Langkah gadis bocah itu terhenti di lorong
panti yang berada dekat dengan “bibir ibu kota, Jakarta.” Sorotan cahaya terus
menembus ruang yang dihuni oleh sekitar duapuluhan orang yang menyandang cacat
dan yatim piatu itu. Di bawah rintik-rintik hujan yang sedikit membasahi tanah
Bintaro, Tangerang Selatan, seakan membawa
“aroma gurau” yang semakin alot. Mereka sepertinya tidak memikirkan tentang
masa lampau di mana telah menyeretkan mereka pada panti itu. Mereka juga tidak
menyalahkan orang tua bahkan Tuhan sendiri yang mentakdirkan mereka dengan
anggota tubuh yang cacat. Di atas kursi roda itu, sebagian orang-orang cacat
menghabiskan waktu sambil menatap sebuah masa depan yang penuh dengan
ketidakpastian.
Di titian
waktu, mereka terus merenung tentang hidup dan perjuangan yang bermula dari
diri mereka. Mengapa perjuangan hidup mesti bermula dari dalam diri mereka? Ya,
bertahun-bertahun lamanya mereka bergulat dengan keadaan diri mereka yang cacat
dan jauh dari sentuhan kasih sayang orang tua. Karena keadaan diri mereka yang
tidak lazim, membuat mereka tersingkir, termarginal dari panggung pergaulan hidup. Mereka coba bertahan
dan menerima diri apa adanya. Cara untuk menerima diri apa adanya sebagai jalan
terbaik untuk mengobati batin yang terluka dan upaya untuk mensyukuri karya
Allah sendiri.
Nasib setiap
manusia memang beda. Ada yang terlahir sebagai manusia normal yang memiliki
anggota tubuh yang lengkap dan ada yang tidak lengkap, alias cacat. Ada yang terlahir
dalam keluarga yang kaya dan tak sedikit orang yang terlahir dalam kemiskinan.
Bagi mereka yang terlahir dalam keluarga kaya, seluruh kebutuhan hidup mereka
terpenuhi secara paripurna. Sedangkan mereka yang terlahir dalam lingkaran
kemiskinan, marginalitas, kekumuhan dan kelatahan terus menggerus hidup di
tengah pusaran waktu. Setiap saat adalah “penantian bermakna” sembari membuka
diri untuk menerima setiap tawaran kemurahan yang datang dari orang lain. “Kemurahan
hati tidak jatuh dari langit. Ia ada karena terus dihidupi oleh orang-orang
yang sungguh merindukannya.” Kerinduan
orang-orang yang patah semangat karena dijejali oleh kemiskinan, merupakan
sebuah undangan, sekaligus “jalan rahmat” yang ditata oleh mereka yang
berpunya.
Panti Sayap ibu
Menelusuri
kota metropolitan di bawah naungan semburan asap knalpot, begitu banyak orang
miskin yang dijumpai. Tangan-tangan mereka terbuka dan wajah mereka menengadah
untuk melihat orang-orang yang lewat dihadapannya. Bagi mereka, jubelan manusia
yang lewat adalah rejeki yang semakin mendekat. Dengan mengantongi sedikit
rupiah yang diberi oleh para pejalan kaki di trotoar atau di bawah traffic
light, merupakan bukti bahwa mereka bisa menyambung hidup untuk esok
hari. Wajah mereka yang meminta-minta di
jalan memperlihatkan kehidupan yang keras dan jauh dari sentuhan perhatian
pemerintah dan orang-orang berduit.
Potret
orang-orang miskin di atas, sedikitnya berbeda dengan orang-orang yang berada
di bawah naungan “Sayap Ibu,” sebuah panti asuhan yang terletak di Bintaro,
Tangerang Selatan-Banten. Keberadaan
orang-orang yang menghuni panti ini memiliki cerita dan latar belakang
tersendiri. Mereka datang dari hampir seantero pelosok tanah air dan membentuk
komunitas, sebuah keluarga besar di bawah naungan Yayasan Sayap Ibu. Ada yang
berasal dari Kalimatan, Sumatera, Sulawesi, Jawa dan Madura. Dengan latar
belakang daerah yang berbeda ini, menampakkan miniaturnya Indonesia yang
terbentuk dari “ketakberdayaan” mereka yang terhempas.
Mengapa
mereka datang dan membentuk komunitas dalam panti asuhan itu? Adakah sejarah
yang melatarinya sehingga mereka dengan terpaksa tercerabut dari keluarga dan
melanglang buana hingga membentuk kelompok baru di bawah “kepakan Sayap Ibu?”
