Unordered List

6/recent/ticker-posts

Indonesia dan Sepeda


BEBERAPA tahun yang lalu, seorang  sahabat saya melamar kerja pada sebuah paroki. Perkenalan awal dengan pastor paroki terasa kental dan akrab. Hal ini menimbulkan suatu kepercayaan penuh dalam diri pastor paroki terhadapnya. Pekerjaan memasak di dapur bahkan merangkap sebagai seorang koster dilakoninya. Melihat rutinitas kerja yang diakhiri secara baik dan memuaskan maka suatu hari sang pastor menjanjikannya untuk membelikan sebuah sepeda bermerek BMX.  Hadiah menarik ini tentunya menambah gairah dan memotivasinya untuk berkreativitas.

Suatu hari ketika pastor paroki sedang mengadakan kunjungan ke lingkungan-lingkungan, kesempatan ini dia gunakan untuk mendandani sepedanya. Menatap sepedanya yang baru, ia selalu membanggakan orang-orang yang merakit sepeda itu. Kapan saya bisa merakit sepeda itu? Pertanyaan ini selalu menghantuinya sehingga pada akhirnya ia membongkar sepeda yang utuh itu lalu memisahkan onderdil. Seusai memisahkan sepeda menjadi beberapa bagian, ia mengalami kesulitan dan tidak tahu bagaimana mengutuhkan kembali masing-masing onderdil menjadi sebuah sepeda yang sempurna. Peristiwa ini akhirnya diketahui oleh pastor paroki dan sahabat saya dimarahi.  

            Cerita sederhana di atas menggambarkan betapa gamblangnya pemikiran sahabat saya yang tidak memiliki potensi tetapi berani menggambil resiko dari uji coba pemahaman yang minim akan dunia perakitan sepeda. Hal ini juga  jelas menunjukkan sebuah egoisme yang kuat dalam diri sahabatku yang tidak mau mencari informasi dan meminta bantuan pihak lain. Dengan peristiwa ini ia pada akhirnya menatap resah pada onggokan onderdil sepeda dan sepeda yang disanjung-sanjung sebelumnya tidak lagi menjalani fungsinya sebagaimana mestinya.

                                                       

***


KETIKA bapak Proklamator menyatukan bangsa ini, ia selalu mendengungkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengungan sang Proklamator ini menunjukkan adanya upaya untuk menjaga suatu keutuhan  wilayah RI yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jiwa pemersatu selalu hidup dalam diri sang proklamator bahkan bisa dilihat sebagai mesin penggerak utama (motor primum) yang terus menggilasi nurani anak bangsa untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Menjaga keutuhan bangsa berarti berani memandang orang lain sebagai bagian dari anggota bangsa ini, tanpa perlu bertanya ia berasal dari suku mana. Keterbukaan hati antar wilayah telah menghantarkan bangsa menuju pada titik pemahaman yang absah tentang negara dan keutuhannya.

            Para pemimpin lain pasca-Soekarno memerintah secara agak berbeda. Di tangan Soeharto, demi persatuan dan kesatuan, banyak orang yang lenyap nyawanya ketika berani berbicara dan mengeritik pemerintahannya yang pretorian. Dia pada akhirnya tumbang dan diganti Habibie. Pada masa transisi yang begitu singkat ia berani memisahkan Timtim dari Indonesia lewat dua opsi yang digulirkannya. Muncul pemimpin lain seperti Gus Dur dan Megawati di atas pentas republik dan dua tokoh ini  masih tetap menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa. Kepemimpinan mereka menggambarkan sosok nasionalis yang gampang diterima oleh semua kalangan.

            Pasca reformasi, para pemimpin bangsa terus menggaungkan persatuan dan kesatuan tanpa henti karena mengingat bahwa bangsa ini terajut dari kebhinekaan.  Calon pemimpin baru pasca Jokowi-Amin mulai bermunculan. Kemunculan figur ini juga memunculkan naluri kebangsaan mereka. Apakah capres yang akan muncul nanti menjadi jembatan yang mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, ataukah membawa politik identitas yang memecah belah hanya untuk mencari kursi kekuasaan? Hanya rakyat yang bisa menjawabnya.***(Valery Kopong)

 

Posting Komentar

0 Komentar