Unordered List

6/recent/ticker-posts

Belajar Dari Suku Terasing

 

Di stasiun kereta api Tanah Abang, kami meluncur ke arah Rangkas Bitung-Banten. Kereta meluncur  di atas rel yang begitu kecil namun tangguh. Kedua ujung rel kereta tak pernah bertemu, apalagi bersinggungan, mirip dengan kehidupan suku terasing dan masyarakat modern saat ini.  Sebuah perjalanan jauh dan letih berlabuh di stasiun tujuan. Saya dan beberapa teman turun dari gerbong dan sebuah bus mini sudah menunggunya. Ke mana kami pergi? Kami dibawa ke tepi hutan, tepatnya di wilayah suku Baduy, sebuah suku terasing yang berada dekat dengan bibir ibu kota negara.

Memang, agak sulit untuk masuk ke wilayah itu tetapi karena kami menggunakan jasa seorang guide sekaligus peneliti suku itu dari tahun 1973 dan penduduk asing itu sudah mengenalnya secara baik maka kami diperbolehkan masuk dan tinggal dengan suku itu. Banyak aturan yang “harus” dipatuhi ketika berkunjung ke daerah itu. “Tidak diperbolehkan membawa kamera atau peralatan teknologi lain.” Mengapa tidak diperbolehkan? Karena suku terasing ini tidak menerima produk teknologi modern dan bahkan berkomitmen untuk jauh dari sentuhan hal-hal modern lainnya.

Mengenal Suku Terasing

Banyak suku terasing di Indonesia yang masih hidup dan bertahan. Demi mempertahankan hidup, mereka perlu melestarikan hutan yang menjadi bagian penting dalam menyokong kehidupan mereka. Suku ini dibagi menjadi dua kelompok penting, yaitu suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Apa bedanya kedua suku ini? Suku Baduy Dalam adalah orang-orang yang masih mempertahankan adat istiadat secara ketat. Sedangkan Suku Baduy Luar adalah orang-orang yang dikeluarkan dari Baduy Dalam karena melanggar aturan. Untuk bisa membedakan kedua suku ini terlihat secara jelas dari pakaian yang dipakai. Suku Baduy Dalam menggunakan pakaian yang merupakan hasil tenunan sendiri. Sedangkan Suku Baduy Luar sudah menggunakan pakaian biasa dan mengkonsumsi hasil teknologi modern.

Ada tiga kampung yang berada di Suku Baduy Dalam, yaitu Cikesik, Cikertawana dan Cibeo. Tiga kampung ini, dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan perannya masing-masing sesuai tugas yang digariskan oleh Pu’un (Kepala kampung). Kampung Cikesik mengembangkan kehidupan keagamaan, kampung Cikertawana menghidupkan seni budaya dan kampung Cibeo mengembangkan budaya bertani selaras alam. Di kampung Cikesik terasa suasa sepi dan di sinilah seorang Pu’un berdiam diri untuk terus berdoa dan tidak pernah keluar dari kampung itu selama hidupnya. Mereka mengenal agama asli yang disebut sebagai agama ‘sunda wiwitan.’ Ritual keagamaan yang dijalankan secara masal hanya berlaku sekali setahun. Mereka juga menjalani masa puasa, layaknya seperti seorang muslim.

Hanya semalam berada di Baduy Dalam, rasanya seperti larut dalam suasana sunyi berkepanjangan. Malam kami lalui dalam gelap. Tak ada listrik, dan tidak ada penerangan lain. Yang ada adalah sisa cahaya dari tungku yang dipakai untuk masak. Setelah masak, api pun padam, dan kami larut dalam keheningan. Ketika kami hendak tidur malam di rumah panggung itu, kami masih diatur. Posisi tidur yaitu muka menghadap ke utara dan kaki menghadap ke selatan. Hal ini menunjukkan penghormatan kepada roh nenek moyang mereka. Tidur malam kami lalui dalam suasana aman dan paginya sebelum mandi di sungai pun kami masih diingatkan agar saat mandi tidak diperbolehkan memakai sabun dan saat menggosok gigi, tidak diperkenankan menggunakan odol gigi karena hal ini dianggap mencemarkan lingkungan.  Memang berat bagi kami ketika tidak diperbolehkan menggunakan sabun dan odol gigi saat mandi, tetapi pada akhirnya kami memahami tentang keberpihakkan mereka pada alam yang bersih, jauh dari sentuhan bahan-bahan kimia.

