Adalah Muhammad Fikri Zulfikar. Pria asal pekalongan Tawa Tengah yang saat ini menetap di Desa Bao Lali Duli,
Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Teggara Timur ini mengaku,
kalau keberadaanya di di NTT lebih karena tuntutan pekerjaan.
Meski baru
empat bulan berada di Desa Bao Lali Duli, ia tertarik bergabung dengan kelompok
perempuan pekerja migrant purna untuk menjalankan usaha ekonomi produktif. Ia juga tak pernah merasa sungkan dalam
berbagai kegiatan yang dijalankan, meski dirinya adalah satu-satunya kaum adam
yang tergabung dalam kelompok ini.
selain itu, sosoknya yang low profile membuat ia cepat menyesuaikan diri meski beda budaya yang antara Pekalongan dan Ile
Ape Timur.
Dalam kegiatan
Survey kondisi dan potensi ekonomi yang
diadakan Migrant Care dan YKS Agustus lalu, ia pun mendapat kerpecayaan sebagai salah seorang
enumerator bersama 20 orang temannya yang terbagung dalam survey dimaksud.
Ketika ditanya
ketertarikannya menjadi enumerator, Ia mengaku
kalau semua itu berawal dari dorongan kekasih hatinya yang sama – sama
bergabung dalam kelompok usaha ekonomi produktif perempuan purna migran di Desa
Bao Lali Duli.
“Ketika
disampaikan isteri saya untuk melamar menjadi enumerator survey kondisi dan
potensi ekonomi, saya sempat menolak karena saya takut
tidak bisa membagi waktu saya dalam pekerjaan saya yang sehari hari menjaga mesin foto copy,” kenang Zulfikar dan menambahkan bahwa dirinya juga belum terlalu
paham soal system kerja dalam survey dimaksud.
Toh demikian,
Zulfikar terus di motivasi isterinya agar mau terlibat sebagai salah seorang
enumerator untuk pendataan pekerja migrant di Ile Ape dan Ile Ape Timur.
“Berkat pemahaman yang diberikan istri saya dan juga dukungan dari beliau
serta rasa ingin tahu, akhirnya saya setuju dan melamar menjadi enumerator dan diterima,” jelas pria berambut lurus
ini.
Setelah mantap
dengan keputusan karena dorongan isteri dan rasa ingin tahu, Zulfikar kemudian mengikuti
pelatihan sebagai enumerator selama dua hari dan setelah itu langsung turun
lapangan untuk mengidentifikasi responden terlebih dahulu sebelum melakukan
pendataan.
Sebagai orang
yang saat itu baru empat bulan
berdomisili di Desa Bao Lali Duli, tidak banyak orang yang ia kenal,
apalagi mengenal orang yang pernah
menjadi pekerja migran, posisi kediaman mereka dan kapan tahun kepulangannya
menjadi pekerja migran. Ini adalah kendala yang dihadapi Zulfikar.
Namun berbekal keberanian dan materi yang
ia dapatkan dalam pelatihan, ia menyusuri
lorong demi lorong dan masuk ke setiap rumah penduduk desa untuk
menanyakan informasi soal pekerja migrant yang memiliki usaha ekonomi
produktif. Apalagi setiap penduduk desa yang ia temui belum otomatos menjadi responden
survey ekonomi bila yang bersangkutan tidak memenuhi kriteroa lain seperti
tahun kepulangan yang sudah ditentukan.
“ Dari 10 orang
yang saya data, hanya terdapat 7 orang yang memenuhi kriteria,” jelas Zulfikar
sembari menambahkan bahwa menemui responden membutuhkan kesabaran ekstra karena
perbedaan budaya, waktu dan kesibukan masing-masing.
Banyak Hal Positip
Dibalik
tantangan yang dihadapi Zulfikar, ada
banyak hal positip yang ia rasakan ketika menjadi seorang surveyor. “Saya merasakan ada banyak perubahan dalam
diri saya ketika saya terlibat dalam survey.
Misalnya saya haru sebisa mungkin objektif dan terhindar dari bias atau
perasaan lainnya yang dapat mengganggu proses pengumpulan data karena akan
memberikan dampak positif terhadap isu-isu ekonomi pekerja migrant, saya juga
memiliki keterampilan dalam melakukan pendataan menggunakan aplikasi Kobocollect, mengajarkan kepada saya tanggung
jawab yang besar apalagi bekerja dengan batas waktu yang ditentukan,” tuturnya.
Ia menambahkan hal positip lain yang
ia dapatkan adalah bagaimana ia belajar mendokumentasikan hal lain yang
tercecer dari ceritera responden dalam catatan bantu untuk menjadi bahan
pembelajaran, dan yang tak kalah penting adalah bagimana kita belajar untuk
berkomunikasi yang baik ketika kita sedang menjadi pewawancara dan mengajarkan
kejelian dalam mengahadpi responden.
“Saat kita sedang melakukan
wawancara, kita juga perlu memperhatikan bahasa tubuh yang ditunjukan
responden. Kadang mereka memperlihatkan bahasa tubuh yang tidak atau
kurang suka dengan kehadiran kita. Bila
demikian yang terjadi maka bisa jadi responden bersangkutan lagi sibuk dan kita
harus meminta kesediaan di waktu yang tepat,” ujarnya menjelaskan. (*)
Nara Sumber : Fikri Zulfikar
Pewawancara : Theresia Abong
Penulis Ceritera : Theresia Abong
0 Komentar