Dari hasil penuturan penulis dengan beberapa penghuni dan pengelola panti itu
ditemukan akar persoalan, mengapa mereka tidak dikehendaki orang tua dan hidup
bersama mereka. Ada beberapa alasan yang muncul, pertama, ada yang kelahirannya tidak diinginkan oleh orang tuanya
(hubungan diluar pernikahan resmi). Hasil hubungan gelap yang membentuk anak
manusia ini pada akhirnya dibuang di jalan dan didapatkan orang, lalu bayi
tersebut dibawa ke panti untuk dirawat. Kedua,
ada anak lahir cacat dan hal ini tidak dihendaki oleh orang tua. Menurut pandangan
orang tua yang datang mengantarkan anaknya yang cacat bahwa keberadaan anak
yang lahir cacat membawa beban bagi keluarga dan karena itu tidak perlu dirawat
di tengah keluarga. Anak yang lahir cacat ini lebih pantas untuk diasuh di
panti. Ketiga, ada anak yang
diserahkan ke panti asuhan “Sayap Ibu” dengan kondisinya yang baik tetapi
karena alasan ekonomi yang kurang mampu dari orang tua maka mereka diserahkan
pada panti asuhan untuk dirawat, layaknya sebagai seorang manusia.
Belitan Gurita Kemiskinan
Kemiskinan di negeri ini tak
akan pernah terhapus. Malah, dari tahun ke tahun tingkat kemiskinan itu terus
bertambah seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikan harga BBM dan
listrik. Di “pergelangan malam,” saat menanti datangnya tahun yang baru, banyak
orang bersikap pesimis bahkan enggan untuk memasuki tahun yang baru itu. Entah
pesimis atau enggan menerima pergantian
tahun, waktu tak pernah berkompromi dengan siapa pun. Jarum jam tak bisa
dijegal perjalanannya dan kalender 2010 yang masih tergantung di dinding
terpaksa “turun tahta” untuk digantikan oleh pangerang baru bernama “tahun
baru.” Ya, tahun baru membawa beban
baru. Tahun baru hanya menggelorakan situasi sesaat, persis di persimpangan
waktu. Setelah gebyar malam dengan lampu-lampu kota yang gemerlap, orang hanyut dalam euforia semu.
Kemiskinan, sebuah
kata yang menetap bersama dengan
terbentuknya bumi ini. Akar kemiskinan terus digali oleh pelbagai instansi,
baik pemerintah maupun swasta tetapi tak satu pun sanggup memberantas kemiskinan
itu sendiri. Semakin digali akar kemiskinan itu, pada saat yang sama kemiskinan
terus tumbuh dan berkembang. Bahkan pada era modern ini kemiskinan menjadi sebuah komoditi politik
yang menarik. Atas nama kemiskinan, beberapa pegiat LSM mengusung proposal atas nama mereka
yang tak berdaya untuk mencairkan dana. Atas nama kemiskinan, pemerintah terus
menggulirkan program keberpihakkan tetapi nyatanya setelah program itu
terlaksana, tak satu pun orang miskin yang mendapat dana dari program tersebut.
Lalu di mana komitmen para pejuang keadilan untuk menyatakan keberpihakan
terhadap mereka yang lemah dan membangkitkan mereka dari keterpurukan?
Panti asuhan
“Sayap Ibu” sedang melebarkan sayapnya untuk terbang setinggi dan sejauh
mungkin untuk mencari mereka yang terpinggirkan. Kemiskinan menurut salah satu
suster pengelola panti “Sayap Ibu” bahwa kemiskinan tidak semata-mata karena
orang tidak memiliki kekayaan tetapi kemiskinan yang dihadapi saat ini adalah “miskin
kepekaan dan miskin solidaritas.” Anak-anak yang tertampung dalam panti tersebut merupakan bukti bahwa mereka
terpaksa didepak dari keluarga yang merupakan basis utama seorang anak
untuk tumbuh dan berkembang dalam
menggapai harapan. “Harapan mereka patah atau sengaja dipatahkan dengan alasan
tertentu tetapi di panti ini kami berusaha untuk mengembalikan jati diri dan
terlebih membangkitkan semangat serta
gairah hidup.”
Cara pandang para pengelola panti membawa
spirit baru bagi negeri ini. Andaikan di negeri ini, di setiap lingkungan RT
atau RW didirikan panti asuhan maka
mungkin para kaum miskin bisa tertangani secara baik. Dan dalam mengelola panti
asuhan seperti “Sayap Ibu,” perlu adanya spiritualitas yang sanggup menjiwai
seluruh pola pelayanan atas dasar kasih. Tanpa kasih, kita kehilangan daya hening,
kehilangan spirit untuk membagi. Dalam bahasa ekaristi, melayani berarti
membagi diri bagi mereka yang sangat membutuhkan.***(Valery Kopong)
0 Komentar