Unordered List

6/recent/ticker-posts

Keluarga: ‘Terminal Singgahan’

 

Melihat  layar kaca dengan berita menyedihkan seputar kekerasan dalam rumah tangga, aku lalu merenung dan mempertanyakan, sejauh mana terealisasi nilai cinta kasih dari pasangan hidup? Sudah lunturkah kasih sayang antara mereka sehingga begitu tega menyiksa pasangan yang merupakan buah perpaduan cinta? 

 

Pada belakangan ini keluarga menjadi sorotan publik karena sebagian keluarga, tempat berteduh paling aman bagi anggota keluarga, ternoda oleh ulah beberapa orang  yang melakukan tindak kekerasan terhadap pada pasangannya. Oleh kekerasan yang terus merasuk ke dalam sum-sum keluarga maka untuk sementara, pasangannya yang menjadi korban kekerasan memandang keluarga sebagai “dapur peleburan” dirinya dan pelampiasan kekerasan. 

 

Peristiwa tragis ini menjadi momentum refleksi untuk keluarga lain tentang keberadaan keluarga dengan orang tua sebagai nahkodanya. Ketika membangun keluarga, suasana pasangan suami-isteri diliputi oleh perasaan cinta dan kasih sayang, sekaligus  merindukan kehadiran seorang anak untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga. Kerinduan akan anak seperti yang diharapkan oleh pasangan saat awal membangun rumah tangga tidak dilihat sebagai pelengkap (barang komplementer) tetapi lebih dari itu kehadiran anak merupakan tanda perpaduan cinta dan tempat mereka mencurahkan kasih sayang.

sumber: pixabay.com

 

Melihat kondisi keluarga yang kehilangan arah maka perlu adanya pemaknaan kembali keluarga secara holistik. Dalam arti yang paling sederhana, keluarga dimengerti sebagai sel terkecil dalam masyarakat tetapi memiliki peranan yang  urgen dalam menentukan keberlangsungan hidup sebuah masyarakat. Definisi sederhana ini secara tersirat mengungkapkan peranan besar keluarga dalam memberi arti masyarakat sebagai komunitas yang paling besar di sebuah wilayah. Kehadiran keluarga tidak dapat digantikan oleh pranata lain sebagai yang menjiwai keberlangsungan hidup masyarakat.

 

Dalam arti religius, keluarga juga dapat dipahami sebagai basis terkecil dalam lingkup Gereja yang merupakan titipan Allah, sekaligus tempat Ia mempercayakan orang tua untuk menumbuhkembangkan anak secara paripurna. Di sini, keluarga saya mengerti secara mendalam sebagai “kerajaan Allah” yang menetap di bumi,  di mana adanya persatuan yang mesra antara para anggotanya. Persatuan yang mesra dapat terjalin baik, mengandaikan masing-masing anggota keluarga untuk keluar dari dirinya dan menjumpai “aku-nya” yang lain. Dengan adanya keberanian untuk keluar dari diri berarti kita disanggupkan untuk memerangi egoisme dan sekaligus mematangkan emosionalitas serta menerima orang lain sebagai yang terberi.   

 

Tentang kerajaan Allah, aku teringat akan sebuah cerita yang mengisahkan kehidupan para penghuni kerajaan Allah. Di kisahkan bahwa di kerajaan Allah tersedia banyak makanan yang lezat tetapi anehnya, orang yang pertama kali masuk ke dalam ruang makan belum bisa menikmati makanan tersebut. Untuk bisa menikmati makanan itu dibutuhkan orang lain agar menyuapnya karena masing-masing penghuni kerajaan Allah tidak mempunyai “siku dan pergelangan tangan”. Oleh kondisi tangan yang dimiliki masing-masing penghuni ini menuntut suatu kesadaran penuh yang lahir dari diri dan orang lain. Artinya bahwa dalam diri masing-masing orang terbangun sikap peduli dan berbela rasa dengan orang lain yang merupakan partner dalam hidupnya. Demikian juga orang lain, perlu memupuk rasa toleran terhadap sahabat sekomunitas.

