BEBERAPA tahun
yang lalu, seorang sahabat saya melamar
kerja pada sebuah paroki. Perkenalan awal dengan pastor paroki terasa kental
dan akrab. Hal ini menimbulkan suatu kepercayaan penuh dalam diri pastor paroki
terhadapnya. Pekerjaan memasak di dapur bahkan merangkap sebagai seorang koster
dilakoninya. Melihat rutinitas kerja yang diakhiri secara baik dan memuaskan
maka suatu hari sang pastor menjanjikannya untuk membelikan sebuah sepeda
bermerek BMX. Hadiah menarik ini
tentunya menambah gairah dan memotivasinya untuk berkreativitas.
Suatu hari ketika pastor paroki sedang mengadakan kunjungan ke
lingkungan-lingkungan, kesempatan ini dia gunakan untuk mendandani sepedanya.
Menatap sepedanya yang baru, ia selalu membanggakan orang-orang yang merakit
sepeda itu. Kapan saya bisa merakit sepeda itu? Pertanyaan ini selalu
menghantuinya sehingga pada akhirnya ia membongkar sepeda yang utuh itu lalu
memisahkan onderdil. Seusai memisahkan sepeda menjadi beberapa bagian, ia
mengalami kesulitan dan tidak tahu bagaimana mengutuhkan kembali masing-masing
onderdil menjadi sebuah sepeda yang sempurna. Peristiwa ini akhirnya diketahui
oleh pastor paroki dan sahabat saya dimarahi.
Cerita sederhana di atas
menggambarkan betapa gamblangnya pemikiran sahabat saya yang tidak memiliki
potensi tetapi berani menggambil resiko dari uji coba pemahaman yang minim akan
dunia perakitan sepeda. Hal ini juga jelas menunjukkan sebuah egoisme yang kuat
dalam diri sahabatku yang tidak mau mencari informasi dan meminta bantuan pihak
lain. Dengan peristiwa ini ia pada akhirnya menatap resah pada onggokan
onderdil sepeda dan sepeda yang disanjung-sanjung sebelumnya tidak lagi
menjalani fungsinya sebagaimana mestinya.
***
KETIKA bapak
Proklamator menyatukan bangsa ini, ia selalu mendengungkan persatuan dan
kesatuan bangsa. Dengungan sang Proklamator ini menunjukkan adanya upaya untuk
menjaga suatu keutuhan wilayah RI yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jiwa pemersatu selalu hidup dalam diri
sang proklamator bahkan bisa dilihat sebagai mesin penggerak utama (motor primum) yang terus menggilasi
nurani anak bangsa untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Menjaga keutuhan
bangsa berarti berani memandang orang lain sebagai bagian dari anggota bangsa
ini, tanpa perlu bertanya ia berasal dari suku mana. Keterbukaan hati antar
wilayah telah menghantarkan bangsa menuju pada titik pemahaman yang absah
tentang negara dan keutuhannya.
Para pemimpin lain pasca-Soekarno
memerintah secara agak berbeda. Di tangan Soeharto, demi persatuan dan
kesatuan, banyak orang yang lenyap nyawanya ketika berani berbicara dan
mengeritik pemerintahannya yang pretorian. Dia pada akhirnya tumbang dan
diganti Habibie. Pada masa transisi yang begitu singkat ia berani memisahkan
Timtim dari Indonesia lewat dua opsi yang digulirkannya. Muncul pemimpin lain
seperti Gus Dur dan Megawati di atas pentas republik dan dua tokoh ini masih tetap menyerukan persatuan dan kesatuan
bangsa. Kepemimpinan mereka menggambarkan sosok nasionalis yang gampang
diterima oleh semua kalangan.
Pasca reformasi, para pemimpin
bangsa terus menggaungkan persatuan dan kesatuan tanpa henti karena mengingat
bahwa bangsa ini terajut dari kebhinekaan. Calon pemimpin baru pasca Jokowi-Amin mulai
bermunculan. Kemunculan figur ini juga memunculkan naluri kebangsaan mereka. Apakah
capres yang akan muncul nanti menjadi jembatan yang mempererat persatuan dan kesatuan
bangsa, ataukah membawa politik identitas yang memecah belah hanya untuk
mencari kursi kekuasaan? Hanya rakyat yang bisa menjawabnya.***(Valery Kopong)
0 Komentar