Unordered List

6/recent/ticker-posts

Salahkah ?

 


Cerita Pendek : Noor Alfiyah


Rona jingga telah berpendar di ufuk barat, perlahan hilang ditelan ujung langit. Gelap menyapu dengan merata. Suara sigasir seakan berpesta ketika menyaksikan lampu-lampu jalanan telah menyala. Udara dingin perlahan mulai menyusup ke tulang-tulangku dalam perjalanan pulang ke rumah.


“Assalamualaikum.” Kuketuk pintu rumah yang sedikit terbuka.

“Waalaikum salam, jam segini baru pulang, Mas? Ke mana saja? Ke rumah mantanmu?” Iriana segera memberondong pertanyaan yang membuat badanku makin lelah.

“Suami pulang bukannya disambut, eeh … malah dituduh yang enggak-enggak.”

“Suami? Masih ngaku suami kamu, Mas? Kapan kamu menafkahiku? Sudah hampir 10 bulan kamu enggak pernah ngasih uang ke aku, masih ngaku suami juga!” Iriana memperlihatkan wajah judesnya. Suaranya tajam menusuk jantungku. Rasanya pedih setiap kali dia memojokkan ketidakberdayaanku memberikan nafkah lahir kepadanya.


Aku terdiam, aku segera berlalu dari hadapan istriku. Aku tak ingin berdebat dengannya. Kulihat dia telah bersiap dengan dandanan menornya. Dres seksi terbelah tengah, heels merah setinggi 10 cm, dan tas kecil menyelempang di pundaknya. Rambutnya yang pirang bercat kuning keemasan panjang terurai. Dia berlalu tanpa menjabat tanganku. Kebiasaan mencium punggung tanganku hanya dilakukan sepanjang 2 bulan seusai pernikahan kami. Selebihnya dia menganggap hal itu tak penting lagi baginya.


Aku hanya bisa memandang istriku yang bersiap pergi ke Mini Kafe Karaoke. Sebelum menikah denganku, dia memang telah bekerja di sana. Aku yang kecanduan pergi ke tempat karaoke berkenalan dengannya. Hanya tiga bulan kami berpacaran, dia minta langsung dinikahi karena takut hamil. 


Dia adalah seorang janda beranak satu. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya seksi. Itulah yang membuat benteng pertahananku runtuh di hadapannya. Aku sangat mencintai kecantikan wajahnya dan kemulusan tubuhnya. Aku sangat bangga bisa memamerkan istriku yang cantik di hadapan teman-temanku.


Dia pernah berjanji akan berhenti dari pekerjaannya sebagai PK (pemandu karaoke) setelah menikah denganku. Namun kenyataannya, Iriana tidak pernah menepati janji-janjinya. Setelah pernikahan kami berjalan hampir lima bulan, dia kembali lagi ke dunia malam menjadi PK di tempatnya bekerja dulu bersama Watik, perempuan yang memperkenalkanku dengan Iriana waktu itu.


Deru honda jazz warna metalik telah meninggalkan garasi rumah. Aku hanya bisa terpaku memandang laju mobil yang dikendarai istriku pergi dengan pandangan lesu. Aku hanyalah seorang kaur desa, seorang kepala urusan di kelurahan. Gaji yang kudapatkan tak sebanyak para koruptor seperti yang diinginkan istriku sehingga aku tak mampu mencukupi kebutuhannya yang bergaya hidup mewah. Dia memutuskan untuk kembali bekerja di dunia malam tanpa aku bisa mencegahnya.


Istriku telah melanggar kesepakatan kami sebelum menikah. Waktu itu dia pernah berjanji akan berhenti sebagai PK setelah menikah denganku. Kami akan hidup berumah tangga dengan sederhana di kampungku. Tinggal di rumahku dan menemaniku sebagai Ibu Kaur di desaku.


Parahnya, istriku selalu menuduhku masih menyimpan perasaan pada mantan pacarku. Mantan pacarku Kerlin Safitri, yang tinggal satu desa denganku kebetulan rumahnya berdekatan dengan kantor balai desa tempatku bekerja, membuat istriku selalu merasa cemburu saat aku pulang terlambat dari tempatku bekerja.


Setelah membersihkan badan, aku menuju ke ruang makan. Kubuka tutup saji di meja makan. 

“Tak ada masakan,” gumamku. 


Rupanya seharian istriku tidak memasak untukku. Kulihat di tempat cuci piring, ada 2 mangkuk kotor bekas mie instan dan dua gelas kopi. Rupanya istriku tadi siang menerima tamu. Aku duduk di kursi ruang makan. Kuperhatikan asbak yang tergeletak di meja. Ada beberapa puntung rokok dengan merek berbeda dari yang biasa diisap istriku. Kebiasaan merokoknya pun tak dapat dihentikan meskipun dia sudah menikah denganku. Mungkin itulah yang membuatnya belum juga hamil hingga pernikahan kami telah hampir setahun.

Hampir setiap malam kegelisahan hatiku terus mengguncang. Aku membayangkan tangan kekar lelaki menjamah tubuh istriku di kafe karaoke itu. Lalu mereka tersenyum dan berangkulan, lalu dansa bersama di bawah gemerlapnya lampu seperti yang pernah kulakukan dulu ketika aku sering mendatanginya. Hatiku semakin resah ketika malam kian sunyi. Kupandangi foto pernikahan kami yang tertempel di dinding kamar.