 

Menyimak cerita sederhana di atas, menyiratkan beberapa pesan mendalam terutama bagi keluarga yang pada belakangan ini menjadi sorotan publik berkenaan dengan peristiwa kekerasan. Pertama, kehidupan anggota kerajaan Allah menunjukkan relasi yang kental dengan menampilkan cinta kasih. Tidak ada kekerasan yang bersemi dalam komunitas ini karena masing-masing mereka telah membangun komitmen komunitas untuk tetap setia pada kesejatian persahabatan.  Kedua, adanya nilai kerinduan akan kehadiran yang lain dalam hidupnya seperti yang tercermin dalam  pola pelayanan secara proporsional. Merindukan kehadiran yang lain menjadi sebuah kerinduan abadi bagi setiap orang yang menghuni komunitas itu.

 

Persaudaraan yang dibangun oleh komunitas di atas tidak dilandasi oleh ikatan darah dan perkawinan. Tetapi mengapa hubungan persaudaraan mereka menjadi langgeng? Mengapa di antara mereka begitu gampang terwujudnya komunikasi cinta dan persahabatan? Jawaban yang paling jelas yaitu Allah sebagai sumber cinta kasih dijadikan sebagai patokan dalam jejak langkah hidup mereka. Masing-masing mereka memahami pribadi yang transenden itu dan menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam hidup mereka.  Allah dijadikan sebagai contoh dan tempat bagi mereka untuk membaca seluruh  tata aturan tentang bagaimana mencintai orang lain. Mencintai orang lain merupakan suatu hal yang sulit. Tetapi dalam pribadi Allah, mereka berani untuk bertanya tentang kiat-kiat  memahami dan mencintai orang lain, yang salah satunya adalah melawan egoisme diri.

 

Problem utama yang dihadapi oleh keluarga yang menindak keras anaknya adalah tidak mau mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, seperti masalah ekonomi. Orang tua terlalu menutup diri dengan “sarung egoisme” untuk tidak mau membicarakan  persoalan yang mereka hadapi dan mencari solusinya. Karena lingkup egoisme terlalu kuat melilit sang ibu maka anaknya sendiri tidak lagi dipandang sebagai bagian dari dirinya yang dibentuk oleh perpaduan darah dan daging. Egoisme menutup mata hatinya untuk tidak lagi melihat keluarga sebagai tempat berseminya nilai-nilai cinta kasih. Kasih sang ibu tidak lagi seluas lautan seperti yang didengungkan selama ini. Kasih sang ibu mungkin telah tenggelam di dasar lautan egoisme.   

 

Untuk memerangi egoisme yang mengarah pada kekerasan, perlu adanya figur yang patut dijadikan contoh, yakni Allah sendiri sebagai sumber cinta semesta. Allah, yang dulunya  dijadikan oleh komunitas kerajaan Allah sebagai pemberi inspirasi cinta,  Allah yang sama senantiasa menyertai keluarga dengan kelembutan kasih abadi. Untuk memaknai kehadiran Allah sebagai sumber cinta dalam keluarga, perlu adanya penyadaran diri akan sumber yang memberi cinta kasih. Sumber itulah yang menopang hidup keluarga saat mengalami suka maupun duka. Pengalaman tragis yang pernah menimpah beberapa keluarga, dapat dijadikan sebagai buah refleksi yang paling pahit. Oleh peristiwa ini, beberapa orang  harus beralih dari keluarga  karena trauma yang berkepanjangan. Dapatkah mereka yang telah menjadi korban terangkul kembali dalam dekapan keluarga?

 

Agaknya terlalu sulit untuk memasuki kembali dalam keluarga setelah terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Keluarga karenanya, menjadi sebuah ‘terminal singgahan’ yang tidak aman bagi mereka yang mengalami kekerasan.  Terhadap seluruh problem yang menimpah keluarga ini, menuntut kita untuk bertanggung jawab penuh terhadap keutuhan keluarga lain. Tanggung jawab lintas keluarga juga merupakan  ungkapan kepedulian terhadap yang lain. Kalau tanggung jawab lintas keluarga ini berjalan secara normal maka cepat atau lambat solidaritas keluarga tercipta lagi, mirip komunitas kerajaan Allah seperti dalam cerita di atas.***(Valery Kopong)

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar