(Bagian kedua cari catatan perjalanan di Flores)
Menelusuri perjalanan, mulai dari kampung menuju Larantuka sampai dengan Maumere, sepertinya memburai kesadaranku tentang kisah perjalanan hidupku. Berada di tempat yang sudah lama saya tinggalkan dan ketika kembali menginjak pada titik yang sama, ingatanku tentang masa lalu tak pernah pudar. Ada perjalanan, ada kisah dan kini bisa dikenang kembali. Proses untuk mengenang kembali kisah ini harus melewati onggokan waktu. Hampir dua puluhan tahun saya tidak menjejali kembali kisah lama, terutama tentang perjuangan saat mulai mengenyam pendidikan di beberapa tempat di Flores.
Ketika mulai melakukan perjalanan dari Larantuka menuju Maumere, ada titik henti untuk melihat dari jauh Seminari San Dominggo Hokeng, tempat saya belajar dulu semasa SMA. Waktu itu di tahun 1990, saya dan beberapa teman masuk ke seminari yang letaknya di bawah kaki Gunung Lewotobi yang berdiri megah. Empat tahun saya menghabiskan waktu untuk belajar di seminari menengah itu. Ketika melewati gerbang seminara saat liburan kemarin, sepertinya ada kisah lama terlintas dalam ingatanku. Mengenyam pendidikan di seminari menengah San Dominggo Hokeng, saya sendiri mengalami banyak tantangan. Tantangan pertama menyangkut keuangan dan tantangan terberat adalah mengalami sakit lumpuh pada saat duduk di bangku Kelas Persiapan Bawah (KPB).
Selain wilayah Hokeng yang membuka memori kesadaranku tentang masa lampau, tak kalah menarik juga ketika memasuki kota Maumere. Cukup lama mengenal kota Maumere yang sering dijuluki sebagai “Athena-nya Flores” karena hanya di kota kecil ini ada ruang demokrasi bisa tumbuh secara baik. Kota Maumere sepertinya tidak pernah sepi karena berada di tengah jalan yang menghubungkan beberapa kabupaten sedaratan Flores.
Ketika mobil yang aku setir sendiri dari Boru menuju Maumere, hampir kehabisan bahan bakar maka kami mampir di SPBU untuk mengisi pertalite. Mengisi pertalite, mengisi energi baru untuk memulai kembali perjalanan dari Maumere menuju Ende, kota bersejarah itu. Setelah melewati kota Maumere, tak lama kemudian, dari kejauhan kampung Ribang, terlihat jelas Seminari Tinggi Santo Paulus yang bertengger di atas bukit, tempat matahari bersandar itu. Memandang bukit Ledalero dari kejauhan, sepertinya memandang “memori masa lampau” yang tak lekang oleh waktu yang terus menggilas. Di bukit itu kami belajar tentang “Philosophia,” cinta akan kebenaran.
Dengan
belajar filsafat sebagai pijakan dasar untuk berpikir, namun juga merangsang
kesadaran untuk terus gelisah ketika berhadapan dengan dunia sekitar. Memandang
bukit Ledalero yang kini mulai menata diri, mengingatkanku akan peran besar
para dosen atas diriku. Berada di dekat bukit Ledalero itu, aku teringat akan
Metafisika dan Epistemologi, dua mata kuliah yang menguras energi dan konsentrasi
saat kuliah. Dengan belajar filsafat, aku terus membangun kesadaran diri dan
berpikir kritis ketika berhadapan dengan realita kehidupan.***(Valery Kopong)
0 Komentar