Unordered List

6/recent/ticker-posts

Narasi Politik

 

Beberapa hari terakhir ini terjadi polemik antara para politisi terkait pernyataan AHY. Pernyataan- yang lebih pada bias tafsir itu, mengundang para pengamat untuk bisa menyoroti dan menganalisa apa makna di balik pernyataan itu. Pernyataan AHY ini  mengundang reaksi dari PDIP. Dilansir dari Tribunnews.com,  AHY berkata hampir seluruh proyek yang diresmikan Jokowi merupakan proyek yang dibangun di era SBY.

Memaknai pernyataan di atas yang disampaikan AHY dalam rapimnas Partai Demokrat, merupakan sesuatu yang biasa. Barangkali AHY melihat kesinambungan pembangunan antara pemimpin terdahulu dengan pemimpin yang sedang berkuasa saat ini. Pembangunan berkelanjutan butuh proses panjang dan karenanya tidak hanya diselesaikan pada satu era kepemimpinan. Sebagai contoh, pembangunan jembatan Suramadu, Ground Breaking dilakukan pada era Megawati Sukarno Putri dan dikerjakan pada era SBY.

Lalu apa yang salah dengan pernyataan AHY? AHY lebih jauh menilai bahwa pembangunan di  era Jokowi hanya “menggunting pita” dan pernyataan inilah yang menimbulkan kontroversi dan disoroti oleh partai yang sedang berkuasa ini. Mungkin terlalu berlebihan pernyataan “menggunting pita” namun harus diakui bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) yang saat ini dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi merupakan warisan program SBY, yang dulu ditentang juga oleh kelompok-kelompok tertentu. 

Sebagai ketua Partai Demokrat, wajar saja AHY memberikan pernyataan pada rapat formal tetapi menjadi kurang elok ketika menyoroti pemerintahan saat ini yang “menggunting pita” yang mengisyaratkan pelanjutan program terdahulu. Banyak pengamat politik menyayangkan pernyataan ini karena tidak memiliki dasar yang kuat. Karena itu dalam sebuah dialog di salah satu TV swasta, Adian Napitupulu, menyoroti apa yang dikatakan oleh AHY ini sebagai sesuatu yang tidak mendasar. Bagi Adian Napitupulu, ketika menyoroti jalannya sebuah pemerintahan dengan program-programnya, mestinya berbicara berdasarkan basis data. Di sini, memiliki data menjadi penting, karena hanya berbasis data, bisa terlihat akurasi kebenaran sebuah fakta yang sedang disoroti itu. Bicara tanpa data, secara tidak langsung dituntun untuk masuk pada ruang ketidakpastian.

Mengapa dalam berbicara dan bahkan membuat sebuah pernyataan di depan publik harus mempunyai data yang akurat? Karena hanya dengan data, menjadi batu pijak untuk mengkonstruksi sebuah bangunan pernyataan. Tanpa data, seseorang kehilangan pijakan atau lebih sering disebut “asal ngomong.” Sebagai seorang politisi, dua hal yang harus diperhatikan, yakni pertama, bisa berbicara dan kedua, memiliki dompet yang tebal (banyak duit). Menjadi seorang politisi berarti harus bisa berbicara di depan publik karena kehadirannya menjadi penyambung aspirasi masyarakat. Kegelisahan seorang politisi bisa mencerminkan kegelisahan publik dan juga sebaliknya, kegelisahan publik mencerminkan kegelisahan politisi.

Merujuk pada pernyataan AHY ini hampir sebagian besar menyayangkan karena mengingat bahwa sebagai ketua umum Partai Demokrat, harus memberikan narasi-narasi yang konstruktif. Kegelisahan sebagian masyarakat akan pernyataan di atas bisa memberikan dampak yang kurang baik bagi perjalanan karir politik seorang AHY. Di sini, masyarakat bisa menilai bahwa AHY boleh-boleh saja memberikan kritik tetapi pada saat yang sama harusnya menawarkan jalan solutif terutama pada pemerintahan yang sedang berjalan ini. Namun publik juga menilai bahwa pernyataan sensasional ini merupakan sebuah strategi untuk menarik perhatian publik dan sekaligus menaikkan elektabilitas AHY menjelang pemilu di tahun 2024 nanti.

Strategi dalam membangun narasi politik di atas podium ini, mirip dengan strategi yang dibangun oleh SBY ketika tampil di hadapan umum sebagai calon presiden waktu itu. Pernyataan-pernyataan bias tafsir dimunculkan di publik untuk membangun opini publik dan tentunya mengarah pada seorang calon presiden nanti. Ketika serangan balik atas pernyataan itu dan yang bersangkutan memilih diam, berarti ada nilai lebih yang didapatkan oleh yang membuat pernyataan. Politik “playing victim” sedang dilakukan oleh AHY sebagai ajang untuk mencari sensasi politik menjelang pemilu 2024 nanti. “Playing victim secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, playing artinya bermain dan victim yang artinya korban. Bermain korban. Maksudnya seseorang bersikap seolah-olah sebagai korban, dengan mengutarakan berbagai alasan sebagai pembenaran di hadapan orang lain. Istilah ini kerap digunakan dalam berbagai situasi, seperti saat seseorang terlibat perkelahian. Saat diminta menjelaskan situasi yang terjadi, seorang yang melakukan playing victim akan berlagak seperti seseorang yang diserang dan hanya melakukan perlawanan balik untuk memberi perlindungan terhadap diri sendiri, meskipun kenyataannya tidak demikian.”


Playing Victim boleh saja dilakukan namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana AHY mendesain program-program yang spektakuler untuk ditawarkan pada rakyat. Dengan menawarkan program-program yang berpihak pada rakyat, maka pelan tapi pasti, bisa membangun kepercayaan publik terhadap figur AHY yang tengah mempersiapkan diri menjadi calon presiden nanti. ***(Valery Kopong)

 

Posting Komentar

0 Komentar