Di stasiun
kereta api Tanah Abang, kami meluncur ke arah Rangkas Bitung-Banten. Kereta
meluncur di atas rel yang begitu kecil
namun tangguh. Kedua ujung rel kereta tak pernah bertemu, apalagi bersinggungan,
mirip dengan kehidupan suku terasing dan masyarakat modern saat ini. Sebuah perjalanan jauh dan letih berlabuh di
stasiun tujuan. Saya dan beberapa teman turun dari gerbong dan sebuah bus mini
sudah menunggunya. Ke mana kami pergi? Kami dibawa ke tepi hutan, tepatnya di
wilayah suku Baduy, sebuah suku terasing yang berada dekat dengan bibir ibu
kota negara.
Memang, agak sulit untuk masuk ke
wilayah itu tetapi karena kami menggunakan jasa seorang guide sekaligus peneliti suku itu dari tahun 1973 dan penduduk
asing itu sudah mengenalnya secara baik maka kami diperbolehkan masuk dan
tinggal dengan suku itu. Banyak aturan yang “harus” dipatuhi ketika berkunjung
ke daerah itu. “Tidak diperbolehkan membawa kamera atau peralatan teknologi
lain.” Mengapa tidak diperbolehkan? Karena suku terasing ini tidak menerima
produk teknologi modern dan bahkan berkomitmen untuk jauh dari sentuhan hal-hal
modern lainnya.
Mengenal Suku Terasing
Banyak suku terasing di Indonesia
yang masih hidup dan bertahan. Demi mempertahankan hidup, mereka perlu
melestarikan hutan yang menjadi bagian penting dalam menyokong kehidupan
mereka. Suku ini dibagi menjadi dua kelompok penting, yaitu suku Baduy Dalam
dan Suku Baduy Luar. Apa bedanya kedua suku ini? Suku Baduy Dalam adalah orang-orang
yang masih mempertahankan adat istiadat secara ketat. Sedangkan Suku Baduy Luar
adalah orang-orang yang dikeluarkan dari Baduy Dalam karena melanggar aturan. Untuk
bisa membedakan kedua suku ini terlihat secara jelas dari pakaian yang dipakai.
Suku Baduy Dalam menggunakan pakaian yang merupakan hasil tenunan sendiri. Sedangkan
Suku Baduy Luar sudah menggunakan pakaian biasa dan mengkonsumsi hasil
teknologi modern.
Ada tiga kampung yang berada di
Suku Baduy Dalam, yaitu Cikesik, Cikertawana dan Cibeo. Tiga kampung ini, dalam
kehidupan sehari-hari memperlihatkan perannya masing-masing sesuai tugas yang
digariskan oleh Pu’un (Kepala
kampung). Kampung Cikesik mengembangkan kehidupan keagamaan, kampung
Cikertawana menghidupkan seni budaya dan kampung Cibeo mengembangkan budaya
bertani selaras alam. Di kampung Cikesik terasa suasa sepi dan di sinilah
seorang Pu’un berdiam diri untuk terus berdoa dan tidak pernah keluar dari
kampung itu selama hidupnya. Mereka mengenal agama asli yang disebut sebagai agama
‘sunda wiwitan.’ Ritual keagamaan yang dijalankan secara masal hanya berlaku
sekali setahun. Mereka juga menjalani masa puasa, layaknya seperti seorang muslim.
Hanya semalam berada di Baduy
Dalam, rasanya seperti larut dalam suasana sunyi berkepanjangan. Malam kami
lalui dalam gelap. Tak ada listrik, dan tidak ada penerangan lain. Yang ada
adalah sisa cahaya dari tungku yang dipakai untuk masak. Setelah masak, api pun
padam, dan kami larut dalam keheningan. Ketika kami hendak tidur malam di rumah
panggung itu, kami masih diatur. Posisi tidur yaitu muka menghadap ke utara dan
kaki menghadap ke selatan. Hal ini menunjukkan penghormatan kepada roh nenek
moyang mereka. Tidur malam kami lalui dalam suasana aman dan paginya sebelum
mandi di sungai pun kami masih diingatkan agar saat mandi tidak diperbolehkan
memakai sabun dan saat menggosok gigi, tidak diperkenankan menggunakan odol
gigi karena hal ini dianggap mencemarkan lingkungan. Memang berat bagi kami ketika tidak
diperbolehkan menggunakan sabun dan odol gigi saat mandi, tetapi pada akhirnya
kami memahami tentang keberpihakkan mereka pada alam yang bersih, jauh dari
sentuhan bahan-bahan kimia.
