Akhir-akhir ini, pemberitaan tentang pribadi seorang Lionel Messi dan Timnas Argentina terus mewarnai media massa, baik melalui youtobe dan berita on line dengan menampilkan aneka versi. Hal ini wajar karena Messi sang maestro sepak bola kelahiran Rosario memimpin Timnas Argentina berhasil merengkuh prestasi mayor internasional bergengsi yaitu Juara Piala Dunia dalam masa penantian selama 36 tahun. Dalam partai final, Argentina berhasil 'merevans’, membalas kekalahan atas Timnas Prancis pada 16 besar perhelatan World Cup di Rusia 2018 dan kali ini Argentina menang dengan skor 4-2 melalui drama adu pinalti setelah pada babak normal dan perpanjangan waktu skor akhir 3-3.
Dengan
kemenangan ini, banyak mendapat apresiasi dari berbagai pihak namun ada
perdebatan dari kalangan tertentu dengan
berbagai argumentasi pembenarnya. Ada yang mengatakan bahwa Argentina juara
karena sudah ada scenario/setingan, gol Messi kebanyakan dari titik putih bukan
karena open play, diuntungkan karena sistim
VAR dan lain-lain. Di sisi lain, perdebatkan
tersebut berkaitan juga dengan sisi perbandingan antara Christian Ronaldo,
Kilian Mbape, Pele dan Maradona, karena banyak orang menilai Messi belum berbicara banyak pada
level internasional dibandingkan dengan
beberapa pemain disebutkan di atas.
Terlepas
dari segala kontroversi tersebut, maka yang
menjadi pertanyaan apakah, betul-betul memberikan pertimbangan secara
objektif dengan melihat segala plus-minus, kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing pemain?
Pada
setiap perlombaan/kejuaraan seperti olahraga, seni, dan lain lain, tentu
indikatornya adalah prestasi dan trophy,
baik penilaian secara individu maupun tim. Dalam kejuaraan sepak bola, selain
juara, ada indikator lain yaitu jumlah
gol, asist, pemain terbaik, pemain muda terbaik, penjaga gawang terbaik dan
lain-lain. Di samping itu, dalam dunia
olahraga, begitu banyak rekor yang diberikan
sebagai bentuk penghargaan kepada pemain. Hal ini, menunjukkan bahwa
semua itu penting, masing-masing dengan segala kelebihan dan keunggulannya.
Namun, semuanya tetap mengerucut pada trophy dan prestasi. Bahasa sederhananya,
boleh menciptakan gol sebanyak-banyaknya, namun tidak juara maka sama saja. Dan
Messi sudah membuktikan itu.
Namun,
setelah Messi berhasil meraih gelar Juara Dunia pun masih menuai kontroversi karena
pada tiga edisi piala dunia dan Copa Amerika sebelumnya, Messi selalu gagal menggapai puncak prestasi,
hanya finalis Piala Dunia tahun 2014 (kalah dengan Jerman) dan tiga kali
finalis Copa Amerika dan baru pada tahun
2021 sukses menapaki tangga juara. Dengan minim prestasi pada
pagelaran kejuaraan mayor sepak bola, maka Messi menjadi sasaran kritik
bahkan cibiran dan sindiran.
Banyak
orang menilai, Messi hanya sukses di klub FC Barcelona dengan memenangkan
berbagai kejuaraan namun di level internasional, Messi melempen. Kritikan itu
selalu diperbandingkan dengan Ronaldo. Namun...kritikan hanya dialamatkan pada
seorang Messi terlalu berlebihan, karena permainan bola sepak adalah permainan
Tim, bukan individu, maka wajarlah kalau Messi dan Timnas belum beruntung. Selama
perhelatan piala dunia dan Copa Amerika, Messi selalu diberikan beban yang
teramat berat di pundak untuk menjadi juara. Di sisi lain, suasana dan chemistri di klub Barcelona sangat
berbeda dengan di Timnas yang bermain
bersama hanya pada periode tertentu saja. Dengan demikian, secara
individu, Messi boleh hebat, tetapi tidak didukung oleh Tim maka belum mencapai
juara. Dan dalam bola kaki, faktor non teknis-keberuntungan juga menjadi faktor
penentu. Siapa yang menduga, Denmark bisa menjuarai piala Eropa tahun 1992 lalu,
pada hal sebenarnya Denmark sudah gugur di fase kualifikasi, cuma menggantikan
Yugoslovakia yang terkena sanksi FIFA karena suasana politik dalam negeri yang
tidak kondusif. Atau....siapa yang menduga, Yunani berhasil merengkuh Piala
Eropa tahun 2004, setelah di babak final menghempaskan ambisi Ronaldo dan
Portugal untuk pertama kali merengkuh
gelar Piala Eropa, padahal Portugal diperkuat oleh pemain-pemain hebat
pada segala lini. Atau secara individu,
Roberto Bagio yang begitu sangat bersinar pada babak penyisihan sampai
pada semi final piala dunia tahun 1994,
namun gagal mengeksekusi pinalti di babak final melawan Brasil sehingga Brasil
menjadi juara. Dan.. ada juga yang
merebut gelar ballon d'or, tapi tidak pernah bermain di Piala Dunia, sebut saja
Geroge Weah.
