Kutatap pusara itu dengan mata berkaca-kaca. Maklum, ayah yang kucintai yang selalu menyayangiku harus pergi dari dunia ini untuk selamanya. Ah, Tuhan memang tega merampas kehidupan ayahku di saat aku belum berdaya karena usiaku baru sepuluh tahun. Andaikata aku mempunyai kekuatan lebih dan bisa mengalahkan Tuhan maka aku bisa menolak maut itu agar tidak merenggut nyawa ayahku. Aku terpaku diam disamping pusara yang terletak di Selapajang – Tangerang. Kegelisahan batinku karena kepergian ayahku, mungkin cuma dimengerti oleh salib yang tertancap tegak di atas pusara itu. Salib yang bertuliskan RIP (Requescat in pace), semoga ia beristirahat dalam damai.
Sepulang menghantar jenazah ayahku,
aku terus bertanya pada ibuku. Karena hanya ibu yang bisa
memberikan jawaban saat aku bertanya padanya. Ibu tahu, ke mana ayahku pergi setelah kami warga
lingkungan Alexander mengantarkannya ke pangkuan ibu pertiwi. Hanya saja ibuku
pasti bertanya balik padaku tentang peristiwa kematian ini. Kematian manusia
merupakan sebuah peralihan dari dunia yang fana ini dan memasuki dunia yang
abadi, dunia yang penuh dengan
kedamaian di hadapan Allah.
“Ayah ke mana ya bu, setelah kita antar ke
pemakaman itu? Tanyaku penuh ingin tahu.
“Ayah pergi bertemu dengan Yesus,” Jawab ibu secara pintas.
“Oh ya? Ketemu Yesus untuk berapa lama ya, bu?
“Ibu tertunduk diam.
Diamnya ibu dan tidak memberikan
jawaban , berarti ibuku juga tidak tahu persis tentang kelanjutan hidup ayahku.
Tetapi dalam imannya akan Kristus, kita
tahu bahwa ayahku sudah dijemput oleh Yesus dan memasuki tanah air surgawi.
Yesus sendiri menegaskan diri-Nya sebagai jalan, kebenaran dan hidup. Yesus
membuka jalan dan memapah ayahku untuk
melangkah menuju rumah Bapa. Rumah Bapa adalah rumah yang dipersiapkan
oleh Yesus dan setiap orang yang telah dipanggil Allah berhak menikmati rumah
Bapa itu.
“Apakah ayah percaya akan rumah abadi?”
tanyaku sekedar ingin tahu.
“Iya, ayahmu begitu yakin akan adanya
hidup kekal,” jawab ibu.
Memang selama hidup, ayahmu mengajarkan
agama Katolik, membimbing calon komuni dan krisma maka ia tahu persis tentang
hidup abadi yang bakal dialami oleh seseorang setelah melawati hidup ini. Bagi
orang-orang beriman, mereka melihat hidup ini sebagai sebuah anugerah, dunia
adalah tempat mereka berbakti dan mati adalah awal mula menemukan hidup yang
abadi. Namun mereka yang tidak percaya akan Allah, mereka akan melihat hidup
ini sebagai penyakit, dunia adalah rumah sakit dan mati adalah jalan keluar
terbaik.
Memang kematian itu menyisahkan rasa
kehilangan bagi yang ditinggalkan dan bisa mengguncang iman akan Kristus. Namun di
tengah keguncangan hidup karena kematian ayahku, ibuku selalu mengingat pengalaman
dua murid dalam perjalanan ke Emaus. Perjalanan ke Emaus adalah perjalanan
pulang kampung dan memperlihatkan kekecewaan para murid Yesus setelah kematian
Sang Guru di atas kayu salib. Namun dalam perjalanan mereka bertemu dengan
orang asing itu namun ketika berbicang-bincang dengannya, hati mereka berkobar.
“Hari sudah malam. Tinggallah bersama kami.” Dua mata murid itu terbuka dan
melihat Yesus saat Ia memecahkan roti. Iman
para murid pulih kembali setelah adanya penampakan diri Yesus setelah
kebangkitan-Nya dari alam maut.
Kisah Emaus
memberikan inspirasi bagi ibuku untuk bangkit kembali menjalani keseharian
hidup. Iman itu tumbuh dan mengalami penguatan setelah diterpa badai kehidupan.
Sosok Yesus yang bangkit sanggup memberikan harapan bagi kita yang percaya kepada-Nya.
Meminjam kata-kata Paulus, tanpa kebangkitan Yesus maka sia-sialah iman kita.
Imanku pada-Nya tak akan tergoyahkan lagi.***(Valery Kopong)
0 Komentar