Unordered List

6/recent/ticker-posts

Sosok Manusia Satu Milyar

 




SEJAK  berpindah dari Perum Bandara   Mas, Kota Tangerang ke daerah Grand Permata Sepatan, saya mengenal   banyak anggota umat lingkungan dengan beragam profesi. Ada yang bekerja sebagai wiraswasta, pegawai pemerintah,  guru, satpam, karyawan pabrik  dan  lain-lain. Sejumlah keluarga yang kini saling mengenal misalanya Yustinus Kemio sekeluarga, Andreas Nugroho sekeluarga, Pak Bambang sekeluarga

Saya  hadir di lingkungan ini dan mulai ambill bagian dalam pelayanan wilayah  nama pelindung Santo Kornelius. Menurut para pendiri lingkungan ini karena posisi wilayah ini ada di pojok Sepatan, karena itu disebutkan kornel.  Kondisi di lingkungan dengan jumlah 40- an kepala keluarga dipimpin oleh Bapak Maniur. Ia adalah tokoh yang sudah lama menetap di Sepatan disusul Kemio sekeluarga. Mereka adalah keluarga yang pernah merasakan  pahit manisnya berada di lingkungan  bermayoritas non Katolik ini.

Interaksi  antar personal membuat kami akrab. Bahkan pergaulan antara sesama umat lingkungan tanpa kami membedakan suku. Saya dari Flores, yang lain dari Batak (Sumatera), Jawa bahkan ada juga Tionghoa. Perjumpaan makin intens itu terbina dalam berbagai kegiatan gerejani  seperti ketika masa Advent, Pra Paskah, bulan Rosario atau kegiatan lain di gereja yang memerlukan keterlibatan seluruh umat.

Kata orang perjumpaan dengan sesama itu ibarat membuka pintu rezeki. Nah, saya sadar bahwa lewat perjumpaan itu kami saling membagi apa yang patut  dibagi. Kebersamaan dirajut dalam keterlibatan bersama lingkungan. Suatu ketika, sekitar  dua setengah  tahun  lalu, di bawah kepemimpinan ketua Lingkungan Andreas Nugroho berdua melakukan kunjungan rumah dengan tujuan menyapa umat juga memberikan perhatian. Pertama-tama saya bersama Pak Nug ke rumah Agus Brewok (namanya Brewok karena memang ) penampilan laki-laki  asal Jawa Tengah  ini semulanya memang  brewok. Saya dan PakNug datang berkunjung, bercerita lalu pamit dari rumahnya.

Setelah dari rumah Agus  bersama sama menuju blok  K No 40 . Kunjungan ke Bapak Abdul Hamid (Lie Wie Liong). Ia biasa disapa Om Liong. Ia menerima kedatangan  kami dengan suka cita . Posisi Om Liong  sedang terbaring di ruang tengah rumahnya,  karena sakit yang dideritanya tanpa ditemani oleh seorang anak. Pada  hal ia memiliki  5 orang, 2 perempuan dan 3 laki-laki. Sebelum membuka percakapan Pak Liong  antusias bercerita tentang keberadaannya.  Ia mulai menetap di perumahan Permata Sepatan sekitar tahun 2000- an   sampai kini.

Pada bagian lain Liong mengisahkan dari keenam anaknya tak satupun mengikuti keyakinannya sebagai Katolik. Ia sendiri yang mengimani Yesus sebagai  Sang Juru Selamat. Keenam anaknya yang telah menikah itu tidak langi menjadi Katolik mereka mengikuti kepercayaan suami (istri)nya yang bukan Katolik. Dalam suatu bagian penuturan kepada kami (saya dan Pak Nugroho) sekalipun  saya dibayar  1 miliar  saya tidak akan meninggalkan Yesus. Saya cukup lama merenung mendengar  ujaran dari   Liong  yang telah berusia  70 an tahun itu.

Yang saya kenal saban hari Pak Liong sebagai penjual aneka mainan di jalan raya Sepatan. Ia duduk menyediakan alat-alat mainan  anak. Meski dilarang oleh anak-anaknya Pak Liong selalu menolak karena ia ingin menghabiskan waktunya untuk mencari tambahan buat kehidupannya.

Soal hidup menggereja, Pak Liong hanya aktif di lingkungan ia jarang terlihat di gereja. Meski demikian bagi sesama anggota kelompok memiliki tanggungjawab untuk selalu melakukan pendekatan sehingga sewaktu bisa dapat ke gereja. Inilah yang penting disadari umat Katolik terlebih umat selingkungan untuk memberikan semangat  agar ia tidak menjadi “domba yang hilang sehingga jangan  sampai terus menghilang”.

Kembali ke soal  uang satu miliar. Karena saya penasaran saya minta pak Liong mengulang lagi. “Walaupun saya dikasih satu miliar, saya tidak akan mungkin keluar dari Katolik’’. Pernyataan ini sungguh membuat  saya ikut lama berpikir. Sembari dengan rasa kagum melihat semangatnya. Pak Liong tetap semangat hari-hari tetap menjajakan dagangan  mainan anak – anak lalu menunggu para pembelinya.

Di mata  saya Pak Liong bukan orang kecil. Ia telah menunjukkan imannya yang sungguh kuat, setia, taat kepada Yesus yang diimaninya sejak lahir. Tidak seperti artis-artis beken yang awalnya  non Katolik  lalu masuk ke Katolik. Dalam perjalanan imam ia muncul di berbagai platform media , mengaku sebagai  orang Kristen  tapi tak lama kemudian  dalam waktu tidak lama ia kembali lagi menjadi mualaf. Alasannya ia takut pada saat mati tidak diurus  dengan baik . Nyatanya  artis  itu “ngeprank”  seluruh umat Kristen yang mungkin  merasa  bahagia  karena artis ini  bisa bergabung masuk menjadi anggota gereja Katolik.

Ada kisah lain  konon seorang pemuda yang jatuh cinta pada gadis beda agama. Saking cintanya kepada sang gadis itu, karena beda keyakinan, syarat untuk menikahunya ia harus mengikuti iman pujaannya.  Fakta ini nyata  dan terjadi hingga saat ini. Ada lagi seorang guru  yang non Katolik di Kota Tangerang, hanya karena  ia seorang Katolik, ia harus berpindah agama dulu baru  boleh menjadi  Kepala Sekolah.

Pak Liong hari kemarin telah tiada  (Selasa,  29 November 2022)  dipanggil Sang Pemilik Kehidupan. Umat Lingkungan St Kornelius mendoakan dalam ibadat penghiburan malam tadi dan pagi ini, sekitar  pukul 10.00 wib jenazah Pak Liong dibawa ke TP Bumi Ayu di Sepatan. Selamat jalan, Pak Liong semoga malaikat surga menyambutmu. ****                                                                                                                                                                                                    Konrad R. Mangu  

Posting Komentar

0 Komentar