Filosofi Hidup
Filosofi
hidup tidak hanya dimiliki oleh masyarakat modern saja. Masyarakat primal
(baca: suku terasing) pun mempunyai filosofi hidup yang memiliki muatan
kemanusiaan yang mendalam. “Lojor
temenung dipotong, pondok temenung disambung.” (Panjang tidak boleh dipotong,
pendek tidak boleh disambung). Filosofi hidup ini memiliki arti bahwa hidup
dengan keteguhan atau tidak boleh dirubah. Apa yang dilarang tidak dilanggar.
Apa yang benar dikatakan benar, yang salah harus disalahkan. Filosofi ini dipegang teguh dalam
keseharian hidup. Aturan yang ditetapkan, walaupun berat tetapi dijalani
sebagai upaya dalam mewujudkan keharmonisan hidup bersama.
Aturan mana yang dianggap berat?
Apabila mereka bepergian ke Jakarta atau ke kota-kota sekitar Tangerang, mereka
tidak diperbolehkan menggunakan transportasi. Ke mana pun mereka pergi, harus
berjalan kaki. Ketika bertanya pada beberapa orang yang kami jumpai tentang
aturan ini, apakah ada kemungkinan untuk naik kereta atau mobil bila bepergian
jauh Karen hal itu tidak diketahui oleh kepala suku? Kan ada kemungkinan untuk
bersembunyi diri dan mengalami enaknya naik mobil. Mereka tetap tidak mau dan
takut. Walau bepergian sendirian dan sulit dikontrol tetapi ketika terjadi
pelanggaran, misalnya naik kereta atau mobil, pasti diketahui oleh Pu’un.
Seorang Pu’un memiliki indra ketujuh yang sanggup menerawang jauh dan memantau
seluruh kehidupan masyarakatnya.
Mereka yang pernah melanggar
aturan ketika berada di luar wilayah Baduy, pastinya diketahui dan sanksi yang
akan diberikan adalah dikeluarkan dari Suku Baduy Dalam karena telah dianggap
menyeleweng dan menodai aturan yang merupakan warisan berharga. Aturan menjadi
jalur penentu sebuah keteraturan hidup, seperti rel kereta api yang kedua
ujungnya tidak pernah ketemu sebagai jalan terbaik dalam memelihara sebuah
perjalanan yang aman.
Apa yang perlu kita belajar dari
suku terasing ini? Pertama, ketegasan
pemimpin. Ketua suku (Pu’un), yang walaupun dipilih dalam demokrasi adat tetapi
diyakini sebagai pemimpin yang ideal. Seluruh tindakan yang dilakukan terutama
dalam memberikan sanksi tidak diprotes oleh warganya. Hukuman yang diberikan
adalah mengeluarkannya dari masyarakat dan pergaulan umum karena dianggap telah
menodai kehidupan bersama. Para
pelanggar harus dikorbankan demi sebuah keharmonisan hidup.
Kedua, keselarasan hidup dengan alam. Ketika hutan-hutan di wilayah
lain di Indonesia dibalak secara liar,
tetapi di Baduy, masyarakatnya masih memelihara hutan sebagai ‘jantung’
kehidupan masa depan. Memang sistem pertanian mereka secara berpindah-pindah
tetapi keutuhan tanah masih dipertahankan secara baik. Contoh yang paling nyata
adalah ketika membersihkan areal pertanian, mereka hanya menyiangi rumput dan
dibakar, setelah itu ditanam padi. Tanah tidak diperbolehkan untuk digembur
karena merusak lingkungan. Hal lain yang diperhatikan adalah pemilihan bibit
yang akan ditanam. Selain menanam padi, mereka juga diperbolehkan menanam
pisang, kacang panjang, timun, talas dan durian. Sedangkan tanaman yang tidak
diperbolehkan untuk ditanam adalah singkong dan pepaya. Kedua jenis tanaman ini
dianggap merusak tanah. Sumber: www.kumparan.com
Tanah bagi mereka adalah urat nadi
kehidupan. Karena itu di dalam mengolah tanah pertanian maupun mendirikan
rumah, gundukan tanah tetap dipertahankan untuk menjaga keutuhan tanah leluhur.
Sampai kapankah suku ini mempertahankan diri? Barangkali keberlangsungan suku
ini masih lama, seiring dengan tidak diperbolehkan masyarakatnya untuk tidak
mengenyam pendidikan. Apabila generasi berikutnya diperbolehkan untuk mengenyam
pendidikan maka mereka menjadi “melek” dan suatu saat membaur dengan kehidupan
modern dan lupa dengan tata aturan yang telah sekian tahun menetap di bumi
Padjajaran itu. *** (Valery Kopong)
0 Komentar