Melihat layar kaca dengan
berita menyedihkan seputar kekerasan dalam rumah tangga, aku lalu merenung dan
mempertanyakan, sejauh mana terealisasi nilai cinta kasih dari pasangan hidup? Sudah
lunturkah kasih sayang antara mereka sehingga begitu tega menyiksa pasangan yang merupakan buah perpaduan cinta?
Pada belakangan ini keluarga menjadi sorotan publik karena sebagian keluarga, tempat berteduh paling aman bagi anggota keluarga, ternoda oleh ulah beberapa orang yang melakukan tindak kekerasan terhadap pada pasangannya. Oleh kekerasan yang terus merasuk ke dalam sum-sum keluarga maka untuk sementara, pasangannya yang menjadi korban kekerasan memandang keluarga sebagai “dapur peleburan” dirinya dan pelampiasan kekerasan.
Peristiwa tragis ini menjadi momentum refleksi untuk keluarga lain
tentang keberadaan keluarga dengan orang tua sebagai nahkodanya. Ketika
membangun keluarga, suasana pasangan suami-isteri diliputi oleh perasaan cinta
dan kasih sayang, sekaligus merindukan
kehadiran seorang anak untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga. Kerinduan
akan anak seperti yang diharapkan oleh pasangan saat awal membangun rumah
tangga tidak dilihat sebagai pelengkap (barang komplementer) tetapi lebih dari
itu kehadiran anak merupakan tanda perpaduan cinta dan tempat mereka
mencurahkan kasih sayang. sumber: pixabay.com
Melihat kondisi keluarga yang kehilangan arah maka perlu adanya
pemaknaan kembali keluarga secara holistik. Dalam arti yang paling sederhana,
keluarga dimengerti sebagai sel terkecil dalam masyarakat tetapi memiliki
peranan yang urgen dalam menentukan
keberlangsungan hidup sebuah masyarakat. Definisi sederhana ini secara tersirat
mengungkapkan peranan besar keluarga dalam memberi arti masyarakat sebagai
komunitas yang paling besar di sebuah wilayah. Kehadiran keluarga tidak dapat
digantikan oleh pranata lain sebagai yang menjiwai keberlangsungan hidup
masyarakat.
Dalam arti religius, keluarga juga dapat dipahami sebagai basis
terkecil dalam lingkup Gereja yang merupakan titipan Allah, sekaligus tempat Ia
mempercayakan orang tua untuk menumbuhkembangkan anak secara paripurna. Di
sini, keluarga saya mengerti secara mendalam sebagai “kerajaan Allah” yang
menetap di bumi, di mana adanya
persatuan yang mesra antara para anggotanya. Persatuan yang mesra dapat
terjalin baik, mengandaikan masing-masing anggota keluarga untuk keluar dari
dirinya dan menjumpai “aku-nya” yang lain. Dengan adanya keberanian untuk
keluar dari diri berarti kita disanggupkan untuk memerangi egoisme dan
sekaligus mematangkan emosionalitas serta menerima orang lain sebagai yang
terberi.
Tentang kerajaan Allah, aku teringat akan sebuah cerita yang
mengisahkan kehidupan para penghuni kerajaan Allah. Di kisahkan bahwa di kerajaan
Allah tersedia banyak makanan yang lezat tetapi anehnya, orang yang pertama
kali masuk ke dalam ruang makan belum bisa menikmati makanan tersebut. Untuk
bisa menikmati makanan itu dibutuhkan orang lain agar menyuapnya karena
masing-masing penghuni kerajaan Allah tidak mempunyai “siku dan pergelangan
tangan”. Oleh kondisi tangan yang dimiliki masing-masing penghuni ini menuntut
suatu kesadaran penuh yang lahir dari diri dan orang lain. Artinya bahwa dalam
diri masing-masing orang terbangun sikap peduli dan berbela rasa dengan orang
lain yang merupakan partner dalam hidupnya. Demikian juga orang lain, perlu
memupuk rasa toleran terhadap sahabat sekomunitas.