“Mas, fotonya aku bingkai ya?” 

“Iya, terserah adik saja.” 


Percakapan itu seakan-akan masih terngiang di telingaku. Aku menyerahkan semua urusan rumah tangga kepadanya. Mulai dari menata rumah sampai segala keperluan rumah tangga. Gajiku sebagai kaur di desa semua kuberikan kepadanya. Aku hanya mengambil sebagian untuk kubelikan rokok yang telah menjadi kebiasaanku sejak masih SMP.


Ayahku pernah melarangku merokok semasa hidupnya. Namun, aku tak pernah mengindahkan nasihat ayah. Aku adalah anak pembangkang. Karena kekerasan hatiku, ayah dan ibuku selalu bertengkar setiap kali aku terkena masalah di sekolah. Guru BK, Bu Kesya berkali-kali memanggil orang tuaku hingga mereka malu pada saudaraku yang juga sebagai pengajar di sekolahku.


Ketika aku masih memiliki kedua orang tua. Hidupku serba berkecukupan. Aku selalu dimanja oleh mereka sehingga membuat hidupku salah arah. Ibuku selalu memberikan uang saku lebih untukku sehingga aku selalu bermain ke tempat-tempat yang berbau maksiat, meskipun sudah berulangkali diingatkan oleh kedua orang tuaku. Aku masih sering mengonsumsi minuman beralkohol dan tak dapat berhenti dari kecanduan rokok. 


Kini aku sangat merindukan nasihat ayah dan ibuku. Namun ayah dan ibuku telah dipanggil Allah. Ibuku meninggal karena stroke. Setahun kemudian ayahku pun menyusul Ibu karena terkena serangan jantung. Kini kehidupan rumah tanggaku serasa dalam bayang-bayang kelabu. Kehidupan malam yang digeluti istriku membuat hidupku serasa dalam panasnya api neraka. Kadang aku sempat berpikir apakah Iriana bukan jodoh yang dipilihkan Tuhan untukku. Aku hanya bisa berdoa dan berharap semoga Iriana akan berubah menjadi seorang istri yang salehah dan melahirkan anak-anak yang saleh-salehah seperti dalam angan-anganku.


Pukul 03.30 dini hari, aku terbangun mendengar suara mobil Iriana yang diparkir di garasi rumah. Seperti biasa dia tak perlu mengetuk pintu untuk kubukakan. Dia telah membawa kunci serep rumah agar bisa keluar masuk rumah tanpa harus mengganggu tidurku. Kuperhatikan dari balik selimut, dia meletakkan tas, arloji, dan menghapus make up tebal yang melekat di wajahnya. Dia menuju ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan berganti baju tidur. Lalu dia membaringkan tubuh di sampingku.


“Dik, kamu ngantuk, ya?” Aku mengusap lembut tangannya.

“Ya ngantuklah, hari ini banyak tamu yang minta kunyanyikan lagu baru.”

“Mas pengen, Dik.” Kupeluk tubuhnya dari belakang.

“Jangan hari ini, aku lelah, Mas.”

“Tapi as menginginkanmu malam ini, Dik.”

“Aku capai, Mas Rendi, besok saja.”


Dia segera menarik dan menutup sebagian tubuhnya dengan selimut. Kulepaskan perlahan pelukan tanganku. Aku terdiam menatap langit-langit kamar yang tampak kelam. Lampu tidur yang kunyalakan seakan-akan sinarnya telah redup seiring penolakan istriku yang kesekian kali dengan alasan yang sama. 


Di luar sana dia selalu berbagi manja dan senyuman kepada lelaki-lelaki yang berduit. Sedangkan di depanku, dia tak lagi memberi perhatian seperti ketika kantongku masih tebal. Entah sampai kapan bahtera rumah tangga ini akan melaju dengan semestinya. Terlalu berat badai kehidupan yang menyeret kapal ini. Aku sebagai nakhoda tak mampu lagi mengarahkan angin kencang yang bertiup mengguncangkan kehidupan rumah tangga kami.

Azan Subuh berkumandang dari musala di depan rumah. Aku terbangun dan segera mengambil air wudhu.


“Dik, bangun … ayo kita salat berjemaah.”

“Heeem ….” Iriana bergeming dalam posisi tidurnya. 

“Dik, aku ke musala salat dulu, ya.” Kuambil peci hitam di sudut meja. Kukenakan sarung putih kado dari temanku. Aku keluar dari kamar menuju musala. 


Sepulang dari musala kulihat isriku belum beranjak dari tempat tidur. Dia seolah-olah tak memiliki kewajiban untuk menjalankan ibadah salat. Sebagai suami, aku pun tak berdaya mengatur istriku yang hidup sesukanya. Aku segera ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan berangkat bekerja. Istriku belum juga bangun meskipun sinar matahari telah menembus tirai jendela kamar. 


“Dik, aku berangkat kerja dulu, ya.”

“Ya, nanti kalau pulang bawa uang yang banyak. Jangan bawa badan saja. Aku dah bosan. Aku pengen shopping, healing, traveling sama temen-temenku.”


Aku melangkah meninggalkan rumah menuju tempat kerja dengan hati yang tak menentu. Salahkah aku memilih pasangan hidup?


(Cerita ini hanya fiktif belaka)

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Alhamdulillah, terima kasih cerpen saya sudah dimuat di sini.

    BalasHapus