SEJAK berpindah dari Perum Bandara Mas, Kota Tangerang ke daerah Grand Permata Sepatan, saya mengenal banyak anggota umat lingkungan dengan beragam profesi. Ada yang bekerja sebagai wiraswasta, pegawai pemerintah, guru, satpam, karyawan pabrik dan lain-lain. Sejumlah keluarga yang kini saling mengenal misalanya Yustinus Kemio sekeluarga, Andreas Nugroho sekeluarga, Pak Bambang sekeluarga
Saya hadir di lingkungan ini dan mulai ambill
bagian dalam pelayanan wilayah nama pelindung Santo Kornelius. Menurut para
pendiri lingkungan ini karena posisi wilayah ini ada di pojok Sepatan, karena
itu disebutkan kornel. Kondisi di
lingkungan dengan jumlah 40- an kepala keluarga dipimpin oleh Bapak Maniur. Ia
adalah tokoh yang sudah lama menetap di Sepatan disusul Kemio sekeluarga.
Mereka adalah keluarga yang pernah merasakan
pahit manisnya berada di lingkungan
bermayoritas non Katolik ini.
Interaksi antar personal membuat kami akrab. Bahkan
pergaulan antara sesama umat lingkungan tanpa kami membedakan suku. Saya dari
Flores, yang lain dari Batak (Sumatera), Jawa bahkan ada juga Tionghoa.
Perjumpaan makin intens itu terbina dalam berbagai kegiatan gerejani seperti ketika masa Advent, Pra Paskah, bulan
Rosario atau kegiatan lain di gereja yang memerlukan keterlibatan seluruh umat.
Kata orang
perjumpaan dengan sesama itu ibarat membuka pintu rezeki. Nah, saya sadar bahwa
lewat perjumpaan itu kami saling membagi apa yang patut dibagi. Kebersamaan dirajut dalam
keterlibatan bersama lingkungan. Suatu ketika, sekitar dua setengah tahun lalu, di bawah kepemimpinan ketua
Lingkungan Andreas Nugroho berdua melakukan kunjungan rumah dengan tujuan
menyapa umat juga memberikan perhatian. Pertama-tama saya bersama Pak Nug ke rumah Agus Brewok (namanya
Brewok karena memang ) penampilan laki-laki asal Jawa Tengah ini semulanya memang brewok. Saya dan PakNug datang
berkunjung, bercerita lalu pamit dari rumahnya.
Setelah dari
rumah Agus bersama sama menuju blok K No 40 . Kunjungan ke Bapak Abdul Hamid
(Lie Wie Liong). Ia biasa disapa Om Liong. Ia menerima kedatangan kami dengan suka cita . Posisi Om Liong sedang terbaring di ruang tengah rumahnya, karena sakit yang dideritanya tanpa ditemani
oleh seorang anak. Pada hal ia
memiliki 5 orang, 2 perempuan dan 3
laki-laki. Sebelum membuka percakapan Pak Liong antusias bercerita tentang keberadaannya. Ia mulai menetap di perumahan Permata Sepatan
sekitar tahun 2000- an sampai kini.
Pada bagian
lain Liong mengisahkan dari keenam anaknya tak satupun mengikuti keyakinannya
sebagai Katolik. Ia sendiri yang mengimani Yesus sebagai Sang Juru Selamat. Keenam
anaknya yang telah menikah itu tidak langi menjadi Katolik mereka mengikuti
kepercayaan suami (istri)nya yang bukan Katolik. Dalam suatu bagian penuturan
kepada kami (saya dan Pak Nugroho) sekalipun
saya dibayar 1 miliar saya tidak akan meninggalkan Yesus. Saya
cukup lama merenung mendengar ujaran dari
Liong yang telah berusia 70 an tahun itu.
Yang saya
kenal saban hari Pak Liong sebagai penjual aneka mainan di jalan raya Sepatan.
Ia duduk menyediakan alat-alat mainan
anak. Meski dilarang oleh anak-anaknya Pak Liong selalu menolak karena
ia ingin menghabiskan waktunya untuk mencari tambahan buat kehidupannya.
Soal hidup
menggereja, Pak Liong hanya aktif di lingkungan ia jarang terlihat di gereja.
Meski demikian bagi sesama anggota kelompok memiliki tanggungjawab untuk selalu
melakukan pendekatan sehingga sewaktu bisa dapat ke gereja. Inilah yang penting
disadari umat Katolik terlebih umat selingkungan untuk memberikan semangat agar ia tidak menjadi “domba yang hilang
sehingga jangan sampai terus menghilang”.
Kembali ke
soal uang satu miliar. Karena saya
penasaran saya minta pak Liong mengulang lagi. “Walaupun saya dikasih satu
miliar, saya tidak akan mungkin keluar dari Katolik’’. Pernyataan ini sungguh
membuat saya ikut lama berpikir. Sembari
dengan rasa kagum melihat semangatnya. Pak Liong tetap semangat hari-hari tetap
menjajakan dagangan mainan anak – anak lalu
menunggu para pembelinya.
Di mata saya Pak Liong bukan orang kecil. Ia telah
menunjukkan imannya yang sungguh kuat, setia, taat kepada Yesus yang diimaninya
sejak lahir. Tidak seperti artis-artis beken yang awalnya non Katolik
lalu masuk ke Katolik. Dalam perjalanan imam ia muncul di berbagai platform
media , mengaku sebagai orang
Kristen tapi tak lama kemudian dalam waktu tidak lama ia kembali lagi
menjadi mualaf. Alasannya ia takut pada saat mati tidak diurus dengan baik . Nyatanya artis
itu “ngeprank” seluruh umat
Kristen yang mungkin merasa bahagia
karena artis ini bisa bergabung
masuk menjadi anggota gereja Katolik.
Ada kisah
lain konon seorang pemuda yang jatuh
cinta pada gadis beda agama. Saking cintanya kepada sang gadis itu, karena beda
keyakinan, syarat untuk menikahunya ia harus mengikuti iman pujaannya. Fakta ini nyata dan terjadi hingga saat ini. Ada lagi seorang
guru yang non Katolik di Kota Tangerang,
hanya karena ia seorang Katolik, ia
harus berpindah agama dulu baru boleh
menjadi Kepala Sekolah.
Pak Liong hari kemarin telah tiada (Selasa, 29 November 2022) dipanggil Sang Pemilik Kehidupan. Umat Lingkungan St Kornelius mendoakan dalam ibadat penghiburan malam tadi dan pagi ini, sekitar pukul 10.00 wib jenazah Pak Liong dibawa ke TP Bumi Ayu di Sepatan. Selamat jalan, Pak Liong semoga malaikat surga menyambutmu. **** Konrad R. Mangu
0 Komentar