Filosofi Hidup

Filosofi hidup tidak hanya dimiliki oleh masyarakat modern saja. Masyarakat primal (baca: suku terasing) pun mempunyai filosofi hidup yang memiliki muatan kemanusiaan yang mendalam. “Lojor temenung dipotong, pondok temenung disambung.” (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Filosofi hidup ini memiliki arti bahwa hidup dengan keteguhan atau tidak boleh dirubah. Apa yang dilarang tidak dilanggar. Apa yang benar dikatakan benar, yang salah harus disalahkan. Filosofi ini dipegang teguh dalam keseharian hidup. Aturan yang ditetapkan, walaupun berat tetapi dijalani sebagai upaya dalam mewujudkan keharmonisan hidup bersama.

Aturan mana yang dianggap berat? Apabila mereka bepergian ke Jakarta atau ke kota-kota sekitar Tangerang, mereka tidak diperbolehkan menggunakan transportasi. Ke mana pun mereka pergi, harus berjalan kaki. Ketika bertanya pada beberapa orang yang kami jumpai tentang aturan ini, apakah ada kemungkinan untuk naik kereta atau mobil bila bepergian jauh Karen hal itu tidak diketahui oleh kepala suku? Kan ada kemungkinan untuk bersembunyi diri dan mengalami enaknya naik mobil. Mereka tetap tidak mau dan takut. Walau bepergian sendirian dan sulit dikontrol tetapi ketika terjadi pelanggaran, misalnya naik kereta atau mobil, pasti diketahui oleh Pu’un. Seorang Pu’un memiliki indra ketujuh yang sanggup menerawang jauh dan memantau seluruh kehidupan masyarakatnya.

Mereka yang pernah melanggar aturan ketika berada di luar wilayah Baduy, pastinya diketahui dan sanksi yang akan diberikan adalah dikeluarkan dari Suku Baduy Dalam karena telah dianggap menyeleweng dan menodai aturan yang merupakan warisan berharga. Aturan menjadi jalur penentu sebuah keteraturan hidup, seperti rel kereta api yang kedua ujungnya tidak pernah ketemu sebagai jalan terbaik dalam memelihara sebuah perjalanan yang aman.

Apa yang perlu kita belajar dari suku terasing ini? Pertama, ketegasan pemimpin. Ketua suku (Pu’un), yang walaupun dipilih dalam demokrasi adat tetapi diyakini sebagai pemimpin yang ideal. Seluruh tindakan yang dilakukan terutama dalam memberikan sanksi tidak diprotes oleh warganya. Hukuman yang diberikan adalah mengeluarkannya dari masyarakat dan pergaulan umum karena dianggap telah menodai kehidupan bersama.   Para pelanggar harus dikorbankan demi sebuah keharmonisan hidup.

Sumber: www.kumparan.com
 Kedua, keselarasan hidup dengan alam. Ketika hutan-hutan di wilayah lain di Indonesia  dibalak secara liar, tetapi di Baduy, masyarakatnya masih memelihara hutan sebagai ‘jantung’ kehidupan masa depan. Memang sistem pertanian mereka secara berpindah-pindah tetapi keutuhan tanah masih dipertahankan secara baik. Contoh yang paling nyata adalah ketika membersihkan areal pertanian, mereka hanya menyiangi rumput dan dibakar, setelah itu ditanam padi. Tanah tidak diperbolehkan untuk digembur karena merusak lingkungan. Hal lain yang diperhatikan adalah pemilihan bibit yang akan ditanam. Selain menanam padi, mereka juga diperbolehkan menanam pisang, kacang panjang, timun, talas dan durian. Sedangkan tanaman yang tidak diperbolehkan untuk ditanam adalah singkong dan pepaya. Kedua jenis tanaman ini dianggap merusak tanah.   

Tanah bagi mereka adalah urat nadi kehidupan. Karena itu di dalam mengolah tanah pertanian maupun mendirikan rumah, gundukan tanah tetap dipertahankan untuk menjaga keutuhan tanah leluhur. Sampai kapankah suku ini mempertahankan diri? Barangkali keberlangsungan suku ini masih lama, seiring dengan tidak diperbolehkan masyarakatnya untuk tidak mengenyam pendidikan. Apabila generasi berikutnya diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan maka mereka menjadi “melek” dan suatu saat membaur dengan kehidupan modern dan lupa dengan tata aturan yang telah sekian tahun menetap di bumi Padjajaran itu. *** (Valery Kopong) 

 

Posting Komentar

0 Komentar