Ketika berhadapan dengan realitas
hidup, terbetik pertanyaan nakal, mengapa yang baik sering kalah terhadap yang
jahat? Inilah pertanyaan yang sering
menggelisahkan publik ketika berhadapan dengan kenyataan hidup di negeri ini.
Terhadap kenyataan ini, religi mencoba menjawabnya
dengan persepsi dan perenungan mengenai “setan dan malaikat.” Lebih jauh
lagi spiritualitas mencoba menjawabnya dengan “perang tanpa usai antara roh
baik dan roh jahat.” Di sinilah terlihat
sebuah pemetaan yang jelas antara yang baik dan yang jahat. Tetapi apakah
setiap masyarakat sanggup melihat kebenaran sebagai yang benar? Ataukah justeru
sebaliknya, melihat sesuatu yang salah untuk dibenarkan?
Membaca realitas kebenaran di
negeri ini mirip dengan membaca abu-abunya realitas. Di sini, perlu dibutuhkan
ruang hening yang mendalam agar setiap manusia menentukan kebenaran menurut
norma dan hukum yang berlaku dan bukannya
atas dasar uang dan kekuasaan.
Fakta berbicara lain, bahwa dominasi kekuasaan terlampau kuat hingga kebenaran sesungguhnya lenyap di mata publik dan yang muncul adalah
kebenaran dari hasil rekayasa penguasa. Masih pedulikah kita pada kehidupan
sosial dan berpihak pada kebenaran tanpa harus membuat rekayasa?
Dalam kumpulan refleksi tentang
hidup ini, Romo Mudji Sutrisno, SJ mengajak pembaca untuk melihat secara jeli
abu-abu kehidupan. Abu-abu kehidupan yang dimaksudkan adalah sikap manipulasi
manusia terhadap kebenaran itu sendiri. Memang berat untuk mengatakan sesuatu
sebagai yang benar. Tetapi perlu terus dibangun sikap peduli terhadap sesama
yang menjadi korban ketidakadilan. Ada ketakutan publik yang sedang melanda,
bahkan ketakutan massal itu sebagai sebuah realitas yang mesti diterima.
Ketakutan massal ini lebih disebabkan oleh tekanan publik yang lebih
bersekutu pada ketidakbenaran fakta
untuk kemudian dimanipulasi menjadi kebenaran semu.
Meminjam bahasa Romo Mudji, “Kita
sebenarnya tidak takut kepada ketinggian, namun yang kita takuti adalah bila
kita jatuh dari ketinggian itu.” Masih sebagian besar orang yang tidak takut
mengatakan tentang kebenaran, tetapi menjadi ketakutan adalah, apakah orang lain juga mengatakan tentang sesuatu
yang benar seperti apa yang ia katakan. Karena ketika ia mengatakan kebenaran
berseberangan dengan publik maka resiko yang diterima adalah ia harus
dikucilkan dari “panggung pergaulan masyarakat.” Resiko pengucilan diri
seseorang inilah yang membuat orang takut mengatakan yang benar secara
sendirian. “Orang sebenarnya tidak takut akan cinta, namun yang ditakuti adalah
bila ia tidak dicintai balik. You are not
afraid of love. You are afraid of not being loved back.” Kiranya kebenaran
semakin nyata berpihak pada semua lapisan masyarakat.*** (Valery Kopong)
0 Komentar