Ketika
menghadapi sebuah momen penting, seseorang tentu merenung dan merefleksikan
kisah perjalanan hidup. Pada ulang tahunku, Kamis 5 Januari di tahun 2023 ini,
saya diberi kesempatan untuk memberikan “story telling” pada anak-anak SD Insan
Teratai. Dalam story telling itu, saya diminta untuk mensyeringkan pengalaman
hidup dan memaknai hidup, dari waktu ke waktu. Saya mengisahkan ulang apa yang
dialami oleh mama saya saat melahirkanku di kampung yang terpencil, jauh dari
rumah sakit. Saya sendiri ketika dilahirkan, dibantu oleh “dukun kampung” yang
oleh masyarakat setempat mempercayakan padanya untuk membantu proses
persalinan. Dalam kondisi seadanya, mama saya melahirkanku di rumah. Tali pusar
dipotong, bukan dengan gunting yang steril. Tali pusarku dipotong dengan
menggunakan bilahan bambu yang sangat tajam.
Mendengar ceritaku ini, anak-anak tercengang dan heran karena dalam keterbatasan itu, seorang ibu di kampung bisa melahirkan dan ditolong oleh orang kampung yang tidak memiliki bekal medis. Namun dalam keterbatasan itu, dukun kampung menjalankan tugasnya dan berhasil dengan baik. Tak terhitung, berapa banyak bayi yang sudah diselamatkan dari tangan dingin seorang dukun kampung? Momentum mengenang kembali ulang tahun kelahiran pada setiap tahun, sosok-sosok penting yang berperan menghadirkanku di dunia ini menjadi tak luput dari ingatanku.
Aku tumbuh dan berkembang menjadi “orang” melalui proses panjang. Mengingat kembali kisah perjalanan hidup yang penuh dengan pertarungan ini, rasanya seperti mimpi tetapi di balik itu semua, Tuhan telah merancang kehidupan yang indah buat saya. Untuk bisa meraih masa depan dengan yang lebih baik, satu-satunya jalan adalah melalui jalur pendidikan. Karena itu setelah tamat dari SD, saya melanjutkan ke SMP. Ke SMA mana setelah tamat SMP? Ini pertanyaan penting karena justeru pada titik ini, saya pada akhirnya mengambil keputusan walaupun keputusan itu tidak disetujui oleh banyak orang.
Niat dan tekad yang kuat membuat saya memilih untuk menempuh pendidikan di Seminari San Dominggo – Hokeng. Proses untuk masuk juga butuh waktu dan yang jauh lebih penting adalah soal biaya yang saat itu lumayan besar. Persoalan biaya menjadi kendala utama karena orang tua saya hanya seorang petani biasa. Kami hidup pas-pasan tetapi dalam kehidupan yang serba pas-pasan itu, saya pada akhirnya bisa memulai pendidikan yang lebih baik walau dengan risiko, bapakku sendiri harus merantau ke Malaysia. Negeri Jiran menjadi tumpuan harapan keluargaku. Kurang lebih empat tahun, bapakku bekerja di Malaysia, selain mengirim uang untuk keluarga, juga untuk membiayai pendidikan di seminari menengah.
Perjalanan hidupku dalam dunia pendidikan mulai terbuka. Empat tahun saya lewati dan pada akhirnya saya menentukan pilihan untuk masuk ke seminari tinggi. Ada banyak pilihan waktu itu. Saya pada akhirnya memilih ke novisiat St.Yosef -Nenuk-Atambua. Dua tahun menjalani masa novisiat, saya bersama teman-teman harus menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik – Ledalero – Maumere. Belajar untuk menyelesaikan pendidikan menjadi sebuah keharusan. Setelah menyelesaikan pendidikan, pada akhirnya bersama teman-teman diminta untuk mengambil keputusan akhir. Bersama beberapa teman, kami memilih jalan lain dan mengabdi sebagai seorang awam. ***(Valery Kopong)
0 Komentar