Untuk
itu, maka wajarlah kalau Messi dan Argentina pun bisa mengalami nasib yang
sama, yaitu belum berhasil menjadi juara dunia pada edisi sebelum 2022 ini.
Demikian juga Negeri Belanda, selama ini selalu dijuluki, Juara tanpa Mahkota.
Permainan Belanda begitu atraktif dengan total foot ball warisan Johan Cruif, dengan
diperkuat pemain-pemain kaliber seperti Johan Cruif dan pemain generasi
sesudahnya yaitu Marco Van Basten, Ruud Gulit dan lain-lainnya belum
berhasil menjadi Juara Piala Dunia, hanya
mencicipi atmosfir finalis.
Kritikan-kritikan
terhadap Messi yang selalu diperhadapkan dengan Ronaldo, karena Ronaldo bisa
menjajaki beberapa negara Eropa dan mampu menjadi top skore dan Juara pada
beberapa liga di Eropa. Namun netizen lupa bahwa Messi pernah menjuarai Piala
Dunia U-20 tahun, juara Olimpiade dan
menjadi finalis Piala Dunia pada tahun 2014, sedangkan Ronaldo baru menjadi
Juara Piala Eropa pada tahun 2016 dan juara
4 Piala Dunia. Soal Messi hanya membela satu klub, itu sebagai rasa syukur
kepada FC Barcelona yang telah menyelamatkan Messi dari kelainan hormon di
bagian kaki. Dan di sisi lain, banyak juga pemain yang begitu super dan hebat
di suatu klub, namun nasibnya meredup setelah pindah klub. Sebut saja, Shevcenko,
yang begitu hebat di AC Milan, namun nasibnya meredup setelah pindah ke klub
Inggris Chelsea. Philip Coutinho, begitru bersinar di Liverpool, namun tidak bisa
berkembang saat menggunakan seragam Blaugrana/Barcelona. Dengan demikian, bisa bermain pada banyak klub, bukan menjadi parameter utama kesuksesan seorang pemain, namun tetap pada
faktor Juara dan Trophy, baik secara individu maupun secara Tim.
Dengan
begitu, Messi dan Argentina berhasil
menjadi Champione pada perhelatan Juara Piala Dunia tahun 2022, melengkapi kesempurnaan prestasi yang dicapai
oleh Messi dalam satu dekade terakhir ini. Soal kehebatan Messi, diakui oleh
banyak kalangan, media, pelatih, termasuk
pemain-pemain hebat dari berbagai negara
yang sebenarnya dikalahkan Messi. Dibandingkan dengan Pele, walau juara dunia 3
kali, namun Pele tidak menjuarai Piala Champion
karena mendapat larangan dari Brasil untuk bermain di benua Eropa, Maradona pun tidak menjuarai Piala Champion
dan Ronaldo pun belum menjuarai Piala
Dunia. Secara individu, kualitas Messi
sangat luar biasa, pemain komplit yang tidak dimiliki pemain lain di dunia. Messi mampu mengkreasikan peluang, mendribel
bola yang sangat brilian, mampu melewati pemain bahkan kiper pun diakali, memberikan
asist yang sangat memanjakan, dan bisa menciptakan gol. Semua keahlian itu dilakukan sama baiknya,
sehingga banyak orang menyatakan ketrampilan
mengolah si kulit bundar dari Messi merupakan bakat alamiah dengan intelegensia/kecerdasan tingkat tinggi. Lalu di pihak lain, Messi lahir dengan
kelainan hormon, sehingga boleh dikatakan Messi memilki kekurangan fisik, namun
bisa tampil sangat bagus..
Soal
kritikan bahwa banyak gol yang dicetak Messi melalui pinalti, tapi, banyak
pertandingan juga yang juaranya ditentukan melalui adu pinalti dan
banyak gol-gol pinalti. Namun aksi brilian Messi dengan terciptanya gol pada
pertandingan melawan Kroasia, Meksiko dan Australia, maka secara tidak langsung
menepis dan menggugurkan semua nada-nada kritikan yang selalu dialamatkan kepada Messi. Dan soal jumlah gol yang lebih
banyak dari Ronaldo, maka sangatlah objektif kalau dihitung berdasarkan indeks
gol.
Untuk
itu, maka pantas dan layak Messi dinobatkan sebagai GOAT, pemain terbaik
sepanjang massa karena semua trophy dari berbagai tingkatan, mulai dari level
klub sampai pada tingkat dunia sudah
berhasil direngkuhnya. Secara pribadi berbagai gelar dan trophy dan secara tim,
sudah 42 trophi yang sudah berhasil diraihnya, hanya kalah dari Dani Alves yang
sudah mencapai 43 trophi, namun secara individu Alves kalah jauh.
Namun,
ada satu kelemahan FC Barcelona saat masih diperkuat Leonel Messi yaitu tidak
mau menerapkan strategi bertahan ketika sudah dalam posisi menang. Selalu
menerapkan strtagi menyerang tanpa melihat pertahanannya. Hal ini sangat
riskan. Beberapa kali, FC Barcelona hampIr menjuarai Liga, memimpin klasemen
dalam beberapa waktu yang lama, namun terpaksa harus tergelincir dan merelahkan
mahkota juara La Liga kepada klub lain karena
kalah di penghujung liga.(@Simon Kopong Seran).
0 Komentar