Unordered List

6/recent/ticker-posts

Meniti Jalan Pulang

 

Gereja Katolik saat ini memasuki masa Adven, masa penantian kelahiran Sang Mesias. Pada masa Adven ini agak sedikit lain dari minggu biasa sebelumnya. Mulai dari pakaian liturgi berwarna ungu dan juga ada empat lilin Adven yang dirangkai dengan dedaunan berwarna hijau. Masing-masing lilin juga memiliki warna yang berbeda. Lilin pada minggu pertama, kedua dan keempat berwarna ungu dan lilin adven pada minggu ketiga berwarna merah muda. Tiga lilin berwarna ungu memperlihatkan warna pertobatan di masa adven ini. Pada masa-masa pertobatan dan pembersihkan diri menyambut kedatangan Yesus, kita senantiasa diingatkan oleh seruan di padang gurun, “luruskanlah jalan yang bengkok, ratakanlah jalan yang berlekak-lekuk.” Seruan Yohanes Pembaptis ini menjadi seruan yang terus menggema di hati kita untuk mempersiapkan hati  bagi kedatangan Tuhan.

Pada minggu ketiga adven, warna lilin berbeda dari tiga lilin yang lain. Dalam liturgi, minggu ketiga adven lebih sering disebut sebagai minggu suka cita, atau “Gaudete,” dalam bahasa Latin. Mengapa kita bersuka cita? Kita bersuka cita karena sesaat lagi kita menyambut Yesus yang dinantikan itu. Adven secara umum dimengerti sebagai masa penantian dan yang dinantikan adalah Yesus, lahir di kandang hina. Dalam proses penantian itu ada upaya dari kita sebagai umat, menyadari kesalahan dan dosa serta membangun rasa tobat agar layak menyambut Mesias yang pada peristiwa natal.

Pertobatan menjadi kunci utama untuk membuka diri pada Tuhan. Tuhan yang kita imani tidak memperhitungkan seluruh kesalahan dan dosa kita, tetapi hanya satu yang dipinta dari-Nya adalah berbalik ke kehidupan yang baru dan mengenakan manusia baru. Pada masa adven pertama dan memasuki masa adven yang kedua ini, nuansa ungu menjadi warna pertobatan dan refleksi diri tentang kelayakan hidup di hadapan Allah. Dalam masa-masa yang memuat daya hening pertobatan ini, kisah anak yang hilang seperti dalam perumpamaan yang digunakan Yesus menjadi sebuah narasi biblis yang terus menghentakan kesadaran kita untuk menyadari kesalahan. “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap dunia. Aku tidak layak lagi disebut sebagai anak Bapa, jadikan aku sebagai seorang anak upahan Bapa.“ Seruan pertobatan yang dibangun oleh anak bungsu di tempat perantauan, jauh dari Bapa, menunjukkan sebuah permintaan belas kasih.


Kesadaran akan pertobatan itu dirasakan setelah ia tak punya apa-apa lagi. Ia memakan makanan babi dan hal ini menunjukkan kehilangan martabatnya sebagai seorang manusia. Dalam kondisi yang mengenaskan, ia harus bangkit dan meniti jalan pulang ke rumah Bapanya. Bapa menerima dia dengan tangan terbuka dan melupakan kesalahan-kesalahan masa lampau. Mereka mengadakan pesta sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan karena anak yang hilang itu sudah ditemukan kembali. Mari, meniti jalan tobat di masa adven ini.***(Valery Kopong)   

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar