Media sosial hari ini memposting foto orang tuanya Brigadir J yang menghadiri wisuda Brigadir J di Universitas Terbuka-Tangerang Selatan. Dengan hadirnya ayahanda alm. Brigadir J, publik seperti diingatkan kembali bagaimana perjuangan seorang alm. Brigadir J yang berusaha kuliah pada fakultas hukum di tengah kesibukannya sebagai seorang polisi. Walau kini, ia telah beralih dari dunia ini, perjuangannya tetap dikenang oleh keluarga. Kematiannya begitu tragis dan masih menjadi misteri, apa motif di balik pembunuhan itu, namun namanya Brigadir J tetap menggema dan menjadi pintu masuk membuka tabir ketidakberesan dalam tubuh kepolisian Republik Indonesia.
Beberapa pegiat media sosial menempatkan posisi alm. Brigadir J sebagai “martir” yang kematiannya tidak sia-sia tetapi berharga di mata Tuhan. Mengapa kematiannya menjadi berharga di mata Tuhan? Ia berharga karena telah ditebus oleh Kristus dengan darah-Nya di kayu salib. Dalam peristiwa kematian Brigadir J, sepertinya mengingatkan kita akan pengalaman Getzemani yang tidak lain adalah taman pergulatan bagi Yesus Sang Guru. “Ya Bapa, kalau mungkin, biarlah piala ini berlalu daripada-Ku tetapi bukan atas kehendak-Ku, melainkan atas kehendak-Mulah yang terjadi.” Rangkaian doa yang diucapkan oleh Yesus ketika berada di taman Getzemani, menyiratkan sebuah pengalaman kesendirian, pengalaman kegalauan ketika berada pada ujung eksekusi diri-Nya.
Para ekseget mencoba membahasakan saat-saat kritis yang dialami oleh Yesus itu dengan melukiskan bahwa peluh-Nya keluar seperti titik-titik darah. Membaca pesan penting dari peristiwa taman Getzemani ini mengungkapkan sebuah ketakutan yang luar biasa dan memperlihatkan kemanusiaan Yesus, Ia takut dan gelisah. Namun peristiwa ini menjadi penting bagi kita bahwa Yesus tetap bertahan untuk menunjukkan kesetiaan pada Allah yang telah mengutus-Nya dan juga memperlihatkan kecintaan-Nya pada manusia.
Tulisan
ini tidak menyamakan Brigadir J dengan Sang Guru tetapi ada kemiripan
pengalaman pergulatan ketika berhadapan dengan maut. Kalau Yesus masih
menjalani jalan sengsara yang dipertontonkan pada ruang publik, sementara Brigadir
J hanya sendirian berhadapan dengan sikap kejam dari para eksekutor. Beberapa informasi
yang beredar bahwa Brigadir J sudah meminta ampun dan bersujud di hadapan
eksekutor, namun suara lirihnya itu tidak didengarkan. Brigadir akhirnya ditembak
dan mati bersimbah darah. Dalam hidupnya, Brigadir J pasti belajar banyak dari
pergulatan Sang Guru, yakni Yesus yang menderita untuk seluruh manusia. Kini Brigadir
J sudah berjumpa dengan Yesus yang diimaninya.***(Valery Kopong)
0 Komentar