Peristiwa
di seputar istana negara pada Selasa, 25 Oktober 2022 cukup menggegerkan karena
ditangkap seorang perempuan yang membawa senjata dan berusaha untuk memasuki
area istana negara. Aksi yang akan dilakukan ternyata gagal karena dihalau oleh
aparat. Dari foto dan video yang beredar memperlihatkan perempuan, pelaku teror
ini menunjukkan depresi yang sangat mendalam. Saya sendiri tidak melihat
peristiwa penangkapan itu sebagai puncak sebuah persoalan tetapi diselidiki
kembali sepak terjangnya dan bagaimana ia bergaul dengan orang lain yang pada
akhirnya memberikan pengaruh yang negatif padanya. Yang harus dicari adalah
siapa yang mencuci otaknya (brain washing) sehingga perempuan yang sebelumnya
baik bisa berperilaku brutal?
Terhadap peristiwa ini, seorang teman mengajak saya untuk diskusi tentang sejarah panjang dalam upaya untuk menangkal masuknya terorisme di Indonesia. Negara boleh menangkal dan bahkan operasi senyap terus dilakukan, namun perlu diingat bahwa paham-paham radikal yang menjamur itu beredar melalui dunia maya. Memang, paham-paham yang radikal itu bisa muncul sebagai akibat dari salah tafsir, terutama kitab suci. Sebagai contoh, dalam kisah tentang perjalanan sejarah bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah, mereka berperang melawan bangsa Filistin. Israel selalu berada pada pihak yang menang karena meyakini bahwa Allah tetap berpihak pada mereka.
Kisah masa lampau yang juga tertulis dalam kitab suci, tidak bisa diadopsi secara harafiah dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari ketika berlawanan dengan teman-teman. Membawa teks kitab suci harus menempatkan teks itu dalam konteks waktu lampau. Artinya bahwa peperangan terjadi pada waktu itu sebagai upaya untuk merebut tanah yang dijanjikan Allah bagi bangsanya. Kita boleh membaca teks kitab suci itu dan memahami latar belakang, mengapa peperangan itu bisa muncul namun spirit peperangan masa lalu tidak dijadikan sebagai alasan biblis untuk menghidupkan perang saat ini.
(Foto: dokumen polisi)
Persoalan
tentang munculnya gerakan teroris yang tetap menjamur dengan basis pemahaman ilmu agama, mestinya dipangkas dengan memberikan
penafsiran eksegetik yang positif sebagai cara untuk memberdayakan umat dalam
memahami isi kitab suci sesungguhnya. Memang ini tugas berat para ekseget untuk
menafsirkan kitab suci dan memberikan pemahaman yang benar pada umatnya. Menjadi persoalan yang dihadapi
saat ini adalah terjadi penafsiran liar dan pada akhirnya membentuk karakter yang
ekstrim dan memandang orang lain sebagai “pengganggu” yang perlu ditumpas. Mari,
pada hari sumpah pemuda ini kita berusaha untuk mencintai negeri tercinta ini
tanpa perlu menebarkan teror. ***(Valery Kopong)
0 Komentar