“Menurut
sensus yang dilaksanakan pihak Konsul Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kota Kinabalu lima tahun lalu untuk
pendataan penduduk migran asal Indonesia di Malaysia khususnya wilayah Sabah, jumlah anak usia sekolah adalah 50.000an dan
yang sudah sekolah baru 20.000an anak.
Untuk itu anak-anak migran asal Indonesia yang ada di Malaysia khususnya Sabah,
mesti diselamatkan dari buta aksara, minimal bisa membaca, menulis dan
menghitung”, demikian benang merah yang disampaikan oleh Ibu Veronika Sedo Barek
melalui telepon seluler beberapa waktu di selah-selah kegiatan Apresiasi dan
Kreasi Akademik, Olahraga dan Seni (Apkers) Community Learning Center (CLC)
jenjang Sekolah Menengah Pertama Indonesia Kota Kinabalu Sabah Malaysia dalam
rangka memasuki Tahun Ajaran 2022. Menurut
Veronika Sedo, kegiatan Apkers ini untuk menggali dan mengembangkan potensi dan
bakat anak-anak migran Indonesia yang sekolah di jenjang SMP sekolah Indonesia
di Kota Kinabalu.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa ribuan penduduk Indonesia mengadu nasib di negeri jiran Malaysia, sehingga banyak anak lahir di Malaysia dan kenyataannya banyak anak Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan yang layak. Hal ini disebabkan oleh kendala tempat tinggal yang jauh, masalah biaya, status TKI illegal dan tidak memilki dokumen identitas pribadi seperti KTP dan KK. Menurut pengakuan Veronika Sedo, berbagai upaya telah ditempuh agar anak-anak migran bisa mengenyam pendidikan pada sekolah Indonesia yang ada di Sabah. “Yah, anak-anak migran Indionesia pun memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak untuk dapat menata masa depan yang lebih bagus lagi", tutur Sedo dengan nada penuh harap. Upaya-upaya yang telah dilakukan yaitu pada tahun 2010 Veronika mendirikan asrama Kasih ibu untuk menampung siswa SD dan SMP Bingkor yang tinggal jauh. Asrama pun tidak ada biaya, hanya biaya makan minum 110 RM per bulan atau Rp. 360.000. Bagi orang tua yang tidak memiliki KTP dan KK, diarahkan mengurusnya di Nunukan dan bahkan ada yang pulang kampung mengurus adminsitrasi kependudukan, agar anaknya bisa sekolah Indonesia di Malaysia, karena KTP dan KK (NIK) merupakan syarat mutlak, berkaitan dengan dapodik sekolah. Selain itu, Veronika Sedo pernah mengusulkan pembuatan KTP dan KK di KBRI Kota Kinabalu agar lebih memudahklan, namun belum mendapat tanggapan dari pihak KBRI.
Penghargaan
itu berawal perjuangan gigih seorang TKI asal Flores NTT untuk mendirikan
sekolah Indonesia di Keningau Sabah Malaysia. Pada tahun 1991, setelah menamatkan pendidikan pada SMEA Sint.
Gabriel Maumere Flores, Veronika merantau ke Malaysia dan bekerja sebagai buruh pada kebun sayur. Dalam keseharian, ia
melihat kenyataan bahwa banyak anak usia sekolah yang tidak bisa membaca,
menulis dan berhitung. Vero merasa prihatin dan belas kasihan atas kondisi ini.
Berbekal sedikit pengetahuan ilmu mengajar yang diperoleh sewaktu pendidikan
SPG Surya Mandala Waiwerang (tidak tamat), maka tergeraklah hatinya untuk
mengumpulkan anak-anak di lingkungan sekitarnya untuk memberikan pelajaran
menulis, membaca dan berhitung sederhana. Usaha ini dirintis mulai tahun 2003
dengan mendirikan sekolah di Asbon. “Awalnya, ada 20-an orang yang mengikuti
pelajaran, namun berbagai kendala seperti jarak dan orang tua pindah kerja,
maka sisa 9 anak”, terang Veronika. Walaupun cuma 9 anak, namun Vero tidak
patah semangat, karena banyak orang tua merasa pesimis atas usaha yang
dikerjakan Vero.
