, bagaimana bajunya? Pas enggak
di badan kamu? Kamu
suka?”
“Pas,
Mas. Makasih ya, Mas.”
“Iya,Vit. Kalau kamu perlu
apa-apa, kamu tinggal bilang saja.”
“Iya, Mas.”
Terdengar pintu kamarku terbuka. Suamiku pulang dalam
keaadaan mabuk. Dia melihatku sedang video
call dengan Mas Bram.
“Siapa yang menelepon kamu, Vit!” gertak suamiku.
“Teman kantor,
Pa,” jawabku sekenanya.
“Coba lihat, mana orangnya?” Aku buru-buru mematikan
layar ponselku. Rupanya suamiku
tidak suka aku ditelepon oleh orang.
Seperti biasanya, suamiku menginginkanku dengan kasar.
Mulutnya pun bau alkohol. Aku tak berdaya menolak kemauannya. Kelembutan yang
dulu kudapatkan kini telah tiada lagi.
***
Mentari telah tampak sebagian di ufuk timur, cahayanya
menelisik dedaunan rindang di teras
depan rumahku. Pukul 06.15 aku bersiap berangkat ke kantor. Kulihat suamiku
masih menutupi tubuhnya dengan selimut. Dia sangat susah bangun pagi sejak
tidak bekerja di kantor. Aku telah menyiapkan sarapan pagi sebelum berangkat
bekerja.
Sesampai di kantor, aku melakukan aktivitasku seperti
biasa. Mengajar siswa kelas V SD Negeri di Kabupaten Kudus. Pada saat
istirahat, aku duduk di kantor. Tiba-tiba sekuriti
mengabarkan
katanya ada seorang tamu yang akan menemuiku. Aku segera beranjak dari tempat
dudukku menuju ruang tamu sekolah.
Di sana kulihat lelaki berjaket kulit dan mengenakan
topi. Hatiku tersentak kaget.
“Mas Bram.” Lelaki itu menoleh dan tersenyum padaku.
“Ibu Guru Vita yang cantik,” candanya.
“Mas, kenapa datang ke sini? Kita, kan, bisa bicara lewat
telepon,” ucapku.
“Aku hanya ingin tahu tempat kerjamu. Boleh, kan?”
“Iya, tapi …”
“Tapi apa?” sergahnya.
“Aku enggak
enak sama teman-teman guru. Nanti dikiranya ...”
“Oke, oke....Aku
hanya sebentar,
kok. Aku mau balik Semarang, jadi aku sempatkan mampir ke sini berpamitan
padamu.”
“Oh,
gitu. Baiklah, Mas.”
Kami mengobrol
sebentar karena jam istirahat sudah habis. Mas Bram menggenggam dan mencium
tanganku sebelum meninggalkanku.
Hari demi hari, perasaan cintaku kepada Mas Bram semakin
tumbuh subur. Dia sangat perhatian kepadaku,
bahkan dia sering membantu keuangan untuk anakku yang ada di pondok pesantren.
Kudengar kabar dari tetangga kalau suamiku sering pergi bersama mantan pacarnya
ketika aku sedang bekerja.
Dyah, wanita yang memiliki rumah konveksi itu rupanya
masih mengharapkan suamiku. Dyah telah gagal menikah dan bercerai dengan
suaminya. Kabar burung kedekatan Dyah dengan suamiku semakin gencar. Rupanya Dyah memang
masih cinta pada suamiku.
Kini aku hanya bisa pasrah kepada Allah. Rumah tanggaku tak dapat
kupertahankan lagi karena suamiku yang telah berubah. Di sisi lain, ada lelaki
yang baik hati dan sangat mencintaiku bahkan mau menerimaku apa adanya. Aku tak
berdaya dalam dilema hati ini.
****
2 Komentar
Alhamdulillah, Makasih Pak Konradus Mangu dan segenap redaksi 🙏🙏
BalasHapusSaya ikut baca lho ustazah....kopi mana?
BalasHapus