Unordered List

6/recent/ticker-posts

Pusara

 

Kutatap pusara itu dengan mata berkaca-kaca. Maklum, ayah yang kucintai yang selalu menyayangiku harus pergi dari dunia ini untuk selamanya. Ah, Tuhan memang tega merampas kehidupan ayahku di saat aku belum berdaya karena usiaku baru sepuluh tahun. Andaikata aku mempunyai kekuatan  lebih dan bisa mengalahkan Tuhan maka aku bisa menolak maut itu agar tidak merenggut nyawa ayahku.  Aku terpaku diam disamping pusara  yang terletak di Selapajang – Tangerang. Kegelisahan batinku karena kepergian ayahku, mungkin cuma dimengerti oleh salib yang tertancap tegak di atas pusara itu.  Salib yang bertuliskan RIP (Requescat in pace), semoga ia beristirahat dalam damai.


Sepulang menghantar jenazah ayahku, aku terus bertanya pada ibuku. Karena  hanya ibu yang bisa memberikan jawaban saat aku bertanya padanya.  Ibu tahu, ke mana ayahku pergi setelah kami warga lingkungan Alexander mengantarkannya ke pangkuan ibu pertiwi. Hanya saja ibuku pasti bertanya balik padaku tentang peristiwa kematian ini. Kematian manusia merupakan sebuah peralihan dari dunia yang fana ini dan memasuki dunia yang abadi, dunia yang penuh dengan  kedamaian  di hadapan Allah.

“Ayah ke mana ya bu, setelah kita antar ke pemakaman itu? Tanyaku penuh ingin tahu.

“Ayah pergi bertemu  dengan Yesus,” Jawab ibu secara pintas.

“Oh ya? Ketemu Yesus  untuk berapa lama ya, bu?

“Ibu tertunduk diam.

Diamnya ibu dan tidak memberikan jawaban , berarti ibuku juga tidak tahu persis tentang kelanjutan hidup ayahku. Tetapi dalam imannya  akan Kristus, kita tahu bahwa ayahku sudah dijemput oleh Yesus dan memasuki tanah air surgawi. Yesus sendiri menegaskan diri-Nya sebagai jalan, kebenaran dan hidup. Yesus membuka jalan  dan memapah ayahku untuk melangkah  menuju rumah Bapa.  Rumah Bapa adalah rumah yang dipersiapkan oleh Yesus dan setiap orang yang telah dipanggil Allah berhak menikmati rumah Bapa itu.

“Apakah ayah percaya akan rumah abadi?” tanyaku sekedar ingin tahu.

“Iya, ayahmu begitu yakin akan adanya hidup kekal,” jawab ibu.

Memang selama hidup, ayahmu mengajarkan agama Katolik, membimbing calon komuni dan krisma maka ia tahu persis tentang hidup abadi yang bakal dialami oleh seseorang setelah melawati hidup ini. Bagi orang-orang beriman, mereka melihat hidup ini sebagai sebuah anugerah, dunia adalah tempat mereka berbakti dan mati adalah awal mula menemukan hidup yang abadi. Namun mereka yang tidak percaya akan Allah, mereka akan melihat hidup ini sebagai penyakit, dunia adalah rumah sakit dan mati adalah jalan keluar terbaik.  

Memang kematian itu menyisahkan rasa kehilangan    bagi yang ditinggalkan dan bisa mengguncang iman akan Kristus. Namun di tengah keguncangan hidup karena kematian ayahku, ibuku selalu mengingat pengalaman dua murid dalam perjalanan ke Emaus. Perjalanan ke Emaus adalah perjalanan pulang kampung dan memperlihatkan kekecewaan para murid Yesus setelah kematian Sang Guru di atas kayu salib. Namun dalam perjalanan mereka bertemu dengan orang asing itu namun ketika berbicang-bincang dengannya, hati mereka berkobar. “Hari sudah malam. Tinggallah bersama kami.” Dua mata murid itu terbuka dan melihat Yesus saat  Ia memecahkan roti. Iman para murid pulih kembali setelah adanya penampakan diri Yesus setelah kebangkitan-Nya dari alam maut.

Kisah Emaus memberikan inspirasi bagi ibuku untuk bangkit kembali menjalani keseharian hidup. Iman itu tumbuh dan mengalami penguatan setelah diterpa badai kehidupan. Sosok Yesus yang bangkit sanggup memberikan harapan bagi kita yang percaya kepada-Nya. Meminjam kata-kata Paulus, tanpa kebangkitan Yesus maka sia-sialah iman kita. Imanku pada-Nya tak akan tergoyahkan lagi.***(Valery Kopong)

 

 

Posting Komentar

0 Komentar