Lantas, siapakah Veronika Sedo Barek? Ia adalah migran asal desa Mangaaleng Kecamatan Adonara Kabupaten Flores Timur, yang pada tahun 2015 menerima penghargaan ‘The Hassan Wirajuda Award’ 2015 kategori Mitra Kerja Perwakilan RI dari Kementerian Luar Negeri yang diserahkan di Jakarta. Sebelumnya Veronika juga mendapat penghargaan dari Kedutaan Sabah Kota Kinabalu yaitu Relawan Pendidik Teladan Sabah.
Pikiran
Vero pun berkembang. Vero berkeinginan agar ke-9 anak, bisa mengikuti ujian
setara dengan pendidikan paket A/setara SD. Namun yang menjadi kendala dan
tantangan yaitu sekolah tersebut belum mendapat pengakuan/ijin resmi dari KBRI
dan Pemerintah Malaysia. Vero berkeinginan agar kesembilan siswa mengikuti
ujian di Kota Kinabalu. Namun diarahkan untuk siswa mengikuti ujian di Nunukan
Indonesia. Vero keberatan, karena ke Nunukan tentu membutuhkan biaya. Vero pun berkoordinasi dengan salah satu
kepala sekolah di Kuala Lumpur yaitu
Dadang Hermawan untuk datang ke Kota Kinabalu. Dari hasil pertemuan itu,
disepakati bahwa mulai tahun depan, anak-anak bisa mengikuti ujian, namun dengan
catatan, anak-anak diajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum Indonesia. “Akhirnya Saya diberikan buku mata pelajaran Matematika,
PPKN, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS,”
tutur Vero. Selama ini Vero pun mengajar mata pelajaran sesuai kurikulum
Infonesia dan sangat mendapat dukungan dari kakaknya Drs. Dominikus Doni Senun,
M.Si, (dosen Universitas Mulawarman Palangkaraya Kalsel) dengan mengirim bahan
ajar. Dengan demikian, pada tanggal 29 Maret 2007, sekolah yang didirikan
Veronika mendapat pengakuan secara resmi dari KBRI Kinabalu dan pemerintah Malaysia.
Segala usaha dengan penuh perjuangan
gigih, akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan. Anak-anak pun berhasil
lulus ujian sehingga dari tahun ke tahun jumlah siswa pun semakin banyak.
Di samping itu, vero pun menggalang partisipasi pemerintah untuk sama-sama
mendukung keberlangsungan pendidikan
bagi kaum migran Indonesia. Pemerintah pusat melalui Kementrian terkait mengirim guru kontrak yang dibiayai
pemerintah juga mendukung melalui dana bos, karena Veronika menyadari bahwa tak
akan mampu melangkah tanpa dukungan pemerintah. “Kadang, pemerintah dan DPR
berkunjung ke sekolah dan menanyakan kebutuhan apa saja yang diperluhkan, dan
semoga pemerintah bisa membantu”, kata
Veronika.
Lebih
lanjut Veronika menjelaskan, “bahwa siswa-siswa tamatan dari sekolah di Sabah, melanjutkan pendidikan
di Indonesia bahkan sampai jenjang perguruan tinggi dan banyak yang sudah
berhasil dalam berbagai profesi”, tutur Vero yang menamatkan pendikan UT jurusan
PGSD tahun 2020. Dalam perbincangan,
Veronika mengatakan bahwa dalam proses belajar mengajar, diterapkan juga
program akselerasi karena banyak anak yang melewati batas usia yang ditentukan.
“Anak-anak yang usianya lebih tua diberikan test, dan apabila lulus maka anak
tersebut bisa lompat kelas sesuai usianya”, ungkap Veronika.
Veronika Sedo Barek, alumni SDK St. Paskalis Mangaaleng merupakan salah satu pejuang bagi anak-anak migran di Malaysia yang sangat peduli akan dunia pendidikan. Dengan segala keterbatasan, mampu mendirikan sekolah dan mendidik anak-anak menjadi insan yang berkarakter dalam semangat nasionalisme Indonesia. Vero patut menjadi teladan dan inspirasi bagi generasi penerus bangsa. Semoga. (@Simon Kopong Seran#)
1 Komentar
Sungguh luar biasa dan fantastis
BalasHapus