Menyimak cerita sederhana di atas, menyiratkan beberapa pesan
mendalam terutama bagi keluarga yang pada belakangan ini menjadi sorotan publik
berkenaan dengan peristiwa kekerasan. Pertama,
kehidupan anggota kerajaan Allah menunjukkan relasi yang kental dengan menampilkan
cinta kasih. Tidak ada kekerasan yang bersemi dalam komunitas ini karena
masing-masing mereka telah membangun komitmen komunitas untuk tetap setia pada
kesejatian persahabatan. Kedua, adanya nilai kerinduan akan
kehadiran yang lain dalam hidupnya seperti yang tercermin dalam pola pelayanan secara proporsional. Merindukan
kehadiran yang lain menjadi sebuah kerinduan abadi bagi setiap orang yang
menghuni komunitas itu.
Persaudaraan yang dibangun oleh komunitas di atas tidak dilandasi
oleh ikatan darah dan perkawinan. Tetapi mengapa hubungan persaudaraan mereka
menjadi langgeng? Mengapa di antara mereka begitu gampang terwujudnya
komunikasi cinta dan persahabatan? Jawaban yang paling jelas yaitu Allah
sebagai sumber cinta kasih dijadikan sebagai patokan dalam jejak langkah hidup
mereka. Masing-masing mereka memahami pribadi yang transenden itu dan
menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam hidup mereka. Allah dijadikan sebagai contoh dan tempat
bagi mereka untuk membaca seluruh tata
aturan tentang bagaimana mencintai orang lain. Mencintai orang lain merupakan
suatu hal yang sulit. Tetapi dalam pribadi Allah, mereka berani untuk bertanya
tentang kiat-kiat memahami dan mencintai
orang lain, yang salah satunya adalah melawan egoisme diri.
Problem utama yang dihadapi oleh keluarga yang menindak keras
anaknya adalah tidak mau mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan
yang mereka hadapi, seperti masalah ekonomi. Orang tua terlalu menutup diri
dengan “sarung egoisme” untuk tidak mau membicarakan persoalan yang mereka hadapi dan mencari solusinya.
Karena lingkup egoisme terlalu kuat melilit sang ibu maka anaknya sendiri tidak
lagi dipandang sebagai bagian dari dirinya yang dibentuk oleh perpaduan darah
dan daging. Egoisme menutup mata hatinya untuk tidak lagi melihat keluarga
sebagai tempat berseminya nilai-nilai cinta kasih. Kasih sang ibu tidak lagi
seluas lautan seperti yang didengungkan selama ini. Kasih sang ibu mungkin
telah tenggelam di dasar lautan egoisme.
Untuk memerangi egoisme yang mengarah pada kekerasan, perlu adanya
figur yang patut dijadikan contoh, yakni Allah sendiri sebagai sumber cinta
semesta. Allah, yang dulunya dijadikan
oleh komunitas kerajaan Allah sebagai pemberi inspirasi cinta, Allah yang sama senantiasa menyertai keluarga
dengan kelembutan kasih abadi. Untuk memaknai kehadiran Allah sebagai sumber
cinta dalam keluarga, perlu adanya penyadaran diri akan sumber yang memberi cinta
kasih. Sumber itulah yang menopang hidup keluarga saat mengalami suka maupun
duka. Pengalaman tragis yang pernah menimpah beberapa keluarga, dapat dijadikan
sebagai buah refleksi yang paling pahit. Oleh peristiwa ini, beberapa orang harus beralih dari keluarga karena trauma yang berkepanjangan. Dapatkah
mereka yang telah menjadi korban terangkul kembali dalam dekapan keluarga?
Agaknya terlalu sulit untuk memasuki kembali dalam keluarga setelah terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Keluarga karenanya, menjadi sebuah ‘terminal singgahan’ yang tidak
aman bagi mereka yang mengalami
kekerasan. Terhadap seluruh problem yang menimpah
keluarga ini, menuntut kita untuk bertanggung jawab penuh terhadap keutuhan
keluarga lain. Tanggung jawab lintas keluarga juga merupakan ungkapan kepedulian terhadap yang lain. Kalau
tanggung jawab lintas keluarga ini berjalan secara normal maka cepat atau
lambat solidaritas keluarga tercipta lagi, mirip komunitas kerajaan Allah
seperti dalam cerita di atas.***(Valery
Kopong)
0 Komentar